Rabu, 11 September 2013

PULAU KACA



1     Putera Samodra

Tanjung Tembaga itu pelabuhan Probolinggo yang dibangun sejak zaman kolonial. Ramai pada awalnya. Setidaknya sampai akhir 60-an. Jejak sisa keramaian masih tercecer awal 70-an dimana PJKA masih mengirim gerbong untuk mengangkut barang-barang seperti beras, tepung, produk gerabah  kuali dan genteng. Gudang-gudang besar berjejer di sepanjang jalan dermaga dimana di depannya membujur rel kereta yang menuju stasiun kota. Begitu luas sampai ruangan dalam bisa dipakai untuk konser band rock wanita pertama  Indonesia, Dara Puspita, di awal 70-an, masa-masa meredupnya pantai yang pernah bersinar terang setelah Tanjung Perak, pelabuhan Surabaya. Sekarang pelabuhan itu kelihatan  megah, sejalan dengan bertambahnya penduduk, kemajuan teknologi.  Tetapi apakah pencapaian itu sesuai dengan jamannya ?
Demikian  pembukaan dongeng dari lelaki jangkung usia 70-an tapi masih gagah dan bersemangat ketika ia didaulat tiga pemuda yang kebetulan nongkrong malam itu untuk merayakan puji syukur atas lulusnya mereka bertiga dari akademi pelayaran di Surabaya. Suhermanto dan dua tamunya asal Kediri dan Kepanjen, Malang. Daripada aku jelaskan mending nanggap bapak ini, batin Herman.
Kata Ahsan, pemilik warkop, om potongan indo itu pelanggan baru tapi suka mendongeng. Apalagi ditanggap. Pelanggan warkop malah seneng mendengar ia bercerita, entaha pengalaman sendiri atau orang lain, yang jelas cetita menarik.  Hampir semua mengakui luasnya pengetahuan dan pengalamannya yang kayaknya ga mungkin kalo sekedar karangan dia. Soal apakah benar apa negcap itu nomor dua. Yang jelas terhibur oleh “kecap” dongengnya.
Emang Om nonton show itu ? tanya Suhermanto.
Iyalah, kebetulan kapalku, KM Soerabaia II,  bersandar di Tanjung Perak, lalu aku lari ke mari untuk lihat show itu—sambil nengok kekasih. Masih 30-an aku tapi belum berkeluarga, kalao istri sih...udah dah jangan ditanya. Anak aku juga ga ingat, berapa, dimana, tinggal berapa.. Di show itu malah aku sama rek-arek nom-noman kene jogetan di pangungg, di belakang drumer Susi nander yang manis dan seksi. Sampai PM (polisi militer) naik ke panggung buburkan pesta joget kami...ha...ha...
Pelabuhan ini memiliki dua  “ujung” – istilah reng-oreng lokal, yaitu  tanah menjorok ke laut sampai sekitar 100 meter, dengan lebar lima meter kurang. Di antara dua “ujung”  tengahnya adalah jeti, perairan dengan cekungan agak dalam sehingga kapal-kapal agak besar (menengah, bermesin maupun tak bermesin seperti  tongkang) bisa mendekati pangkalan sarana angkutan gerbong kereta atau truk bak. Bukan itu saja. Di sekitar pangkalan angkutan tersedia galangan untuk reparasi bahkan  membuat kapal.
Pantai yang tenang, tak pernah bergejolak ombaknya, menciptakan suasana yang damai dan indah. Keadaan ini cocok untuk wiasata, Nikmat sekali bermain di pantai  itu. Dahulu kala pantai sebelah kanan “Ujung” banyak dikunjungi wisata lokal. Orang-orang, tua muda, anak kecil, ke sana naik dokar.
Namun sekarang cuma nostalgia setelah era industrialiasai orba, ditandai dengan merebaknya pabrik-pabrik modal asing. Pantai berpasir sebelah kanan “Ujung” yang asyik itu direnggut  kaum ‘industrialis baru’. Di sana berdiri pabrik kayu-lapis. Gelondongan-2 batang pohon besar berdatangan sbg bahan baku.
Kalau pantai sebelah kanan Ujung diteluri dengan berjalan terus menyongsong matahari pagi maka kita akan sampai pesisir  Gunung Bentar. Panoramananya indah sekali dilihat dari lereng maupun badan Gunung Bentar. Herman harus ajak temen-2mu ke sana, saran si Om.
Bila pantai “sebelah kiri” ditelusuri terus ke arah barat maka akan sampai desa Pilang , lalu Bayeman dst. Di antara itu konon terdapat desa Ketapang. Di situ jalan raya menuju  Pasuruan  berdekatan dengan rel kereta api dan bersebelahan dengan pantai. Di daerah ini berdiri masjid yang beberapa langkah lagi air laut. Masjid ini dulunya bagian dari sebuah desa nelayan bernama Ketapang. Menurut legenda setempat, lahan ini dulunya menyatu dengan pulau Gili, yang kini bertengger di utara  pelabuhan Probolinggo. Kelihatan dari pelabuhan itu kan ? ke sana cuma butuh 30 menit naik perahu motor.
Kisahnya, gempa dahsyat akibat letusan Gunung Semeru mengakibatkan lahan di utara masjid secara gaib bergerak lamban ke tengah laut. Lahan yang bergerak inilah pulau itu dan kemudian diberi nama desa Gili Ketapang. Nama Gili Ketapang berasal dari  bahasa Madura. Gili  artinya  artinya mengalir, dan Ketapang merupakan nama asal desa tersebut
Di pulau ini tidak ada sungai atau pun sumber air. Penduduk Pulau Gili ambil air untuk minum dan memasak dari Probolinggo. Warga pulau Gili mengangkut berdrum-drum air  dengan satu kapal layar sederhana. Kapal layar ini ketika masuk dermaga ditarik pakai tambang oleh orang yang berjalan di Ujung tadi sampai jeti dimana pangkalan angkutan tersedia. Dokar dan becak. Orang Gili kota bukan saja ambil air, api juga jual ikan.di samping belanja. Pakaian mereka norak. Sampai bisa ditandai kalau orang pakai baju warna kuning podang, merah muda, hijau pupus, pasti dari Gili. Penarik beca atau dokar seneng dengan kedatangan mereka yang royal soal duit, tidak pelit. Tapi ga tahu bau mereka....
