1 Putera
Samodra
Tanjung Tembaga itu pelabuhan
Probolinggo yang dibangun sejak zaman kolonial. Ramai pada awalnya. Setidaknya
sampai akhir 60-an. Jejak sisa keramaian masih tercecer awal 70-an dimana PJKA
masih mengirim gerbong untuk mengangkut barang-barang seperti beras, tepung, produk
gerabah kuali dan genteng. Gudang-gudang
besar berjejer di sepanjang jalan dermaga dimana di depannya membujur rel
kereta yang menuju stasiun kota. Begitu luas sampai ruangan dalam bisa dipakai
untuk konser band rock wanita pertama
Indonesia, Dara Puspita, di awal 70-an, masa-masa meredupnya pantai yang
pernah bersinar terang setelah Tanjung Perak, pelabuhan Surabaya. Sekarang
pelabuhan itu kelihatan megah, sejalan
dengan bertambahnya penduduk, kemajuan teknologi. Tetapi apakah pencapaian itu sesuai dengan
jamannya ?
Demikian pembukaan dongeng dari lelaki jangkung usia
70-an tapi masih gagah dan bersemangat ketika ia didaulat tiga pemuda yang kebetulan
nongkrong malam itu untuk merayakan puji syukur atas lulusnya mereka bertiga
dari akademi pelayaran di Surabaya. Suhermanto dan dua tamunya asal Kediri dan
Kepanjen, Malang. Daripada aku jelaskan mending nanggap bapak ini, batin
Herman.
Kata Ahsan, pemilik
warkop, om potongan indo itu pelanggan baru tapi suka mendongeng. Apalagi
ditanggap. Pelanggan warkop malah seneng mendengar ia bercerita, entaha
pengalaman sendiri atau orang lain, yang jelas cetita menarik. Hampir semua mengakui luasnya pengetahuan dan
pengalamannya yang kayaknya ga mungkin kalo sekedar karangan dia. Soal apakah
benar apa negcap itu nomor dua. Yang jelas terhibur oleh “kecap” dongengnya.
Emang Om nonton show
itu ? tanya Suhermanto.
Iyalah, kebetulan
kapalku, KM Soerabaia II, bersandar di
Tanjung Perak, lalu aku lari ke mari untuk lihat show itu—sambil nengok
kekasih. Masih 30-an aku tapi belum berkeluarga, kalao istri sih...udah dah
jangan ditanya. Anak aku juga ga ingat, berapa, dimana, tinggal berapa.. Di
show itu malah aku sama rek-arek nom-noman kene jogetan di pangungg, di
belakang drumer Susi nander yang manis dan seksi. Sampai PM (polisi militer)
naik ke panggung buburkan pesta joget kami...ha...ha...
Pelabuhan ini
memiliki dua “ujung” – istilah
reng-oreng lokal, yaitu tanah menjorok
ke laut sampai sekitar 100 meter, dengan lebar lima meter kurang. Di antara dua
“ujung” tengahnya adalah jeti, perairan
dengan cekungan agak dalam sehingga kapal-kapal agak besar (menengah, bermesin
maupun tak bermesin seperti tongkang)
bisa mendekati pangkalan sarana angkutan gerbong kereta atau truk bak. Bukan
itu saja. Di sekitar pangkalan angkutan tersedia galangan untuk reparasi
bahkan membuat kapal.
Pantai yang tenang, tak
pernah bergejolak ombaknya, menciptakan suasana yang damai dan indah. Keadaan
ini cocok untuk wiasata, Nikmat sekali bermain di pantai itu. Dahulu kala pantai sebelah kanan “Ujung”
banyak dikunjungi wisata lokal. Orang-orang, tua muda, anak kecil, ke sana naik
dokar.
Namun sekarang cuma nostalgia
setelah era industrialiasai orba, ditandai dengan merebaknya pabrik-pabrik
modal asing. Pantai berpasir sebelah kanan “Ujung” yang asyik itu direnggut kaum ‘industrialis baru’. Di sana berdiri pabrik
kayu-lapis. Gelondongan-2 batang pohon besar berdatangan sbg bahan baku.
Kalau pantai sebelah
kanan Ujung diteluri dengan berjalan terus menyongsong matahari pagi maka kita
akan sampai pesisir Gunung Bentar. Panoramananya
indah sekali dilihat dari lereng maupun badan Gunung Bentar. Herman harus ajak
temen-2mu ke sana, saran si Om.
Bila pantai “sebelah
kiri” ditelusuri terus ke arah barat maka akan sampai desa Pilang , lalu
Bayeman dst. Di antara itu konon terdapat desa Ketapang. Di situ jalan raya
menuju Pasuruan berdekatan dengan rel kereta api dan
bersebelahan dengan pantai. Di daerah ini berdiri masjid yang beberapa langkah lagi
air laut. Masjid ini dulunya bagian dari sebuah desa nelayan bernama Ketapang. Menurut
legenda setempat, lahan ini dulunya menyatu dengan pulau Gili, yang kini
bertengger di utara pelabuhan
Probolinggo. Kelihatan dari pelabuhan itu kan ? ke sana cuma butuh 30 menit
naik perahu motor.
Kisahnya, gempa dahsyat akibat
letusan Gunung Semeru mengakibatkan lahan di utara masjid secara gaib bergerak
lamban ke tengah laut. Lahan yang bergerak inilah pulau itu dan kemudian diberi
nama desa Gili Ketapang. Nama Gili Ketapang berasal dari bahasa Madura. Gili artinya artinya mengalir, dan Ketapang
merupakan nama asal desa tersebut
Di pulau ini tidak
ada sungai atau pun sumber air. Penduduk Pulau Gili ambil air untuk minum dan
memasak dari Probolinggo. Warga pulau Gili mengangkut berdrum-drum air dengan satu kapal layar sederhana. Kapal
layar ini ketika masuk dermaga ditarik pakai tambang oleh orang yang berjalan di
Ujung tadi sampai jeti dimana pangkalan angkutan tersedia. Dokar dan becak. Orang
Gili kota bukan saja ambil air, api juga jual ikan.di samping belanja. Pakaian
mereka norak. Sampai bisa ditandai kalau orang pakai baju warna kuning podang,
merah muda, hijau pupus, pasti dari Gili. Penarik beca atau dokar seneng dengan
kedatangan mereka yang royal soal duit, tidak pelit. Tapi ga tahu bau
mereka....
Memang bau apa Om ?
tanya temanHerman.dari Kediri.
Ya khas
begitu,...nano-nano baunya kali, kata si Om.
Dua pemuda segera
menatap Herman. Saya lahir di sana, Om, kata Herman.
Oh, ya ? terperangah
si Om.
Umur setahun kata ibu,
saya dan keluarga pindah ke Mayangan karena Bapak memang asli sana. Tetapi Paklik,
Pakde, mbah, masih di sana, ga mau pindah.
Kulihat darahmu
mengalir darah pelaut sejati. Putera Samodra, puji si Om. Bapak nya Herman
memang pengusaha tapi kakeknya nelayan ulet. Ia cari ikan kemana-mana, jauh
melampaui perairan sekitar sini. Bukan sekedar ikan yang ia buru. Jiwa
petualanganlah yang menggiringnya untuk menjelajah Selat Madura dan kepulaun Bawean. Dengan perahu layar !
Mbah buyut Herman lebih
jauh lagi jangakauannya,. Sampai Karimata, Selat Makasar. Mbah Buyutmu Putera
Samodra. Kalian harus mampu melebihi, ya setidaknya menyamai mbah buyut
Herman.Kalian adalah calon putera samodra.
Tahu darimna sih Om ?
tanya teman Herman satunya.
He..he..itu rahasia.
Ayolah Om, kasih
tahu. Emang Om ada hubungan famili dengan Herman ? tanya temn Herman.
Om cuma baca pikiran
Herman. Dia sendiri tak tahu sejarah keluarganya, sebelum ibundanya menceritakan
kejayaan keluarganya.
Herman heran dan tak
punya argumen untuk membantahnya. Yang jelas, kekeknya lebih tua dari Harris
tapi masih kekar dan kadang masih suka berlayar sendirian. Ia betah di Pulau Gili,
tak mau jauh dari perahu layar kesayangannya, papar Herman.
Mbahmu ga pernah
cerita soal laut atau berbagi pengalaman kepadamu, Man ? tanya si Om. Herman
menggeleng kepala.Tapi pernah mengajakmu berlayar ? Herman mengangguk. Memberi
pelajaran berlayar ? Kembai Herman menggeleng.
Kata mbah, berlayar
tidak bisa diajarkan kecuali dengan berlayar sendiri. Mbah mengajakku terus
untuk ikut dengannya, berlayar ke mana-mana tapi emak gak kasih ijin. Berlayar
penting tapi sekolah juga penting, nanti setelah lulus sekolah baru terserah ko-en,
mau berlayar atau sekolah lagi yang lebih tinggi kata emak.
Om pernah berlayar
kemana saja ? tanya teman Herman satunya.
Wa, udah keman-mana.
Separo belahan dunia sudah aku jelajahi. Eropa , khususnya bagian utara, belum.
Tapi Spanyol, Itali, terus turun ke Mesir, Irak, Sri Lanka. Lalu Australi
belahan utara. Sampai di sini kapalku karam.
Nabrak batu karang Om
? tanya Suhermanto.
2 Badai
Nyi Rara Kidul
Lalu mulailah lelaki
tua itu mendongeng. Alur ceritanya tak punya patokan tegas. Kadang ia
menceritakan orang lain tapi kadang menceritakan se-olah-olah itu pengalamannya
sendiri.
Bisa jadi nabrak
karang, tapi yang aku ingat siang itu perkiraanku kapal menuju perairan tak
jauh dari Darwin. Sesungguhnya tujuan kami Melborne tapi entah kenapa perasaanku
mengatakan kapal ini menuju perairan Darwin. Aku menuduh angin kencang berubah-ubah
arah sehingga navigasi terpengaruh. Kendati kapal digerakan oleh mesin, bukan
layar. Tetapi angin wakru itu ndak
karuan, kapal berputar-putar seperti mengikuti arus pusaran. Mendung datang,
langit pun suram. Hujan mulai turun. Hujan berhenti, ganti angin yang makin
lama makin kencang. Mungkin 80 km/jam kecepatannya. Kapal kami digoyang terus
oleh ombak yang semakin mengganas sore
itu.
Aku tak tahu posisi
persisnya tetapi feelingku berada di tengah samodra Hindia ! tapi aku diam saja
karena aku tak punya bukti, indikator semua tak jalan. Radio mati. Kami semua
mengira kena tsunami ketika sebuah gelombang tinggi terlihat hendak menerkam
kami. Kapten mengantipasi dengan mengatakan untuk lebih waspada dan siap
meninggalkan kapal. Kapten bicara lewat mikrofon.
Kapal dihantam ombak
besar.kami semua terlempar kecuali sebagian masih kuat berpegang pada tiang
atau apapun. Sebagian luka-2 tetapi aku belum tahu apakah jatuh korban jiwa.
Yang jelas ruang mesin porak poranda dirusak guncangan kapal akibat ombak
besar. Mesin mati. Belum sempat enginer mengidentifikasi kerusakan penyebab
mesin mati, markonis Zen sudah berteriak lewat mikrofon, gelombang tinggi akan
datang lagi !
Aku keluar dari ruang
kerjaku dan belum sampai naik, kapal kami serasa dilempar jauh – tahunya cukup
lama suasana hening dan kupikir kapal kami dibawa terbang oleh ombak ! entah beberapa
detik tapi jelas cukup lama ketika guncang dahsyat membelah kapal kami dan aku
tak tahu apa yang terjadi karena ketika sadar aku sudah satu sekoci dengan markonis radio
officer bernama Matua Zen. Tugasnya operator radio/komunikasi serta jawab menjaga
keselamatan kapal dari bahaya . bencana alam misalnya seperti badai, gangguan
yg menyebabkan kapal karam.
Zen perwira dek, sedang aku bawahan
di dek sebagai Able Bodied (AB) atau juru mudi. Aku masih pemuda lajang, belum
30-an sedang ia kepala 4, berkeluarga punya dua anak. Tapi kelakuannya persis
bandot muda, ujar Haris sambil tertawa. Seperti layaknya anak muda ia masih
demen GGJ, berGadang-Guyon, Joget. Biasanya orang doyan guyon suka lupa diri
saat ngobrol. Apalagi suka begadang. Ia suka
berkata tinggi, ndobos, bahasa sini, ujar Harris.
Cuma untuk senang-senang saja,
alasan Zen saat kuingatkan supaya mengurangi cerita-cerita bombastisnya.
Ini sebagai bumbu penyedap saja,
dik, kilahnya. Untuk mendramatisir suasana agar tercipta suasana seru, seram
dan menegangkan. Kebiasaan panggil Harris dengan “Dik”, keterusan sehingga ia
memperkenal diriku dengan nama Dick Harris. Padahal nama lengkapku kan Rudi
Harris. Aku sih ga keberatan cuma ketika mengatakan diriku berasal dari Jerman,
aku menolak. Malah Zen blang, wajahmu lonjong dengan potongan rambut agak
gondrong dan piak tengah. Coba kamu hobi cewek, aku julukin kamu Don Juan,
orang Itali. Pantas itu.
Acara ontang-anting belum selesai.
Beberapa kali ombak menghemapskan sekoci kami, aku tak ingat. Yang jelas,
setelah libur siang hari, ombak besar datang lagi. Ngejak guyon maneh. Begitu ombak tinggi terlihat, kami sepakat
untuk mengikat diri ke sekoci, asal-asalan saja. Yang penting mudah dikendorkan.
Yang penting sekoci jangan menceraikan kami.
Mungkin sang ombak sudah puas
bermain, tendangannya kian lembek. Kami terlempar dalam jarak dekat dan semakin
lemah sehingga ombak biasa kembali menyatroni kami secara bersahabat. Tetapi
...tetapi itu berlangsung hampir sepanjang malam. Tengah malam atau mungkin
dini hari awan hitam secara pelahan
pergi, giliran bintang bermunculan seolah tak takut lagi dicengkeram awan
hitam. Kelap-kelip bentang di langit yang bersih menggugah semangat hidup Haris
dan Zen. Namun kelelahan yang amat sangat membuat mereka belum memikirkan
dimana posisi mereka dan mau dibawa ombak kemana. Mereka cuma bersyurkur masih
bisa hidup. Kami tertidur akibat lelah jiwa raga.
Aku bangun entah karena mata, yang
jelas ketika aku buka mata aku tak melihata apapun, lalu aku pejamkan lagi.
Silau oleh sinar matahari menyebabkan diriku, baru aku mulaisadar setelah
secara pelahan terbiasa oleh sinar matahari. Suasana hening, hanya debur ombak
yang terdengar. sejauh mata memandang laut biru dongker terhampar, menunjukkan kami terapung di
perairan dalam..
Aku duduk termenung. Jika aku enggak
keliru, sempat aku perhatikan bintang-bintang dan kubaca mata angin, aku berada
di tengah samodra Hinda. Jika benar arah arus yang menggiring sekociku, kami
berada diperairan wilayah Indonesia. Cuma persinya di selatan Timor atau selatan
Jawa, ga tau, tapi kalu di bawah Sumatra enggaklah. Malah aku berkhayal,
jangan-jangan Nyi Lara Kidul menggiirng kami ke suatu tempat.
Haus dan lapar menyadarkan diriku
bahwa tak ada lagi bekal makanan. Air minum dan makanan. Samodra Hinda jarang dilalui
kapal, dan jika demikian kami bisa berminggu-minggu terapung-apung. Aku jadi
bergidik. Sementara Zen masih tidur dan mulai menggeliat karena kepanasan.
Harris memandangi laut biru terus
menerus, sengatan sinar matahari tak dirasa. Tenggorokan kering juga tak
mengusiknya dari memandang laut. Ia galau, sangat galau. Ia berharap matanya
menangkap satu titik yang akan semakin besar dan setelah mecapai jarak pandang,
baru jelas bahwa itu kapal ! Namun kemukjizatan tak terjadi siang itu dan
Harris semakin resah, apakah riwayatnya akan tamat di sini, sementara ia belum
jadi apa-apa. Pelautpun belum. Baru pelayaran ini ia diangkat jadi juru mudi.
Ia masih muda, umur masih cukup untuk meniiti karir sebagai pelaut sejati. Tapi
nyatanya, ?
He, kanapa kau musti murung ? ini
belum sehari kita dapat kemurahan Tuhan. Bersyukurlah kita selamat. Kata Zen
yang terbangun tapi masih enggan duduk.
Aku baru dua kali berlayar, kenapa
jadi begini ?
He ! jangan pesimis, kisah kita
belum selesai. Kalau kau pesimis, semuanya terasa berat. Santai saja meski aku
sendiri tak tahu mau apa, tutur Zen, lalu coba tidur lagi.
Harris kembali memandangi hamparan
lautan yang biru , teduh dan tenang, Tanpa deru ombak yang terkadang liar.
Mungkin karena angin juga semilir . Padahal di tengah laut biasanya anginnya
kencang.
Zen tertidur lagi. Bukan karena
suasananya tenang tetapi kebiasaanlah yang membuat dirinya mudah tidur dalam
suasana apa pun. Dan mudah bangun.