Memang bau apa Om ? tanya  temanHerman.dari Kediri.
Ya khas begitu,...nano-nano baunya kali, kata si Om.
Dua pemuda segera menatap Herman. Saya lahir di sana, Om, kata Herman.
Oh, ya ? terperangah si Om.
Umur setahun kata ibu, saya dan keluarga pindah ke Mayangan karena Bapak memang asli sana. Tetapi Paklik, Pakde, mbah, masih di sana, ga mau pindah.
Kulihat darahmu mengalir darah pelaut sejati. Putera Samodra, puji si Om. Bapak nya Herman memang pengusaha tapi kakeknya nelayan ulet. Ia cari ikan kemana-mana, jauh melampaui perairan sekitar sini. Bukan sekedar ikan yang ia buru. Jiwa petualanganlah yang menggiringnya untuk menjelajah Selat Madura dan  kepulaun Bawean. Dengan perahu layar !
Mbah buyut Herman lebih jauh lagi jangakauannya,. Sampai Karimata, Selat Makasar. Mbah Buyutmu Putera Samodra. Kalian harus mampu melebihi, ya setidaknya menyamai mbah buyut Herman.Kalian adalah calon putera samodra.
Tahu darimna sih Om ? tanya teman Herman satunya.
He..he..itu rahasia.
Ayolah Om, kasih tahu. Emang Om ada hubungan famili dengan Herman ? tanya temn Herman.
Om cuma baca pikiran Herman. Dia sendiri tak tahu sejarah keluarganya, sebelum ibundanya menceritakan kejayaan keluarganya.
Herman heran dan tak punya argumen untuk membantahnya. Yang jelas, kekeknya lebih tua dari Harris tapi masih kekar dan kadang masih suka berlayar sendirian. Ia betah di Pulau Gili, tak mau jauh dari perahu layar kesayangannya, papar Herman.
Mbahmu ga pernah cerita soal laut atau berbagi pengalaman kepadamu, Man ? tanya si Om. Herman menggeleng kepala.Tapi pernah mengajakmu berlayar ? Herman mengangguk. Memberi pelajaran berlayar ? Kembai Herman menggeleng.
Kata mbah, berlayar tidak bisa diajarkan kecuali dengan berlayar sendiri. Mbah mengajakku terus untuk ikut dengannya, berlayar ke mana-mana tapi emak gak kasih ijin. Berlayar penting tapi sekolah juga penting, nanti setelah lulus sekolah baru terserah ko-en, mau berlayar atau sekolah lagi yang lebih tinggi kata emak.
Om pernah berlayar kemana saja ? tanya teman Herman satunya.
Wa, udah keman-mana. Separo belahan dunia sudah aku jelajahi. Eropa , khususnya bagian utara, belum. Tapi Spanyol, Itali, terus turun ke Mesir, Irak, Sri Lanka. Lalu Australi belahan utara. Sampai di sini kapalku karam.
Nabrak batu karang Om ? tanya Suhermanto.

2     Badai Nyi Rara Kidul

Lalu mulailah lelaki tua itu mendongeng. Alur ceritanya tak punya patokan tegas. Kadang ia menceritakan orang lain tapi kadang menceritakan se-olah-olah itu pengalamannya sendiri.
Bisa jadi nabrak karang, tapi yang aku ingat siang itu perkiraanku kapal menuju perairan tak jauh dari Darwin. Sesungguhnya tujuan kami Melborne tapi entah kenapa perasaanku mengatakan kapal ini menuju perairan Darwin. Aku menuduh angin kencang berubah-ubah arah sehingga navigasi terpengaruh. Kendati kapal digerakan oleh mesin, bukan layar.  Tetapi angin wakru itu ndak karuan, kapal berputar-putar seperti mengikuti arus pusaran. Mendung datang, langit pun suram. Hujan mulai turun. Hujan berhenti, ganti angin yang makin lama makin kencang. Mungkin 80 km/jam kecepatannya. Kapal kami digoyang terus oleh ombak  yang semakin mengganas sore itu.
Aku tak tahu posisi persisnya tetapi feelingku berada di tengah samodra Hindia ! tapi aku diam saja karena aku tak punya bukti, indikator semua tak jalan. Radio mati. Kami semua mengira kena tsunami ketika sebuah gelombang tinggi terlihat hendak menerkam kami. Kapten mengantipasi dengan mengatakan untuk lebih waspada dan siap meninggalkan kapal. Kapten bicara lewat mikrofon.
Kapal dihantam ombak besar.kami semua terlempar kecuali sebagian masih kuat berpegang pada tiang atau apapun. Sebagian luka-2 tetapi aku belum tahu apakah jatuh korban jiwa. Yang jelas ruang mesin porak poranda dirusak guncangan kapal akibat ombak besar. Mesin mati. Belum sempat enginer mengidentifikasi kerusakan penyebab mesin mati, markonis Zen sudah berteriak lewat mikrofon, gelombang tinggi akan datang lagi !
Aku keluar dari ruang kerjaku dan belum sampai naik, kapal kami serasa dilempar jauh – tahunya cukup lama suasana hening dan kupikir kapal kami  dibawa terbang oleh ombak ! entah beberapa detik tapi jelas cukup lama ketika guncang dahsyat membelah kapal kami dan aku tak tahu apa yang terjadi karena ketika sadar aku sudah satu sekoci dengan markonis radio officer bernama Matua Zen. Tugasnya operator radio/komunikasi serta jawab menjaga keselamatan kapal dari bahaya . bencana alam misalnya seperti badai, gangguan yg menyebabkan kapal karam.