Samar-sama Rudi Harris melihat
sebuah noktah yang membesarkan hatinya. Semula ia tak percaya. Dikiranya cuma
halusinasi. Tetapi noktah itu semakin besar sejalan dengan laju sekoci ke arah
noktah itu. betapa girang Harris, ingin rasanya ia berteriak
sekencang-kencangnya. Ia goyang badan Zen agar segera bangun.
Pak Zen, Pak Zen ! Daratan Pak!
3 Pulau Kaca
Zen langsung bangun dan melihat
bayangan hitam itu. Ombak dan angin sejalan mendorong sekoci mendekati bayangan
hitam yang kini mulai ini semakin jelas tekturnya. Sebuah gunung yang hijau
gelap bertengger di sebuah pulau di bawah langit biru yang cerah. Setelah
beberapa saat yang cukup lama semakin jelas bentuk pulau itu. Sebuah daratan yang
subur. Pohonan mulai terlihat.
Lambat tetapi pasti. Arah sekoci
adalah pulau itu. Nyiur melambai-lambai awe-awe
nyuruh mereka segera mendarat. Apalagi pantai berpasir putih seolah-olah
merentangkan tangan menyambut kedatangan mereka. Debur ombak mengahantam karang
terdengar kian riuh.
Harris bernafsu. Segera saja kedua
tagan mengayuh sekoci, tetapi Zen menyuruh Harris menghentikan gerakannya.
Angin darat tak menguntungkan kita,
kata Zen. Kita dalam bahaya, Harris.
Harris belum paham tetapi segera
menyadari bahwa angin darat kian kencang. Ombak berdebur lebih galak. Dan ia
baru tahu bahaya di depan mata ketika melihat ke dalam air laut yag bening. Betapa
banyak batu karang. Rupanya batu karang mengitari pantai.
Mereka tak kuasa mengendalikan
sekoci yang semakin melaju akibat dorongan ombak sejalan dengan kencangnya
angin darat. Sebuah hentakan ombak menggulung dan melemparkan sekoci ke arah
batu karang besar. Sekoci terbelah dan dua awaknya beruntung tergulung ombak
dan jatuh di perairan yang batu karangnya di kedalaman sehingga mereka selamat,
tidak mendapat cidera apapun. Berkat Tuhan masih menyayangi kami, kata Harris
bersyukur.
Mereka harus berenang untuk mncapai
daratan. Begitu menginjak kaki dipantai berpasir putih itu, dengan langkah
gontai mereka berjalan menuju tempat yang rindang, di bawah deretan pohon
kelapa. Tanpa dikomando mereka menjatuhkan diri di pasir, Angin semilir membuat
suasana lebih adem. Ditambah lelah. Menyebabkan mereka seperti pingsan saja.
Kalau Zen, mudah tidur, mudah
bangun. Karena terlatih oleh ritme kerja.
Berisik apapun kagak ngaruh. Beda dengan Rudi Harris. Tidur sulit,
bangun gampang. Langkah kaki kecoapun bisa membanunkan Harris. (Ia memang lebih
akur ular daripada kecoa). Kali ini begitu. Derap-derap langkah orang banyak
jelas menggugah instingnya untuk waspada. Ia membuka sedikit kelopak matanya.
Benar, derap langkah dari beberapa kaki. Puluhan orang telah berdiri berjajar
sepuluh meter dari tempat Harris dan Zen beristirahat. Mereka diam dan mengawasi saja.
Pak Zen, Pak Zen, seru Harris sambil
menggoyang-goyang pundak markonis itu. Kita disambut suku daya pak.
Bagi Harris sekelompok orang di
pedalaman yang asing baginya dan bertelanjang dada, tidak beralas kaki, dan
berkulit terang, pasti suku daya. Kenapa bukan suku kubu ? Karena dia pernah
bertemu dan menginap di kampung mereka di pedalaman Sumatera ketika kapalnya
bersandar di Dumai seminggu lebih. Tipe orang yang akan mereka hadapi agak unik
di mata Harris. Mereka pada celana sebatas lutut dari bahan kain tebal –
seperti jin -- tetapi tak pakai baju. Hidungnya tidak pesek seperti kebanyakan
bangsanya,. Rambutnya lurus, hitam meski ada pula yang coklat. Rata-rata tubuh
mereka kekar, tanda terbiasa kerja fisik yang keras. Posturnya lebih tinggi
dari kebanyakan orang Indonesia.
Suku daya? Bukanlah, ujar Zen. Aku
bisa berbahasa suku daya, tambahnya.
Salah seorang dari rombongan suku
mendatangi mereka. Kalau diamati wajahnya, ia masih muda tapi membawa aura
pemimpin.
Selamat datang teman, kata pemuda
dalam lafal yang kedengaran aneh di telinga Zen maupun Harris tapi mereka
mengerti. Ini anehnya. Bunyi lafalnya aneh tapi Zen dan Harris tahu maksudnya. Harris
grogi pada awalnya, namun melihat Zen tenang-2 saja, Harris ikut tenang. Ia
percaya Zen, seniornya yang telah melanglang buana dan jumpa dengan berbagai
suku. Di bumi nusantara ini hampir semua suku telah ia jumpai, termasuk
beberapa suku di Papua dan Kalimantan.
Mengetahui penghuni pulau ini
tampaknya bersahabat dan menunjukkan peradaban yang lebih baik dari yang mereka
bayangkan, Zen tentu saja ingin mengutarakan penasarannya . khususnya posisi
mereka dalam peta bumi.
Simpan dulu pertanyaanmu, kawan kata
pemuda yang mengaku bernama Holopis itu.
Mari kita ke kediaman kami, tak jauh dari sini. Anda berdua bisa membersihkan
badan dulu. Anda butuh pakaian yang bersih. Setelah mandi dan berpakaian rapi,
anda berdua bisa tanya semuanya kepada
ketua adat kami.
Begitulah. Harris
dan Zen diantar para pemuda warga ke sebuah temappt untuk membersihkan diri.
Keduanya mendapatkan pelayanan baik sebagaimana layaknya tamu. Holopis datang menjmeput
mereka yang sudah ganteng, harum dan tampak segar karena habis mandi. Mereka
tidak bertelanjang dada seperti layaknya sebagian besar penduduk pulau Kaca
melainkan berpakaian rapi, dengan model sepeti baju koko.
Mereka berjalan
menuju rumah ketua adat. Tidak jauh memang; Pekarangan tiap rumah yang
rata-rata luas membuat lama -- diperlukan 20 menit—untuk sampai gubuk terbesar
di antara gubuk-2 lainnya.
Sepanjang
jalan, Harris mengamati. Tak ada batu besar atau menonjol di jalan. Kiri kanan
pohon agak besar sehingga suasana adem. Dari
kejauhan Harris melihat deretan pohon kelapa, dan kebon pace.
Mereka
saling pandang ketika sampai di dalam sebuah gubuk terbesar di antara belasan
gubuk di dataran itu. Ya, mereka pantas kagum meyaksikan interior di dalam guuk
yang sangat antik-eksotik. Perabotan cukup banyak tapi tertata rapi , tidak
berdesakan. Semua perabotan terbuat dari kayu, tak ada yang dari logam atau barang pecah belah.
Keadaan ini, nanti usai makan, dikomentarai secara bercanda oleh Zen. Kita
terlempar ke lorong waktu. Kita berada di jaman Flint Stone !
Selamat datang sahabat-sahabat kami,
para sahabat dunia, kata ketua adat bernama Sahaya. Usianya tidak tua tetapi
kelihatan paling matang di antara warga senior yang hadir sore itu.
Anda berdua adalah tamu kehormatan
kami, warga Pulau Kaca, tutur Ketua Sahaya. Tentu anda berdua bertanya mengapa
pulau ini bernama Kaca. Zen dan Rudi mengangguk-angguk. Barangkali nenek moyang
kami mengharapkan anak cucunya nanti berwadag seperti kaca. Tahu kan wadag ?
wadag itu bungkus. Secaa fisik manusia itu kan seperti bungkus dan isi. Isi
wadag adalah tubuh kita yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Tetapi isi
wadag adalah roh, jiwa, pikiran, batin--hati nurani. Jelas kalau wadag kita
dari kaca maka akan terlihat jelas isinya. Mungkin maksudnya yang dtekankan
adalah batin hati nurani kita.
Filosofinya begini. Andai pikiran
dan hati kita lagi terganggu, kadang kemauan kita aneh-2. Ini berandai-2 ya
para sahabatku,...andai kita kepingin makan mangga ranum itu tapi bukan kita
yang menanam, berarti kita punya wewenang untuk memetiknya. Saat itulah setan
lewat dan menyapa kita, menawarkan bantuan. Pingin rasain mangga mengkel itu ?
mau aku bantu mengambilnya, ga bakalan ketahuan, itulah keahlianku. Caranya
begini......setan membisik cara mengambilnya. Jika ia tergoda, maka akan
kelihatan niat jeleknya. Itu filosofinya.
Mohon maaf ketua Sahaya, kata Rudi
Harris. Begitu menginjakkan kaki saya ke pulau ini, pikiran saya pertama kali
adalah memetik kelapa, karena saya haus. Berhubung saya kelelahan, tanpa
mencoba dulu, saya tahu tak akan mampu memanjatnya. Apakah itikat buruk saya
itu ketahuan , Pak Ketua ?
Tidak, anak muda, kata ketua Sahaya.
Tetapi fisik anda sudah kelihatan anda lelah, haus dan lapar serta lemah.
Motivasi anda sudah kelihatan jelas, tetapi sesungguhnya filosofi tadi hanyalah preventif. Jika diri sendiri merasa
bahkan motivasi atau itikat kita bisa kelihatan, harapan kita atau nenek moyang
kita, kesadaran kita sendiri yang menggugurkan itikad buruk itu.
Nanti anda akan terbiasa dengan keadaan
disini sehingga anda paham tujuan penamaan pulau itu.
Beberapa perempuan muda nan cantik
masuk menyajikan hidangan. Berbagai makanan yang kendati asing tampilannya
tetapi karena judul dari sajian itu adalah makanan, maka tak pelak lagi mata
mereka melebar dan perut tiba-tiba keroncongan. Sampai membuat Haris tersipu
malu. Hampir semua yang hadir tersenyum mendengar protes perut Haris itu.
diantara yang tersenyum lebar dan melirik Harris adalah gadis manis yang
menaruh masakan di depan Harris. Mereka berpandangan. Dan sama-sama tersenyum.
Beberapa makanan tersaji, minuman
air putih, air kelapa pakai gula aren, dan air kelapa murni. Ada ubi rebus, ca
taoge serta masakan khsa pulau ini. Yang tidak ada masakan daging. Ayam-unggas
dan sapi.
Silakan mencicipi wahai anak muda,
kata ketua Sahaya mempersilkan.
Zen tampak agak bingung memilih
karena tak tahu mana yang lebih enak di antara beragam suguhan masakan.
Anak muda, pilih bubur dulu agar perutmu
tidak kaget, usul pak ketua. Bubur warna cooklat kemerahan itu bubur sagu.
Manis. Yang lain bubur jagung, serta masakan khas di sini, papar ketua Sahaya.
Harris mengambil bubur sagu, Zen
ikutan. Keduanya tidak asing dengan makanan ini karena pernah makan sagon
dirumah masing-2. Setelah itu Zen coba mencicipi masakan khas pulau Kaca,
sementara Harris memilih minum air kelapa gula
aren. Merem melek Zen menikmati masakan khas itu. Asam, pedas campur
jadi satu. Kadang pahit tetapi gurih juga. Keliru besar kalau Zen merasa tidak
ada yang memperhatikan. Separuh piring ia habiskan dan segera cari minuman
manis. Beberapa teguk Zen habiskan baru merasa lega.
Itu makanan kesehatan, anak muda.
Tumis pace, kunyit muda campur ikan cucut, kata ketua Sahaja.
Meski tak bisa menahan
cengar-cengirnya, Zen berusaha bersikap wajar, menghargai tuan rumah.
Oh, pantas, enak sekali pak ketua,
kata Zen. Rasanya eksotic pak, saya sudah kemana-mana di belahan bumi ini, ga
ada niknatnya seperti ini Pak !
Sebaiknya anda berkata yang sebenarnya. Jika memang kurang cocok, katakan
apa adanya. Kami akan maklum karena masakan ini khas dari sini. Kami tidak
tersinggung, tetapi kami mengerti. Anda berhari-hari tidak makan, tentu itu
berpengaruh pada penilaian anda. Lagipula, bukankah masakan terenak berasal
dari kampung sendiri ?
Maaf kan saya pak ketua. Saya hanya
berusaha bersikap sopan atas kebaikan bapak dan teman-teman di pulau ini, kilah
Zen.
Di tempat asalmu sana, anak muda,
apakah berkata yang tidak sebenarnya, membesar-besarkan, adalah ungkapan
kesopanan untuk menghormati orang yang telah berbaik hati kepada anda ?
Buk...bukan begitu pak ketua,
masakan ini memang enak kok, Zen sulit menemukan kata-kata yang cocok dengan
apa yang ingin ia sampaikan. Saya coba membangun suasana yang menyenangkan. Di
tempat saya, kadang orang suka membesar-besarkan agar suasana nyaman dan
orang-orang pun tahu bahwa ungkapan itu tidak sesuai dengan yang digambarkan. Basa-basi
namanya.
Semoga demikian adanya anak muda,
kata ketua. Tetapi perlu saya ingatkan, anak muda. Di pulau Kaca ini berkata
apa adanya sudah men-tradisi. Karena kalau anda tidak membiasakan diri dengan
kebiasan di sini sehari-hari, Anda bisa tidak betah. Kami tidak menakut-nakuti,
jarang kapal singgah di pulau kami meski hanya berhenti jauh dari pantai.
Saya akan berusaha menyesuaikan
diri. Tetapi usia sudah 40, tidak mudah mengubah kebiasaan basa-basi saya.
Pak ketua diam sebentar mencerna
“budaya” basa-basi yang diutarakan Zen.
Hm, orang sini tidak mengenal
basa-basi, tetapi bukan berarti suka berkata tajam, nanti akan anda buktikan
sendiri. Warga pulau Kaca hanya paham pada kata-kata yang anda sampaikan,
sesuai dengan arti katanya. Tak pernah berprasangka bahwa kata-kata anda itu bermakna
ganda. Tak ada kata-2 yang terbuang setelah dicerna. Misal kata anda tadi, oh
ini basa-basi, tak perlu masuk hati. Pikiran
kami sederhana. Kami tidak biasa berkata basa-basi, jika anda berbasa-basi,
tanggapan kami bisa menyebabkan salah paham.
Jadi saya harus bagaimana ? belajar menyusun kata atau bagaimana pak
ketua?
Ya terserah anda. Yang jelas,
sebelum bicara pikir baik-baik apa yang hendak anda kemukakan. Bunga-bunga kata
atau frasa hiperbola agar lawan biacara anda terkesan, tak perlu anda biasakan
di sini
Zen manggut-manggut.
Pak ketua, kata Harris. Kalau boleh
saya tahu, pohon jengkol dimana-mana. Itu yang saya lihat, tentu masih banyak
di lahan lain. Jika untuk konsumsi
makanan saya rasa kebanyakan pak ketua.
Anda cerdas, tercermin dari keinginanan-tahuan
anda sehingga anda jeli. Ya memang banyak pohon jengkol di sini. Juga pace,
kunyit, daun sirih, semak-semak kumis kucing, ladang taoge dan masih banyak
tanaman untuk makanan maupun obat-obatan. Taoge baik untuk ginjal. Semangka juga
banyak. Banyak khasiat buah semangka, terutama bagian selain buahnya yang
merah. Khusus jengkol memang kami budidayakan. Jengkol baik untuk membersihkan
tubuh kita dari racun, toksin, yang biasanya berasal dari berbagai macam asupan
makan. Secara periodik kami kirim jengkol, jahe setengah perahu layar ke pulau
terdekat untuk ditukar dengan kebutuhan sebulan ke depan.
Pulau terdekat itu dimana pak ketua,
masuk wilayah negara mana ? tanya Zen.
Yang terdekat harus menyebrangi
perairan yang ombaknya cukup besar. Hanya waktu-waktu tertentu saja ombaknya
rendah. Beberapa warga kami tahu kapan perairan itu berombak kecil. Butuh waktu
sehari untuk ke sana dengan perahu layar. Saya tidak tahu masuk wilayah negara
mana karena sesungguhnya pulai sana tak beda jauh dengan di sini. Cuma di sana
ada kelompok pedagang yang suka berlayar sampai jauh untuk jual komoditas. Ke
Timor, Lombok, Bali, Jawa. Mereka memang terkenal sebagai pelaut tangguh. Beberapa
warga sini juga jago berlayar, silakan anda mengunjungi wisma dan galangan mereka
di tenggara pulau ini. Holopis bisa mengantar anda.
Pak ketua tahu pulau Nusa Barong ? jauh ? tanya Matua Zen.
Jauh. Jika terpaksa kami ke sana
guna cari satwa tertentu sebagai obat untuk penyakit langka. Di sana banyak
satwa langka yang bermanfaat sbg obat. Insect, reptilnya beragam. Kalau
berminat belajar pengobatan penyakit langka bisa menemui guru kami, nenek
Oyang.
Baiklah anak muda, sahabat kami,
Holopis akan mengantarkan anda ke wisma tempat istirahat. Silakan.