Zen perwira dek, sedang aku bawahan di dek sebagai Able Bodied (AB) atau juru mudi. Aku masih pemuda lajang, belum 30-an sedang ia kepala 4, berkeluarga punya dua anak. Tapi kelakuannya persis bandot muda, ujar Haris sambil tertawa. Seperti layaknya anak muda ia masih demen GGJ, berGadang-Guyon, Joget. Biasanya orang doyan guyon suka lupa diri saat ngobrol. Apalagi suka begadang. Ia suka  berkata tinggi, ndobos, bahasa sini, ujar Harris.
Cuma untuk senang-senang saja, alasan Zen saat kuingatkan supaya mengurangi cerita-cerita bombastisnya.
Ini sebagai bumbu penyedap saja, dik, kilahnya. Untuk mendramatisir suasana agar tercipta suasana seru, seram dan menegangkan. Kebiasaan panggil Harris dengan “Dik”, keterusan sehingga ia memperkenal diriku dengan nama Dick Harris. Padahal nama lengkapku kan Rudi Harris. Aku sih ga keberatan cuma ketika mengatakan diriku berasal dari Jerman, aku menolak. Malah Zen blang, wajahmu lonjong dengan potongan rambut agak gondrong dan piak tengah. Coba kamu hobi cewek, aku julukin kamu Don Juan, orang Itali. Pantas itu.
Acara ontang-anting belum selesai. Beberapa kali ombak menghemapskan sekoci kami, aku tak ingat. Yang jelas, setelah libur siang hari, ombak besar datang lagi. Ngejak guyon maneh.  Begitu ombak tinggi terlihat, kami sepakat untuk mengikat diri ke sekoci, asal-asalan saja. Yang penting mudah dikendorkan. Yang penting sekoci jangan menceraikan kami.
Mungkin sang ombak sudah puas bermain, tendangannya kian lembek. Kami terlempar dalam jarak dekat dan semakin lemah sehingga ombak biasa kembali menyatroni kami secara bersahabat. Tetapi ...tetapi itu berlangsung hampir sepanjang malam. Tengah malam atau mungkin dini hari  awan hitam secara pelahan pergi, giliran bintang bermunculan seolah tak takut lagi dicengkeram awan hitam. Kelap-kelip bentang di langit yang bersih menggugah semangat hidup Haris dan Zen. Namun kelelahan yang amat sangat membuat mereka belum memikirkan dimana posisi mereka dan mau dibawa ombak kemana. Mereka cuma bersyurkur masih bisa hidup. Kami tertidur akibat lelah jiwa raga.
Aku bangun entah karena mata, yang jelas ketika aku buka mata aku tak melihata apapun, lalu aku pejamkan lagi. Silau oleh sinar matahari menyebabkan diriku, baru aku mulaisadar setelah secara pelahan terbiasa oleh sinar matahari. Suasana hening, hanya debur ombak yang terdengar. sejauh mata memandang laut biru dongker  terhampar, menunjukkan kami terapung di perairan dalam..
Aku duduk termenung. Jika aku enggak keliru, sempat aku perhatikan bintang-bintang dan kubaca mata angin, aku berada di tengah samodra Hinda. Jika benar arah arus yang menggiring sekociku, kami berada diperairan wilayah Indonesia. Cuma persinya di selatan Timor atau selatan Jawa, ga tau, tapi kalu di bawah Sumatra enggaklah. Malah aku berkhayal, jangan-jangan Nyi Lara Kidul menggiirng kami ke suatu tempat.
Haus dan lapar menyadarkan diriku bahwa tak ada lagi bekal makanan. Air minum dan makanan. Samodra Hinda jarang dilalui kapal, dan jika demikian kami bisa berminggu-minggu terapung-apung. Aku jadi bergidik. Sementara Zen masih tidur dan mulai menggeliat karena kepanasan.
Harris memandangi laut biru terus menerus, sengatan sinar matahari tak dirasa. Tenggorokan kering juga tak mengusiknya dari memandang laut. Ia galau, sangat galau. Ia berharap matanya menangkap satu titik yang akan semakin besar dan setelah mecapai jarak pandang, baru jelas bahwa itu kapal ! Namun kemukjizatan tak terjadi siang itu dan Harris semakin resah, apakah riwayatnya akan tamat di sini, sementara ia belum jadi apa-apa. Pelautpun belum. Baru pelayaran ini ia diangkat jadi juru mudi. Ia masih muda, umur masih cukup untuk meniiti karir sebagai pelaut sejati. Tapi nyatanya, ?
He, kanapa kau musti murung ? ini belum sehari kita dapat kemurahan Tuhan. Bersyukurlah kita selamat. Kata Zen yang terbangun tapi masih enggan duduk.
Aku baru dua kali berlayar, kenapa jadi begini ?
He ! jangan pesimis, kisah kita belum selesai. Kalau kau pesimis, semuanya terasa berat. Santai saja meski aku sendiri tak tahu mau apa, tutur Zen, lalu coba tidur lagi.
Harris kembali memandangi hamparan lautan yang biru , teduh dan tenang, Tanpa deru ombak yang terkadang liar. Mungkin karena angin juga semilir . Padahal di tengah laut biasanya anginnya kencang.
Zen tertidur lagi. Bukan karena suasananya tenang tetapi kebiasaanlah yang membuat dirinya mudah tidur dalam suasana apa pun. Dan mudah bangun.
Samar-sama Rudi Harris melihat sebuah noktah yang membesarkan hatinya. Semula ia tak percaya. Dikiranya cuma halusinasi. Tetapi noktah itu semakin besar sejalan dengan laju sekoci ke arah noktah itu. betapa girang Harris, ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya. Ia goyang badan Zen agar segera bangun.
Pak Zen, Pak Zen ! Daratan Pak!




3  Pulau Kaca

Zen langsung bangun dan melihat bayangan hitam itu. Ombak dan angin sejalan mendorong sekoci mendekati bayangan hitam yang kini mulai ini semakin jelas tekturnya. Sebuah gunung yang hijau gelap bertengger di sebuah pulau di bawah langit biru yang cerah. Setelah beberapa saat yang cukup lama semakin jelas bentuk pulau itu. Sebuah daratan yang subur. Pohonan mulai terlihat.