Wisma tempat mereka menginap sama dengan
gubuk-2 lainnya. Jelas mereka tidak peduli semua itu. begitu Holopis
menunjukkan dipan masing-2 untuk tidur; Zen dan Harris masih sempat mengucapkan
terima kasih, setelah itu langsung lelap begtiu tubuh mereka menyentuh dipan
masing-2. Harris terbangun, dan tampak segar sekali. Tak mengantuk lagi. Ia
tengok ke jendela, matahari juga baru melek. Tumben Cuma semalam tidurnya,
batin Harris. Tapi badan jadi pulih, tak terasa pegal-pegal lagi. Apa karena
makanan di sini yang serba bermanfaat bagi kesehatan ?
4 Bidadari Bernama Yuani
Zen masih lelap. Harris kesepian. Ia
keluar wisma untuk mandi di pancuran seperti kemarin. Ketika kembali ke wisma
ia berpapasan dengan perempuan yang menyajikan makanan kemarin, dimana mereka
berpandangan mata. Harris segera mengangguk yang dibalas dengan senyum manis perempuan
cantik berambut panjang tapi digelung itu. Kejutan kedua pagi itu bagi Harris
adalah perempuan itu menawarkan kopi
panas.
Kejutan selanjutnya masih banyak. Satu,
perawan tadi menepati janjinya. Ia datang ke wisma dengan 2 cangkir dan satu teko kopi panas. Lalu datang
temannya perempuan sebaya membawa kue sagu dan krupuk goreng pasir.
Kami ngopi. Ah nikmatnya selangit. Kami berduaan tanpa bicara karena aku kikuk. Genduk
itu mesam-mesem saja. Mau bicara apa,
aku bingung, kenang Harris.
Masih lelah ya, tanya perempuan itu.
Sedikit. Tidurnya kurang sih, kata Harris.
Kurang ? Mas tidur sore dua hari
lalu, berarti 24 jam tambah 12 jam ! Ha,
masa ?
Tapi masih berasa pegel-2 ya ?
Iya, ga papa. Sudah jauh lebih baik
kok.
Coba aku urut, tawarnya dan genduk cantik itu ternyata tak basa-basi.
Ini baru kejutan luar biasa. Kaki
Harris dipijit bidadari ! Seperti mimpi saja.. Sampai ke paha ! Tetapi yang
dipijit adalah titik-2 pembuluh darah yg menghambat kelancaran aliran darah penyebab
capai. Meski begitu sama sekali tak ada upaya sedikitpun dari Harris untuk
merayunya. Meski Harris tak pernah melepas pandangannya ke arah perempuan itu,
kecuali tengkurap, si perempuan tak
merasa risih atau khawatir. Karena genduk itu tahu tamunya ini tulus. Ia sadar
Harris suka pada dirinya tapi etikanya masih terjaga. Itu yang membuatnya makin
kagum.
Agak siangan dikit, Holopis mengajak
Zen dan Haris sarapan bersama di rumahnya. Dalam ramah-tamah kali ini, ketua
memperkenal satu demi satu keluarganya, istri dan dua anaknyam termasuk
Holopis. serta beberapa keponakannya.
Ini puteriku anak muda, kata ketua.
Yuani namanya. Anda bisa belajar pengobatan padanya. Semua pengobatan memakai
bahan nabati, herbal dalam istilah Anda.
Oh, dia anaknya pak ketua, batin
Harris yang tak henti-hentinya berdecak kagum dalam hati. Kecantikan Yuani
khas, istimewa – pinilaianku ini bukan karena sedang jatuh cinta. Tinggi
semampai, langsing sekel tapi tidak kurus. Kulit kuning kemerahan mulus.
Bibirnya tidak tipis tapi tidak tebal, lekukannya tetap seperti gendewa. Merah,
ranum. Matanya mencorong dengan bulu mata terbalik. Alisnya hitam tajam. Tetapi yang paling aku suka itu pipinya. Nyempluk.
Putih kayak kue apem. Ih bikin gemes saja. Hidungnya pun serasi, tidak sembunyi
melulu karena malu-malu untuk nongol meski tak terlalu mancung. Suaranya pun
kok renyah di telingaku. Pelan dan agak mendesah. Jangan ditanya deh kalau
Yuani tersenyum. Jantung deg-degan serasa mau copot.
Rudi Harris tahu diri. Dia, juga
temannya yang senasib, memperoleh perlakuan istimewa. Apalagi mereka berdua
terdampar setelah musibah di tengah samodera. Bisa saja musibah kedua datang
andai pulau itu penghuninya bukan suku ‘baik’ atau bahkan penghuninya binatang
buas, sehingga mempersulit bertahan hidup.
Bisa-bisa mereka berjuang mati-matian (lagi) untuk hidup. Cari makanan harus berebut dulu dengan makluk
ganas. Jadi mereka bukan sengaja datang sebagai tamu. Bukankah boleh disebut
dia dan Zen adalah tamu tak diundang. Menyadari hal itu Harris merasa
harus membalasnya dengan sesuatu yang bermanfaat.
Sebagai balas budi, Harris bertekad untuk menyumbangkan tenaga misalnya. Ya sejelek-jeleknya
jika tidak menyumbang apapun, jangan bikin ulah yang merugikan. Merayu perawan
sini misalnya ! Jangan sampai jadi pagar nyaplok tanaman.
.
Pikiran busuk ia buang jauh-jauh.
Yuani cantik anggun bak dewi. Memang. Namun biarlah ia bersemayan sebagai
bidadari pelita hatiku agar tak cepat putus asa dalam bercinta. Maksudku, cinta
ditolak, cari lagi, begitu suara hati Harris
Ia harus cari pekerjaan yang sesuai.
Dari dulu ia suka bercocok tanam tapi ga pernah praktek. Cita-citanya selain
pelaut adalah memajukan pertanian. Tapi ia kenal sawah dari gambar. Pernah ia
main di dekat sawah, di tepi jalan, tapi ga pernah nyemplung ke tengah sawah.
Bagaimana rasanya kaki terendam lumpur lempung atau air kali pengairan.
Artikel-artikel agrikulturlah yang membuat dirinya tergugah untuk ikut
menyumbang kamajuan pertanian. Entah bagaimana caranya.
Harris nimbrung ke dalam sekumpulan
orang yang sedang merawat kebon semangka. Ia membantu menyiangi atau
membersihkan rerumputan. Hari-hari berikutnya merawat tanaman jahe dan kunyit.
Kadang waktunya nanam jagung, ia ikut. Begitulah sehari-hari kegiatan Rudi
Harris, yang terkesan bekerja keras agar
melupakan kehadiran Yuani yang kerap muncul dalam khayalnya
Dimana gerangan Matua Zen ? Ia minta
Holopis mengantarnya ke galangan , yang kata ketua Sahaya banyak pelaut
tangguh. Kebiasaan lama kumat lagi. Agar cepat disukai, Zen kembali membual.
Menceritakan pengalamannya berlayar ke belahan dunia memang bagus, tetapi
bumbunya kadang terlalu gurih. Memang pernah ia terlempar ke laut dari kapal
akibat badai. Ia memang harus berkelit
jungkir balik di dalam laut untuk menyelamatkan diri dari serangan seekor hiu.
Konyolnya, supaya seru ia sebut ikannya hiu paus. Dan 2 ekor !
Lebih parah lagi ketika ia membual
tetang hubungannya dengan anak buah. Berawal dari pertanyaan temannya barunya,
bagaimana mengelola anak buah yang kadang suka kasar. Khususnya personil mesin
yang pekerjaannya berat. Karena harus menjaga kestabilan mesin. Zen bilang anakbuahnya semua patuh banget sama
dia. Bukan karena menejemen besi dia terapkan melainkan menenejemen bunga yang
penuh kasih sayang. Maksudnya karena ia selalu baik dan ringan tangan serta
berbesar hati maka anak buah semuanya cinta kepadanya.
Harris dengar sendiri karena waktu itu
ia berkunjung ke galangan.
Ibaratnya, kata Matua Zen, aku
ludahin mandor,...tahu sendiri mandor paling disegani se ruang mesin...si
mandor diam saja ! itu karena demikian patuh dan sayangnya dia sama aku !
Betapa rendah moralnya, komen salah
satu teknisi. Teknisi lain ingin lebih jelas siapa yang rendah moralnya, yang
meludahi atau diludahi. Langsung dijawab, Yang meludahilah. Keterlaluan,
tambahnya, masak sama-sama menusia diludahin,
Merah muka Zen.
Harris coba menjelaskan. Begini
kawan-kawan. Tadi Pak Zen bilang ibaratnya...ibaratnya...artinya saking
sayangnya anak buah sama Pak Zen, kalau seumpama, andaikata, Pak Zenn marah
lalu meludahi anak buahnya yang salah, si anak buah itu diam aja. Menerima
tanpa protes.
Oooo, kata mereka hampir serempak.
Jadi tidak benar-2 terjadi to ? kata mereka lalu menyingkir . Semua..
Harris tahu cerita Zen hanya
sebagian yg benar. Sisanya isapan jempol. Mandor hutang budi pada Zen. Memang
Zen yang minta perusahaan membantu biaya
pengobatan istri mandor. Tetapi sesungguhnya pada saat itu serikat buruh sedang
gencar minta tunjangan medis ditingkatkan. Apakah lewat asuransi atau anggaran
K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja). Perusahaan menaikkan plafon. Lewat Zen
perusahaan memberi pinjaman kepada mandor yang akan diganti jika reimburse asuransi
cair. Wajar jika mandor hutang budi, tapi berlebihan memang kalau diludahin
tidak marah.
Bahwa Zen akrab banget dengan orag-2
mesin, enggak juga. Sebelum jadi perwira dek, Matua Zen menjabat Boatswain atau
Kepala Kerja Bawahan dan sempat jadi atasan Harris sebentar. Zen adalah
keponakan ayahanda Rudi Harris. Jadi Harris boleh memanggil Zen mas atau kakak.
Tetapi dirahasiakan rapat-2 benar.
Bawahan awak kapal memang tidak tahu
ada tali persaudaraan antara Zen dan Harris namun dalam keseharian kelihatan
banget kedekatan keduanya. Walau kalau
ditelusuri lebih jauh, Harris akrab pada
semua awak kapal. Mulai dari perwira sampai bawahan. Kebetulan Harris cerdas
dan ringan tangan sehingga Zen kerap minta bantuan untuk mengerjakan laporan
misalnya..
Zen bukan tipe orang yang suka
memperjuangkn kepentingan orang banyak. Bagaimana mungkin ia bisa disukai anak
buah.
Begitulah Zen, kayaknya sulit
baginya untuk berkata apa adanya, sesuai fakta tanpa melebih-lebihkan. Ia
pindah ke kelomppk kerja lain sama saja. Pada akhirnya mereka tak menggubris
Zen. Lama-lama Zen mulai kesepian, tak ada audien untuk curahan ceritanya. Dan
ia mengeluhkan hal ini kepada Harris.
Aku tidak bisa hidup seperti ini di
sini, keluh Zen. .
Harris tidak pernah memikirkan
apakah dirinya betah atau tidak. Apakah ini karena faktor Yuani, ia tak tahu.
Karena ia tak berani PDKT padanya. Ia ingat analogi dari ketua Sahaya : Anda
berhari-hari tidak makan, tentu itu berpengaruh pada penilaian anda. Karena di sini adalah daerah terpencil,
populasinya kecil, jelas perempuan segelintir. Jangan heran jika satu perempuan
putih mulus saja sudah jadi primadona. Tentu saja Harris emoh terlalu larut
dalam perdebatan masalah itu dalam
batinnya sendiri. Apalagi Yuani sudah di depan mata ! Maksudnya bidadari itu memang
sedang nyamperi Harris di tempat ia kerja. Hari itu Harris membersihkan
kebunsirih.
Mas Harris. Istirahat dulu kenapa ?
pinta Yuani,
Harris segera membersihkan diri lalu
mendatangi pepohonan dimana Yuani duduk di bawah kerindangan. Yuani membawa air
putih dan ubi- jagung rebus.
Mas kok betah sih di kebun ?
Ya memang pekerjaanku, kan tiap pagi
aku mampir ke rumah Pak Yos, penanggung jawab perkebunan lalu hari ini tugasku
membersihkan kebon ini.
Kok ga pernah ke rumahku ?
Emm,....gimana ya....
Kenapa ? aku kan pernah ke tempatmu,
balas dong, kata Yuani dengan mimik merajuk. Kenes sekali anak ini, bikin aku
gemes.
Oke. Omong-2 siapa yang nyiapin semua
ini ? saudara sepupu Yuani kan?
Ngapain? Buat orang yang aku sayang
masak menyiapkan makanan harus diserahkan orang lain?
Mak-deg ! kaget Harris. Apakah
kupingku ga salah dengar ? Yuani barusan bilang ‘buat orang yang aku sayang...’
benarkah yang dia maksud adalah diriku ?
Harris menatap Yuani yang tanpa sungkan-2 balas menatapnya.
Oh, matanya,...indah sekali. Harris
jadi ingin mengetahui bagian mana yang tidak indah pada tubuh Yuani. Mas, kok
bengong. Awas setan lewat lho, goda Yuani.
Begitulah, keakraban terjalin hari
demi hari. Bisa ditebak, pertemuan berikutnya semakin yahut. Oe aduhai betapa
mesra bila mereka berjalan berdampingan pulang dari tempat kerja Harris.
Perilaku mereka memang mesra tapi tidak
vulgar. Orang-2 yang menyaksikan mereka saat lewat turut senang dan mendoakan
keduanya segera meresmikan dan kemudian
jadi pasangan yang senantiasa disayang Tuhan. Ketua adat sudah lama tahu
gelagat tamunya akan mendekati putrinya tetapi diam saja. Cuma kadang-2 menarik
nafas panjang, entah kenapa.
Harris semakin larut dengan Yuani.
Waktunya lebih tersita untuk Yuani daripada memantau kegiatan Zen. Zen pun juga
semakin asyik dengan kesibukannya sehingga lupa hari. Siang malam ia bekerja
sampai badannya agak kurus, wajahnya brewok karena tak sempat bercukur.
Maka ketika Zen sengaja menemui
Harris, terpana Harris melihat perkembangan fisiknya. Maklum Zen tak pernah
pulang ke wisma dan Harris malas mencarinya.
Dick, aku sudah tidak betah tinggal
di sini. Aku mau pulang. Aku sudah siapkan perahu yang kokoh. Besok lusa kita
berangkat ya....
Kita ? enggaklah....aku di sini
saja.
Ayolah, kasihani aku. Kau jurumudi,
aku sudah tak menguasai lagi bidang ini. Ayolah, nanti kau kan bisa ke sini
lagi,...aku bantu deh, modalin kapal besar...aku bikin proyek wisata besar.
Ayolah Dick,...esok lusa.
Harris tersenyum dan mengggeleng
kepala. Zen mengangguk paham lalu meninggalkan Harris dengan kepala tertunduk.
Ketika jumpa Yuani malam hari itu
juga, Harris murung memikirkan kenekatan Zen. Bagaimana pun Zen adalah teman
seperjuangan. Di samping kakak sepupunya. Kenapa mas ? tanya Yuani. Harris diam
saja.
Mikir berat ya mas, sulit milih mau
tinggal atau ikut Pak Zen ?
Harris mendongak untuk menatap tajam
Yuani. Kok dia tahu, pikirnya.
Bapak cerita, Pak Zen sudah pamit
mau pulang. Bapak juga merestui kok ketika diberitahu oleh anak-2 galangan
tentang tekat pak Zen. Bapak pesan kepada anak-anak supaya bantu pak Zen, baik
menyediakan bahan maupun pengerjaannya. Kata bapak, tekad pak Zen besar. Ia
kerjakan bikin kapal itu siang malam dan tentu saja anak-anak galangan tak bisa
bantu di luar jam kerja. Harris galau, tapi Yuani meneruskan, Mas tak kasihan
Pak Zen ? dia akan sendirian mengarungi lautan luas
Jelas kasihan. Bagaimana pun Pak Zen
adalah sahabat dan saudaraku. Aku kasihan banget tapi terus ternag saja, aku
lebih mengkasihani diriku sendiri. Aku tak mau bunuh diri !
Emang kenapa mas ?
Aku jurumudi. Pekerjaanku adalah
menentukan arah kapal menuju kordinat yang hendak dicapai. Koordinat pulau ini
tidak ada yang tahu. Termasuk pelaut tanguh kata Pak Ketua. Sama saja kita
mengarungi lautan dengan peta buta. Kalau toh kapal itu bermesin sejauh mana
kapal itu bisa berlayar ?
Yuani termenung tapi Harris nerocos
terus.Pak Zen itu sudah buta hati dan pikiran. k
Umpama mas tahu koordinatnya, mas
akan ikut Pak Zen ?
Harris menatap Yuani, coba menduga
apa maunya.
Harris menggeleng kepala. Aku sudah
bilang Pak Zen dengan tegas bahwa aku tidak mau dan aku minta dia berangkat
sendiri.
Kenapa ?
Kenapa? Jelaskan pertanyaanmu Yuani.
Mengapa mas memilih tinggal di pulau
terpencil ini dan tidak ikut pulang bersama Pak Zen ?
Ah, kau tahu sendiri jawabannya
Yuani.
Tidak, maka aku bertanya padamu,
Mas.