Lambat tetapi pasti. Arah sekoci adalah pulau itu. Nyiur melambai-lambai awe-awe nyuruh mereka segera mendarat. Apalagi pantai berpasir putih seolah-olah merentangkan tangan menyambut kedatangan mereka. Debur ombak mengahantam karang terdengar kian riuh.
Harris bernafsu. Segera saja kedua tagan mengayuh sekoci, tetapi Zen menyuruh Harris menghentikan gerakannya.
Angin darat tak menguntungkan kita, kata Zen. Kita dalam bahaya, Harris.
Harris belum paham tetapi segera menyadari bahwa angin darat kian kencang. Ombak berdebur lebih galak. Dan ia baru tahu bahaya di depan mata ketika melihat ke dalam air laut yag bening. Betapa banyak batu karang. Rupanya batu karang mengitari pantai.
Mereka tak kuasa mengendalikan sekoci yang semakin melaju akibat dorongan ombak sejalan dengan kencangnya angin darat. Sebuah hentakan ombak menggulung dan melemparkan sekoci ke arah batu karang besar. Sekoci terbelah dan dua awaknya beruntung tergulung ombak dan jatuh di perairan yang batu karangnya di kedalaman sehingga mereka selamat, tidak mendapat cidera apapun. Berkat Tuhan masih menyayangi kami, kata Harris bersyukur.
Mereka harus berenang untuk mncapai daratan. Begitu menginjak kaki dipantai berpasir putih itu, dengan langkah gontai mereka berjalan menuju tempat yang rindang, di bawah deretan pohon kelapa. Tanpa dikomando mereka menjatuhkan diri di pasir, Angin semilir membuat suasana lebih adem. Ditambah lelah. Menyebabkan mereka seperti pingsan saja.
Kalau Zen, mudah tidur, mudah bangun. Karena terlatih oleh ritme kerja.  Berisik apapun kagak ngaruh. Beda dengan Rudi Harris. Tidur sulit, bangun gampang. Langkah kaki kecoapun bisa membanunkan Harris. (Ia memang lebih akur ular daripada kecoa). Kali ini begitu. Derap-derap langkah orang banyak jelas menggugah instingnya untuk waspada. Ia membuka sedikit kelopak matanya. Benar, derap langkah dari beberapa kaki. Puluhan orang telah berdiri berjajar sepuluh meter dari tempat Harris dan Zen beristirahat. Mereka diam dan mengawasi  saja.
Pak Zen, Pak Zen, seru Harris sambil menggoyang-goyang pundak markonis itu. Kita disambut suku daya pak.
Bagi Harris sekelompok orang di pedalaman yang asing baginya dan bertelanjang dada, tidak beralas kaki, dan berkulit terang, pasti suku daya. Kenapa bukan suku kubu ? Karena dia pernah bertemu dan menginap di kampung mereka di pedalaman Sumatera ketika kapalnya bersandar di Dumai seminggu lebih. Tipe orang yang akan mereka hadapi agak unik di mata Harris. Mereka pada celana sebatas lutut dari bahan kain tebal – seperti jin -- tetapi tak pakai baju. Hidungnya tidak pesek seperti kebanyakan bangsanya,. Rambutnya lurus, hitam meski ada pula yang coklat. Rata-rata tubuh mereka kekar, tanda terbiasa kerja fisik yang keras. Posturnya lebih tinggi dari kebanyakan orang Indonesia.
Suku daya? Bukanlah, ujar Zen. Aku bisa berbahasa suku daya, tambahnya.
Salah seorang dari rombongan suku mendatangi mereka. Kalau diamati wajahnya, ia masih muda tapi membawa aura pemimpin.
Selamat datang teman, kata pemuda dalam lafal yang kedengaran aneh di telinga Zen maupun Harris tapi mereka mengerti. Ini anehnya. Bunyi lafalnya aneh tapi Zen dan Harris tahu maksudnya. Harris grogi pada awalnya, namun melihat Zen tenang-2 saja, Harris ikut tenang. Ia percaya Zen, seniornya yang telah melanglang buana dan jumpa dengan berbagai suku. Di bumi nusantara ini hampir semua suku telah ia jumpai, termasuk beberapa suku di Papua dan Kalimantan.
Mengetahui penghuni pulau ini tampaknya bersahabat dan menunjukkan peradaban yang lebih baik dari yang mereka bayangkan, Zen tentu saja ingin mengutarakan penasarannya . khususnya posisi mereka dalam peta bumi.
Simpan dulu pertanyaanmu, kawan kata pemuda yang mengaku bernama Holopis   itu. Mari kita ke kediaman kami, tak jauh dari sini. Anda berdua bisa membersihkan badan dulu. Anda butuh pakaian yang bersih. Setelah mandi dan berpakaian rapi, anda  berdua bisa tanya semuanya kepada ketua adat kami.     
Begitulah. Harris dan Zen diantar para pemuda warga ke sebuah temappt untuk membersihkan diri. Keduanya mendapatkan pelayanan baik sebagaimana layaknya tamu. Holopis datang menjmeput mereka yang sudah ganteng, harum dan tampak segar karena habis mandi. Mereka tidak bertelanjang dada seperti layaknya sebagian besar penduduk pulau Kaca melainkan berpakaian rapi, dengan model sepeti baju koko.
Mereka berjalan menuju rumah ketua adat. Tidak jauh memang; Pekarangan tiap rumah yang rata-rata luas membuat lama -- diperlukan 20 menit—untuk sampai gubuk terbesar di antara gubuk-2 lainnya.
Sepanjang jalan, Harris mengamati. Tak ada batu besar atau menonjol di jalan. Kiri kanan pohon agak besar sehingga suasana adem.  Dari kejauhan Harris melihat deretan pohon kelapa, dan kebon pace.
Mereka saling pandang ketika sampai di dalam sebuah gubuk terbesar di antara belasan gubuk di dataran itu. Ya, mereka pantas kagum meyaksikan interior di dalam guuk yang sangat antik-eksotik. Perabotan cukup banyak tapi tertata rapi , tidak berdesakan. Semua perabotan terbuat dari kayu, tak ada  yang dari logam atau barang pecah belah. Keadaan ini, nanti usai makan, dikomentarai secara bercanda oleh Zen. Kita terlempar ke lorong waktu. Kita berada di jaman Flint Stone !
Selamat datang sahabat-sahabat kami, para sahabat dunia, kata ketua adat bernama Sahaya. Usianya tidak tua tetapi kelihatan paling matang di antara warga senior yang hadir sore itu.
Anda berdua adalah tamu kehormatan kami, warga Pulau Kaca, tutur Ketua Sahaya. Tentu anda berdua bertanya mengapa pulau ini bernama Kaca. Zen dan Rudi mengangguk-angguk. Barangkali nenek moyang kami mengharapkan anak cucunya nanti berwadag seperti kaca. Tahu kan wadag ? wadag itu bungkus. Secaa fisik manusia itu kan seperti bungkus dan isi. Isi wadag adalah tubuh kita yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Tetapi isi wadag adalah roh, jiwa, pikiran, batin--hati nurani. Jelas kalau wadag kita dari kaca maka akan terlihat jelas isinya. Mungkin maksudnya yang dtekankan adalah batin hati nurani kita.
Filosofinya begini. Andai pikiran dan hati kita lagi terganggu, kadang kemauan kita aneh-2. Ini berandai-2 ya para sahabatku,...andai kita kepingin makan mangga ranum itu tapi bukan kita yang menanam, berarti kita punya wewenang untuk memetiknya. Saat itulah setan lewat dan menyapa kita, menawarkan bantuan. Pingin rasain mangga mengkel itu ? mau aku bantu mengambilnya, ga bakalan ketahuan, itulah keahlianku. Caranya begini......setan membisik cara mengambilnya. Jika ia tergoda, maka akan kelihatan niat jeleknya. Itu filosofinya.
Mohon maaf ketua Sahaya, kata Rudi Harris. Begitu menginjakkan kaki saya ke pulau ini, pikiran saya pertama kali adalah memetik kelapa, karena saya haus. Berhubung saya kelelahan, tanpa mencoba dulu, saya tahu tak akan mampu memanjatnya. Apakah itikat buruk saya itu ketahuan , Pak Ketua ?
Tidak, anak muda, kata ketua Sahaya. Tetapi fisik anda sudah kelihatan anda lelah, haus dan lapar serta lemah. Motivasi anda sudah kelihatan jelas, tetapi sesungguhnya filosofi  tadi hanyalah preventif. Jika diri sendiri merasa bahkan motivasi atau itikat kita bisa kelihatan, harapan kita atau nenek moyang kita, kesadaran kita sendiri yang menggugurkan itikad buruk itu.
Nanti anda akan terbiasa dengan keadaan disini sehingga anda paham tujuan penamaan pulau itu.
Beberapa perempuan muda nan cantik masuk menyajikan hidangan. Berbagai makanan yang kendati asing tampilannya tetapi karena judul dari sajian itu adalah makanan, maka tak pelak lagi mata mereka melebar dan perut tiba-tiba keroncongan. Sampai membuat Haris tersipu malu. Hampir semua yang hadir tersenyum mendengar protes perut Haris itu. diantara yang tersenyum lebar dan melirik Harris adalah gadis manis yang menaruh masakan di depan Harris. Mereka berpandangan. Dan sama-sama tersenyum.
Beberapa makanan tersaji, minuman air putih, air kelapa pakai gula aren, dan air kelapa murni. Ada ubi rebus, ca taoge serta masakan khsa pulau ini. Yang tidak ada masakan daging. Ayam-unggas dan sapi.
Silakan mencicipi wahai anak muda, kata ketua Sahaya mempersilkan.
Zen tampak agak bingung memilih karena tak tahu mana yang lebih enak di antara beragam suguhan masakan.
Anak muda, pilih bubur dulu agar perutmu tidak kaget, usul pak ketua. Bubur warna cooklat kemerahan itu bubur sagu. Manis. Yang lain bubur jagung, serta masakan khas di sini, papar ketua Sahaya.
Harris mengambil bubur sagu, Zen ikutan. Keduanya tidak asing dengan makanan ini karena pernah makan sagon dirumah masing-2. Setelah itu Zen coba mencicipi masakan khas pulau Kaca, sementara Harris memilih minum air kelapa gula  aren. Merem melek Zen menikmati masakan khas itu. Asam, pedas campur jadi satu. Kadang pahit tetapi gurih juga. Keliru besar kalau Zen merasa tidak ada yang memperhatikan. Separuh piring ia habiskan dan segera cari minuman manis. Beberapa teguk Zen habiskan baru merasa lega.
Itu makanan kesehatan, anak muda. Tumis pace, kunyit muda campur ikan cucut, kata ketua Sahaja.
Meski tak bisa menahan cengar-cengirnya, Zen berusaha bersikap wajar, menghargai tuan rumah.
Oh, pantas, enak sekali pak ketua, kata Zen. Rasanya eksotic pak, saya sudah kemana-mana di belahan bumi ini, ga ada niknatnya seperti ini Pak !
Sebaiknya anda berkata yang  sebenarnya. Jika memang kurang cocok, katakan apa adanya. Kami akan maklum karena masakan ini khas dari sini. Kami tidak tersinggung, tetapi kami mengerti. Anda berhari-hari tidak makan, tentu itu berpengaruh pada penilaian anda. Lagipula, bukankah masakan terenak berasal dari kampung sendiri ?
Maaf kan saya pak ketua. Saya hanya berusaha bersikap sopan atas kebaikan bapak dan teman-teman di pulau ini, kilah Zen.
Di tempat asalmu sana, anak muda, apakah berkata yang tidak sebenarnya, membesar-besarkan, adalah ungkapan kesopanan untuk menghormati orang yang telah berbaik hati kepada anda ?