Kembali Harris menatap tajam
perempuan yang dicintainya sehidup-semati itu, lalu memalingkan muka sambil protes,
Kamu jangan bergurau begitu Yuani. Harris lalu diam dan Yuani merasa tak enak
hati karena maksudnya baik, minta keteguhan hati kekasihnya.
Karena aku, mas ?
Lha iyalah, kok kamu masih meragukan
aku Yuani?
Kalau begitu, buktikan Mas.
Buktikan bagaimana, sayang ?!
Lamar aku.
Esok harinya Rudi Harris menghadap
ketua adat yang untuk melamar Yuani. Meski Yuani bilang sudah menyampaikan niat
baik itu kepada ayahandanya, tak urung Harris gemetar ketika menyampaikannya.
Sebelumnya ia sudah bertanya apa ada acara protokoler untuk acara melamar,
Yuani menjawabnya ada. Tapi jalan aja dulu, kita lihat reaksi bapak bagaimana.
Kalau memang mau diulang, ga papa kan, mas ?
Namun Ketua adat Sahaya memang
bijak. Protokoler memang perlu jika dalam keadaan biasa. Keadaan saat ini kan
anda sendirian dipulau ini. Tidak ada keluarga sanak saudara, ujar pak ketua.
Harris memang tak pernah mengatakan
Matua Zen adalah kakak sepupunya. Padahal Zen sendiri berpesani, jangan pernah
bilang kepada siapapun kalau aku kakak sepupumu kecuali kamu mau kawin. Sejak
kedatangannya dipulau ini ia tak bilang kepada siapapunm Zen adalah kakak
sepupunya. Jika sekarang mengaku, Harris khawatir bisa merusak acara, bisa menunda
pelaksanaan perkawinan. Faktor Zen bagi Harris ga penting. Toh dia mau pergi
tanpa perhitungan. Berarti ia memang tidak perduli kepada siapapun kecuali
dirinya sendiri.
Singkat kata Pak Sahaya menerima
lamaran itu dan akan membicarakan penghelatannya dengan sesepuh dan kerabat
dekat keluarga Sahaya. Perkiraan ikrar pernikahan bulan purnama berikutnya,
bukan bulan purnama tiga hari lagi.
Bahagia sudah, perasaan sejoli
Yuani-Harris. Segera mereka berdua berucap puji syukur.
5 Pulang
Sore hari waktu pulang ke wisma,
Harris berjumpa Zen yang kebetulan pulang. Segera saja Harris menyampaikan
kabar gembira bahwa dirinya akan menikah dengan Yuani bulan depan. Langsung Zen
memeluk adiknya sambil menepuk-nepuk pundaknya. Selamat Dick, selamat, Hebat
kau, kata Zen.
Jadi berangkat pulang ? tanya
Harris/
Iyalah, sudah tekad kok Dick, kalau
ga diniatin ga bakalan terwujud. Besok pagi-pagi sekitar jam 2an aku berlayar, antarin ke pantai
ya Dick ? soalnya aku ga mau merepotkan
teman-2 galangan. Mereka terlalu baik padaku. Kapal layar sudah tertambat di
pantai. Tinggal melepas tali, udah. Goodby Pulay Kaca tersayang.
Oke, bos. Aku siap, tandas Rudi
Harris.
Setelah acara obrolan perpisahan,
Zen pamit mau ke nenek Oyang untuk ambil obat pesanannya. Obat kuat agar
stamina terjaga dan obat lelah. Setelah mengarungi samodra ibaratnya, kelelahan
diatasi dengan obat lelah ini, kata Zen. Kalau saja Harris berpikir lebih
kritis, tentu akan waspada mengingat obat lelah tak lain obat penenang. Tapi
dasar orang lugu, tak pernah curiga apapun.
Dini hari dua sosok laki-laki tegap
berjalan menuju pantai, yang tak lain adalah Rudi Haris dan Matua Zen.
Perbekalan rupanya sudah dirapikan di dalam perahu kapal layar ukuran sedang.
Tanpa mesin.
Sampai di pantai dimana kapal layar
sudah menanti, Zen minta mereka bersulang minum di atas dok kapal. Rupanya
semua sudah disiapkan Zen. Ia keluarkan
teko isi teh hangat lalu di taruh di meja kecil di altar kapal di bawah tiang
layar. Zen menuang teh ke dalam dua
gelas kayu lalu mengambil tempat gula
seperti toples tapi dari kayu bukan kaca. Dua buah. Lalu menyendok
isinya ke dalam gelas. Satu sendok buat
gelas dia sendiri lalu gelas Harris tetapi apakah Zen menyendok isi dari
toples yang sama, siapa yang memperhatikan ? Dini hari itu masih gelap.
Penerangan hanya dari bulan, yang baru
purnama sehari-dua hari lagi. Tiga kali teguk habis sudah teh hangat dalam
masing-2 gelas. Kedua tertawa.
Harris menawarkan diri membuka
layar. Boleh Dick, tapi di kendorkan saja tali-talinya, nanti kalau sampai
tengah laut baru bisa kita buka lebar.
Dengan cekatan Harris naik tiang
layar lalu mengendorkan tali temalinya. Butuh waktu dan sedikit tenaga untuk
membuka ikatan tali. Sepuluh menit kemudian Harris turun. Zen menyambutnya.
Ombaknya gede juga ya, bisa sampai
sini. Kapalnya goyang, kata Harris. Ia tidak sadar bahwa bukan ombak yang
menggoyang kapal dan dirinya, melainkan dia memang sedang sempoyongan.
Kok sekarang aku ga kuat oleng ya,
jadi pening kepalaku, keluh Harris.
Coba duduk dan rebahan sini, Zen
menawarkan bangku agak panjang yang memang dibuat untuk tiduran saat air laut
tenang dalam perjalanan.
Harris menurut dan cuma itu yang
diingatnya. Setelah itu ia lelap dan terbangun beberapa jam kemudian saat kapal
diombang-ambing ombak besar. Layar sudah ditutup Zen.
Apa yang terjadi ?
Entahlah Dick, kau tadi tiba-tiba
pingsan dan aku tak tahu harus bagaimana ketika kapal ini terseret ombak. Kamu
tadi benar mengatakan ombaknya besar, jadi aku bingung, harus menyelamat kapal
atau kamu, Dick. Gak mungkin akau ninggalkan bebaring di pasir, ntar dibawa
ombak bagaimana ? Kapal aja bisa diseret apalagi tubuhnmu. Kalau mau
menyelamatkan kapal, ya harus mengemudikannya. Kan tali layar sudah kamu buka.
Layar terbuka sendiri, Dick. Maafkan aku ya Dick.
Aku harus bagaimana, pikir Harris.
Marah ? Nangis? Protes kepada Tuhan ?
Dan jawaban atas pertanyan terakhir
Harris adalah hempasan ombak yang melemparkan kapal mereka.
Harris hanya bengong saja. Ia
pasrah, benar-benar pesrah. Kalo toh benar Tuhan ingin aku lebih baik kembali
kepadaNya, ya sudah, kenapa harus capai-2 menantang alam, toh ombak badai
pernah aku takluknya. Terbukti aku masih hidup setelah kapal kami yang gede
hancur. Kalau aku kalah kali ini ga papa.
Tetapi tidak demikian Matua Zen.
Kesadarannya masih tinggi, daya juang hdiupnya masih berkobar menyala. Zen
meraih tali yang sudah ia siapkan, lalu secepat mungkin ia mengikat dirinya dan
Harris ke bangku panjang.
Barangkali puluhan kali ombak
menghajar dan menendang kapal mereka sampai kemudian pada tendangan ke sekian,
kapal terlempar jauh lalu ketika turun terempas keras dan hancur
berkeping-keping.
Taktik Zen manjur. Mereka masih
terikat dengan papan bangku dan terapung-apung digiring ombak tanpa arah.
Zen mengawasi Harris karena sejak ia
sadar Harris belum membuka matanya sekalipun. Ia periksa degup jantungnya.
Masih berdetak. Tertidur ? mudan-2an, batin Zen, lalu melihat sekeliling.
Nyaris tak ada yang tersisa puing-2 kapal. Cuma bebepa serpihan kayu. Beruntung
matanya cukup awas. Sebuah kantong warna coklat terapung agak jauh dari posisi
Zen. Zen mengingat-ingat. Itu kantong berisi makanan berprotein tinggi karena
saripati daging ikan perairan dalam. Ikan jenis ini tipis tapi mengandung lemak
tak jenuh sehingga aman dikonsumsi dalam jumlah tinggi. Seruas jari saja kata
nenek Oyang setara dengan 3 ekor ikan gembung.
Tetapi yang penting bagi Zen,
kantong itu berisi minuman sumber enerji karena bahannya dari madu super.