Buk...bukan begitu pak ketua, masakan ini memang enak kok, Zen sulit menemukan kata-kata yang cocok dengan apa yang ingin ia sampaikan. Saya coba membangun suasana yang menyenangkan. Di tempat saya, kadang orang suka membesar-besarkan agar suasana nyaman dan orang-orang pun tahu bahwa ungkapan itu tidak sesuai dengan yang digambarkan. Basa-basi namanya.
Semoga demikian adanya anak muda, kata ketua. Tetapi perlu saya ingatkan, anak muda. Di pulau Kaca ini berkata apa adanya sudah men-tradisi. Karena kalau anda tidak membiasakan diri dengan kebiasan di sini sehari-hari, Anda bisa tidak betah. Kami tidak menakut-nakuti, jarang kapal singgah di pulau kami meski hanya berhenti jauh dari pantai.
Saya akan berusaha menyesuaikan diri. Tetapi usia sudah 40, tidak mudah mengubah kebiasaan basa-basi saya.
Pak ketua diam sebentar mencerna “budaya” basa-basi  yang diutarakan Zen.
Hm, orang sini tidak mengenal basa-basi, tetapi bukan berarti suka berkata tajam, nanti akan anda buktikan sendiri. Warga pulau Kaca hanya paham pada kata-kata yang anda sampaikan, sesuai dengan arti katanya. Tak pernah berprasangka bahwa kata-kata anda itu bermakna ganda. Tak ada kata-2 yang terbuang setelah dicerna. Misal kata anda tadi, oh ini basa-basi, tak perlu masuk hati.  Pikiran kami sederhana. Kami tidak biasa berkata basa-basi, jika anda berbasa-basi, tanggapan kami bisa menyebabkan salah paham.
Jadi saya harus bagaimana  ? belajar menyusun kata atau bagaimana pak ketua?
Ya terserah anda. Yang jelas, sebelum bicara pikir baik-baik apa yang hendak anda kemukakan. Bunga-bunga kata atau frasa hiperbola agar lawan biacara anda terkesan, tak perlu anda biasakan di sini
Zen manggut-manggut.
Pak ketua, kata Harris. Kalau boleh saya tahu, pohon jengkol dimana-mana. Itu yang saya lihat, tentu masih banyak di lahan lain.  Jika untuk konsumsi makanan saya rasa kebanyakan pak ketua.
Anda cerdas, tercermin dari keinginanan-tahuan anda sehingga anda jeli. Ya memang banyak pohon jengkol di sini. Juga pace, kunyit, daun sirih, semak-semak kumis kucing, ladang taoge dan masih banyak tanaman untuk makanan maupun obat-obatan. Taoge baik untuk ginjal. Semangka juga banyak. Banyak khasiat buah semangka, terutama bagian selain buahnya yang merah. Khusus jengkol memang kami budidayakan. Jengkol baik untuk membersihkan tubuh kita dari racun, toksin, yang biasanya berasal dari berbagai macam asupan makan. Secara periodik kami kirim jengkol, jahe setengah perahu layar ke pulau terdekat untuk ditukar dengan kebutuhan sebulan ke depan.
Pulau terdekat itu dimana pak ketua, masuk wilayah negara mana ? tanya Zen.
Yang terdekat harus menyebrangi perairan yang ombaknya cukup besar. Hanya waktu-waktu tertentu saja ombaknya rendah. Beberapa warga kami tahu kapan perairan itu berombak kecil. Butuh waktu sehari untuk ke sana dengan perahu layar. Saya tidak tahu masuk wilayah negara mana karena sesungguhnya pulai sana tak beda jauh dengan di sini. Cuma di sana ada kelompok pedagang yang suka berlayar sampai jauh untuk jual komoditas. Ke Timor, Lombok, Bali, Jawa. Mereka memang terkenal sebagai pelaut tangguh. Beberapa warga sini juga jago berlayar, silakan anda mengunjungi wisma dan galangan mereka di tenggara pulau ini. Holopis bisa mengantar anda.
Pak ketua tahu  pulau Nusa Barong ? jauh ? tanya Matua Zen.
Jauh. Jika terpaksa kami ke sana guna cari satwa tertentu sebagai obat untuk penyakit langka. Di sana banyak satwa langka yang bermanfaat sbg obat. Insect, reptilnya beragam. Kalau berminat belajar pengobatan penyakit langka bisa menemui guru kami, nenek Oyang.
Baiklah anak muda, sahabat kami, Holopis akan mengantarkan anda ke wisma tempat istirahat. Silakan.
Wisma tempat mereka menginap sama dengan gubuk-2 lainnya. Jelas mereka tidak peduli semua itu. begitu Holopis menunjukkan dipan masing-2 untuk tidur; Zen dan Harris masih sempat mengucapkan terima kasih, setelah itu langsung lelap begtiu tubuh mereka menyentuh dipan masing-2. Harris terbangun, dan tampak segar sekali. Tak mengantuk lagi. Ia tengok ke jendela, matahari juga baru melek. Tumben Cuma semalam tidurnya, batin Harris. Tapi badan jadi pulih, tak terasa pegal-pegal lagi. Apa karena makanan di sini yang serba bermanfaat bagi kesehatan ?


4  Bidadari Bernama Yuani

Zen masih lelap. Harris kesepian. Ia keluar wisma untuk mandi di pancuran seperti kemarin. Ketika kembali ke wisma ia berpapasan dengan perempuan yang menyajikan makanan kemarin, dimana mereka berpandangan mata. Harris segera mengangguk yang dibalas dengan senyum manis perempuan cantik berambut panjang tapi digelung itu. Kejutan kedua pagi itu bagi Harris adalah perempuan itu  menawarkan kopi panas.
Kejutan selanjutnya masih banyak. Satu, perawan tadi menepati janjinya. Ia datang ke wisma dengan 2 cangkir  dan satu teko kopi panas. Lalu datang temannya perempuan sebaya membawa kue sagu dan krupuk goreng pasir.
Kami ngopi. Ah nikmatnya selangit.  Kami berduaan tanpa bicara karena aku kikuk. Genduk itu mesam-mesem saja. Mau bicara  apa, aku bingung, kenang Harris.
Masih lelah ya, tanya perempuan itu. Sedikit. Tidurnya kurang sih, kata Harris.
Kurang ? Mas tidur sore dua hari lalu, berarti  24 jam tambah 12 jam ! Ha, masa ?
Tapi masih berasa pegel-2 ya ?
Iya, ga papa. Sudah jauh lebih baik kok.
Coba aku urut, tawarnya dan  genduk cantik itu ternyata tak basa-basi.
Ini baru kejutan luar biasa. Kaki Harris dipijit bidadari ! Seperti mimpi saja.. Sampai ke paha ! Tetapi yang dipijit adalah titik-2 pembuluh darah yg menghambat kelancaran aliran darah penyebab capai. Meski begitu sama sekali tak ada upaya sedikitpun dari Harris untuk merayunya. Meski Harris tak pernah melepas pandangannya ke arah perempuan itu, kecuali  tengkurap, si perempuan tak merasa risih atau khawatir. Karena genduk itu tahu tamunya ini tulus. Ia sadar Harris suka pada dirinya tapi etikanya masih terjaga. Itu yang membuatnya makin kagum.
Agak siangan dikit, Holopis mengajak Zen dan Haris sarapan bersama di rumahnya. Dalam ramah-tamah kali ini, ketua memperkenal satu demi satu keluarganya, istri dan dua anaknyam termasuk Holopis. serta beberapa keponakannya.
Ini puteriku anak muda, kata ketua. Yuani namanya. Anda bisa belajar pengobatan padanya. Semua pengobatan memakai bahan nabati, herbal dalam istilah  Anda.
Oh, dia anaknya pak ketua, batin Harris yang tak henti-hentinya berdecak kagum dalam hati. Kecantikan Yuani khas, istimewa – pinilaianku ini bukan karena sedang jatuh cinta. Tinggi semampai, langsing sekel tapi tidak kurus. Kulit kuning kemerahan mulus. Bibirnya tidak tipis tapi tidak tebal, lekukannya tetap seperti gendewa. Merah, ranum. Matanya mencorong dengan bulu mata terbalik.  Alisnya hitam tajam. Tetapi  yang paling aku suka itu pipinya. Nyempluk. Putih kayak kue apem. Ih bikin gemes saja. Hidungnya pun serasi, tidak sembunyi melulu karena malu-malu untuk nongol meski tak terlalu mancung. Suaranya pun kok renyah di telingaku. Pelan dan agak mendesah. Jangan ditanya deh kalau Yuani tersenyum. Jantung deg-degan serasa mau copot.
Rudi Harris tahu diri. Dia, juga temannya yang senasib, memperoleh perlakuan istimewa. Apalagi mereka berdua terdampar setelah musibah di tengah samodera. Bisa saja musibah kedua datang andai pulau itu penghuninya bukan suku ‘baik’ atau bahkan penghuninya binatang buas, sehingga mempersulit bertahan hidup.  Bisa-bisa mereka berjuang mati-matian (lagi) untuk hidup.  Cari makanan harus berebut dulu dengan makluk ganas. Jadi mereka bukan sengaja datang sebagai tamu. Bukankah boleh disebut dia dan Zen adalah tamu tak diundang. Menyadari hal itu Harris merasa harus  membalasnya dengan sesuatu yang bermanfaat. Sebagai balas budi, Harris bertekad untuk menyumbangkan tenaga misalnya. Ya sejelek-jeleknya jika tidak menyumbang apapun, jangan bikin ulah yang merugikan. Merayu perawan sini misalnya ! Jangan sampai jadi pagar nyaplok tanaman.
.
Pikiran busuk ia buang jauh-jauh. Yuani cantik anggun bak dewi. Memang. Namun biarlah ia bersemayan sebagai bidadari pelita hatiku agar tak cepat putus asa dalam bercinta. Maksudku, cinta ditolak, cari lagi, begitu suara hati Harris
Ia harus cari pekerjaan yang sesuai. Dari dulu ia suka bercocok tanam tapi ga pernah praktek. Cita-citanya selain pelaut adalah memajukan pertanian. Tapi ia kenal sawah dari gambar. Pernah ia main di dekat sawah, di tepi jalan, tapi ga pernah nyemplung ke tengah sawah. Bagaimana rasanya kaki terendam lumpur lempung atau air kali pengairan. Artikel-artikel agrikulturlah yang membuat dirinya tergugah untuk ikut menyumbang kamajuan pertanian. Entah bagaimana caranya.
Harris nimbrung ke dalam sekumpulan orang yang sedang merawat kebon semangka. Ia membantu menyiangi atau membersihkan rerumputan. Hari-hari berikutnya merawat tanaman jahe dan kunyit. Kadang waktunya nanam jagung, ia ikut. Begitulah sehari-hari kegiatan Rudi Harris, yang terkesan bekerja keras agar  melupakan kehadiran Yuani yang kerap muncul dalam khayalnya
Dimana gerangan Matua Zen ? Ia minta Holopis mengantarnya ke galangan , yang kata ketua Sahaya banyak pelaut tangguh. Kebiasaan lama kumat lagi. Agar cepat disukai, Zen kembali membual. Menceritakan pengalamannya berlayar ke belahan dunia memang bagus, tetapi bumbunya kadang terlalu gurih. Memang pernah ia terlempar ke laut dari kapal akibat badai. Ia memang harus  berkelit jungkir balik di dalam laut untuk menyelamatkan diri dari serangan seekor hiu. Konyolnya, supaya seru ia sebut ikannya hiu paus. Dan 2 ekor !
Lebih parah lagi ketika ia membual tetang hubungannya dengan anak buah. Berawal dari pertanyaan temannya barunya, bagaimana mengelola anak buah yang kadang suka kasar. Khususnya personil mesin yang pekerjaannya berat. Karena harus menjaga kestabilan mesin.  Zen bilang anakbuahnya semua patuh banget sama dia. Bukan karena menejemen besi dia terapkan melainkan menenejemen bunga yang penuh kasih sayang. Maksudnya karena ia selalu baik dan ringan tangan serta berbesar hati maka anak buah semuanya cinta kepadanya.