Dengan bersusah payah Zen mengayuh dengan tangannya agar ia dan Harris bergerak
mendekati kantong. Puji syukur kantong bisa diraih. Segera ia ambil minuuman lalu
ia teguk dua kali. Kemudian diteteskan ke bibir Harris. Setelah beberapa tetes,
bibir Harris basah. Harris menunjukkan tanda-2 bangun. Baru secara pelahan Zen
menyuapi minum sahabatnya itu. Mereka terapung-apung selama selama sekali siang
dengan terik matahatai yang panas dan dua malam. Minuman dan saripati ikan banyak
membantu keduanya dalam bertahan hidup sampai di hari ketiga dua nelayan dengan
biduk kecil menyelamatkan mereka. Pantai terdekat adalah daerah wisata Watulo,
selatan Jember.
Matua Zen kemudian meniti karir di
bidang wisata bahari sedang Rudi Harris luntang luntung dari kota ke kota. Ia
diajak Zen untuk gabung tapi ogah, berkali-kali Zen merayunya tapi Harris tetap
tidak mau. Tanpa alasan yang jelas. Banyak yang bilang Harris hilang ingatan.
Suka bengong dan menggerutu sendiri. Terkadang memanggil lirih “Yuani, Yuani
dimana kamu”.
Mungkin karena merasa bersalah,Zen
selalu mencarinya tiap akhir bulan, kemudian tiap dua bulan di kota-kota
sekitar Surabaya sampai Jember. Jika ketemu ia menyuruh orang untuk membawanya
ke RSJ setempat untuk dibersihan badannya, diberi pakaian baru lalu dirawat.
Tetapi kemudian Harris minggat lagi.
Begitulah kisah Pulau Kaca, kata si
Om. Oh, tak terasa sudah jam dua belas. Aku harus pulang. Pulangnya kemana om,
biar kami anter, kata Suhermanto.Ya ke rumah,...rumah mana ya ...ha...ha..ha.
terima kasih, kalian anak muda baik, jangan pernah patah semangat daag.
Lelaki tua jangkung itupun ngeloyor
pergi. Tapi baru beberapa langkah kembali lagi, Oh, aku belum bayar kopi dan
roti bakar.
Sudah om, kata teman-teman Suherman.
Beres Om, titi DJ ya ?
Siapa itu? tanya si Om.
Hati hati di jalan ... jawab 3 anak
muda itu serentak.
Si Om terkekeh-kekeh sambil berlalu.
Namun si Om nongol lagi. Oma Irama makan tahu, boys, celetuk si Om.
Aritnya Om ? tanya anak-anak
serempak.
Om mau kemana
tidak tahu,... Si Om pun bersenandung lagunya Oma Irama.
Dalam
aku berkelana Tiada yang tahu ke mana
‘ku pergi
Tiada yang tahu apa yang kucari Gunung
tinggi ‘kan kudaki
Lautan kuseberangi Aku tak
perduli
Tiga anak muda dan pemilik warkop
sampai geleng-2. Kali ini Si Om bener-2
pergi tak kembali lagi.
Eh, sesungguhnya cerita si om tadi
benar engak sih? Kata teman Suhermanto yang dari Kepanjen.
Memang kedengara agak bombastis yo,
komen yang dari Kediri.
Tapi banyak faktanya rek. ya memang
sulit dibuktikan, kata Suhermanto.
Ketiganya diam. Tiba-tiba orang tua
seusia si Om yang sejak tadi duduk di pojok nyeletuk. Tak penting benar atau
ndobos. Yang penting, kisah itu intinya nasehat agar kita biasakan berkata
benar, apa adanya. Jangan membual apalagi berbohong untuk menutupi kelemahan
diri sendiri. Bisa senjata makan tuan nantinya.
Oh, bapak ndengarkan juga rupanya,
kata Herman. Bapak kenal sama si Om ?
Kenal secara pribadi sih tidak. Aku
jarang ke warkop ini. Rumahku jauh. Kraksaan. Masih ke timur. Aku mampir ke
sini mulai tiga hari lalu ketika aku lihat si Om masuk warkop ini. Aku pernah
tahu siapa dia. Kebetulan aku sedang main dan menginap di rumah keponakanku di
Tisno.
Nama si om tadi siapa ? apa Rudi
Harris , nama tokoh dalam dongeng pulau Kaca itu ? tanya Suhermanto.
Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi aku
berani bersumpah bahwa omongan dia tadi banyak benarnya. Tapi aku ga iso
buktikan.
Bisa jelaskan dikit pak, kata teman
Suhermanto.
Misalnya cerita dia bahwa di dalam gudang pelabuhan pernah ada
live show Dara Puspita. Aku saksinya
karena aku ikut joget di belakang drumer Susi Nander. Malah menjawil dia
saking gemesnya aku.
Ketiga anak muda itu makin penasaran.
Bapak menguntit si Om karena ingin
konfrrmasi dengannya soal band Dara Puspita? Tanya Suherman dengan gaya
interograsi.
Betul, sampean peka. Kofrimasi. Aku
memang pengin ngobrol dengannya. Karena penasaran, apakah dia orangnya yang
pernah memberi aku info agar segera pulang untuk menyelamat istri anakku dari
musibah.
Jaman itu, era awal 70an aku anggota
geng motor kabupaten Probolinggo timur . Anggotanya dari Paiton, Kraksaan, Pajarakan
sampai Dringu. Tidak banyak memang, maklum jaman itu masih sedikit petani kaya
yang punya anak brandal seperti aku. Motornya jaman itu Honda, Kawasaki,
vespa. Sundap juga ada, punyaku ...ha...ha...ha
Memang kami ngebut, cuma adu balap
dengan geng lain maupun sesama anggota. Cuma sebatas ngetes kecepatan motor.
Maklum motor Jepang baru masuk. Kadang geng aku kumpul dengan geng kota, Cutut,
Paing, Prawoto, nama-nama tukang ngebut
asal kota. Mereka nongkrongnya di pertigaan depot Simpang tiga. Depan SMPK itu
dulu ada pom bensin.
Hubungan dengan si Om tadi apa pak ?
tanya Suhermanto.
Oh, sori ngelantur. Suatu ketika jaman
ngebut itu aku tinggalkan karena berkeluarga. Punya anak satu. Tapi kebiasaan
nonton band rock masih. Jaman itu Probolinggo ramai dengan konser band-2 besar.
Mulai dari Koes Plus. Godbles, AKA, Superkids dll. Saat itu aku nonton konser
apa lupa aku. Mungkin AKA, karena ditengah konser, panitia mengumumkan supaya
dokter “S” segera pulang karena anaknya sakit demam berdarah. Itu aku ingat
sekali.
Nah ditengah ingar-bingar jerit Ucok
AKA disusupi denting bising gitar Sonata Tanjung, bas Arthur Kaunang serta drum
Syech Abdidin, seseorang laki-laki jangkung dengan potonga mirip si Om itu,
menjawilku. Aku menengok, seperti pernah ketemu tapi dimana lupa.
Cepat pulang, kalau ingin istri
anakmu selamat, katanya.
Tesrsirap darahku. Hampir saja kau
gasak orang ini. Koen ngancam he ? kataku sambil mencengkram krah bajunya.
Laopo, katanya. Kita ga musuhan,
kalo kowe percoyo yo syukur, kalo ga ya jangan nyesel nanti. Dari sini ke rumah
di Kraksaan masih belok kiri, bisa sejam naik motor tuamu, Sundap. Terserah
kowe.
Orang iru lalu menghilang dengan
menyelinap diantara penonton.
Aku bimbang. Bisa jadi infonya
bohong tapi buat apa? Aku dudu wong sogih, dan aku tahu sainganku tapi ga ada yg mirip dia. Lagi pula aku
tidak terlibat apapun. Tapi kok dia tahu rumahku? Kraksaan, belok
kiri... karena aku ga tenang selama nontok band, aku putuskan pulang saja. Sejam sampai rumah
dan tidak terjadi apa-apa memang, namun
sejam kemudian terdengar suara gemuruh. Orang-orang keluar rumah dan berlarian
menuju jalan raya yang berarti menjauhi laut. Aku tidak tahu apa yang terjadi,
tapi aku ikut-ikut saja, lari keluar rumah. Aku gendong anakku yang baru
setahun. Istri aku suruh bergerak cepat di depanku. Dia hamil 8 bulan, ga
mungkin lari apalagi gendong anak. Akhirnya kami dan sejumlah orang bisa
mencapai tempat yang agak tinggi dan tengah malam baru aku dapat kabar
kampungku tenggelam. Laut sedang pasang dan airnya menggenangi kampung sampai
setinggi atap ! Ga pernah terjadi sebelumnya, makanya aku penasaran, ingin
ketemu si Om. siapa dia sesungguhnya....