Harris dengar sendiri karena waktu itu ia berkunjung ke galangan.
Ibaratnya, kata Matua Zen, aku ludahin mandor,...tahu sendiri mandor paling disegani se ruang mesin...si mandor diam saja ! itu karena demikian patuh dan sayangnya dia sama aku !
Betapa rendah moralnya, komen salah satu teknisi. Teknisi lain ingin lebih jelas siapa yang rendah moralnya, yang meludahi atau diludahi. Langsung dijawab, Yang meludahilah. Keterlaluan, tambahnya, masak sama-sama menusia diludahin,
Merah muka Zen.
Harris coba menjelaskan. Begini kawan-kawan. Tadi Pak Zen bilang ibaratnya...ibaratnya...artinya saking sayangnya anak buah sama Pak Zen, kalau seumpama, andaikata, Pak Zenn marah lalu meludahi anak buahnya yang salah, si anak buah itu diam aja. Menerima tanpa protes.
Oooo, kata mereka hampir serempak. Jadi tidak benar-2 terjadi to ? kata mereka lalu menyingkir . Semua..
Harris tahu cerita Zen hanya sebagian yg benar. Sisanya isapan jempol. Mandor hutang budi pada Zen. Memang Zen yang  minta perusahaan membantu biaya pengobatan istri mandor. Tetapi sesungguhnya pada saat itu serikat buruh sedang gencar minta tunjangan medis ditingkatkan. Apakah lewat asuransi atau anggaran K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja). Perusahaan menaikkan plafon. Lewat Zen perusahaan memberi pinjaman kepada mandor yang akan diganti jika reimburse asuransi cair. Wajar jika mandor hutang budi, tapi berlebihan memang kalau diludahin tidak marah.
Bahwa Zen akrab banget dengan orag-2 mesin, enggak juga. Sebelum jadi perwira dek, Matua Zen menjabat Boatswain atau Kepala Kerja Bawahan dan sempat jadi atasan Harris sebentar. Zen adalah keponakan ayahanda Rudi Harris. Jadi Harris boleh memanggil Zen mas atau kakak. Tetapi dirahasiakan rapat-2 benar.
Bawahan awak kapal memang tidak tahu ada tali persaudaraan antara Zen dan Harris namun dalam keseharian kelihatan banget  kedekatan keduanya. Walau kalau ditelusuri lebih  jauh, Harris akrab pada semua awak kapal. Mulai dari perwira sampai bawahan. Kebetulan Harris cerdas dan ringan tangan sehingga Zen kerap minta bantuan untuk mengerjakan laporan misalnya..
Zen bukan tipe orang yang suka memperjuangkn kepentingan orang banyak. Bagaimana mungkin ia bisa disukai anak buah.
Begitulah Zen, kayaknya sulit baginya untuk berkata apa adanya, sesuai fakta tanpa melebih-lebihkan. Ia pindah ke kelomppk kerja lain sama saja. Pada akhirnya mereka tak menggubris Zen. Lama-lama Zen mulai kesepian, tak ada audien untuk curahan ceritanya. Dan ia mengeluhkan hal ini kepada Harris.
Aku tidak bisa hidup seperti ini di sini, keluh Zen. .
Harris tidak pernah memikirkan apakah dirinya betah atau tidak. Apakah ini karena faktor Yuani, ia tak tahu. Karena ia tak berani PDKT padanya. Ia ingat analogi dari ketua Sahaya : Anda berhari-hari tidak makan, tentu itu berpengaruh pada penilaian anda.  Karena di sini adalah daerah terpencil, populasinya kecil, jelas perempuan segelintir. Jangan heran jika satu perempuan putih mulus saja sudah jadi primadona. Tentu saja Harris emoh terlalu larut dalam perdebatan masalah itu  dalam batinnya sendiri. Apalagi Yuani sudah di depan mata ! Maksudnya bidadari itu memang sedang nyamperi Harris di tempat ia kerja. Hari itu Harris membersihkan kebunsirih.
Mas Harris. Istirahat dulu kenapa ? pinta Yuani,
Harris segera membersihkan diri lalu mendatangi pepohonan dimana Yuani duduk di bawah kerindangan. Yuani membawa air putih dan  ubi- jagung rebus.
Mas kok betah sih di kebun ?
Ya memang pekerjaanku, kan tiap pagi aku mampir ke rumah Pak Yos, penanggung jawab perkebunan lalu hari ini tugasku membersihkan kebon ini.
Kok ga pernah ke rumahku ?
Emm,....gimana ya....
Kenapa ? aku kan pernah ke tempatmu, balas dong, kata Yuani dengan mimik merajuk. Kenes sekali anak ini, bikin aku gemes.
Oke. Omong-2 siapa yang nyiapin semua ini ? saudara sepupu Yuani kan?
Ngapain? Buat orang yang aku sayang masak menyiapkan makanan harus diserahkan orang lain?
Mak-deg ! kaget Harris. Apakah kupingku ga salah dengar ? Yuani barusan bilang ‘buat orang yang aku sayang...’  benarkah yang dia maksud adalah diriku ? Harris menatap Yuani yang tanpa sungkan-2 balas menatapnya.
Oh, matanya,...indah sekali. Harris jadi ingin mengetahui bagian mana yang tidak indah pada tubuh Yuani. Mas, kok bengong. Awas setan lewat lho, goda Yuani.
Begitulah, keakraban terjalin hari demi hari. Bisa ditebak, pertemuan berikutnya semakin yahut. Oe aduhai betapa mesra bila mereka berjalan berdampingan pulang dari tempat kerja Harris. Perilaku mereka memang mesra tapi  tidak vulgar. Orang-2 yang menyaksikan mereka saat lewat turut senang dan mendoakan keduanya  segera meresmikan dan kemudian jadi pasangan yang senantiasa disayang Tuhan. Ketua adat sudah lama tahu gelagat tamunya akan mendekati putrinya tetapi diam saja. Cuma kadang-2 menarik nafas panjang, entah kenapa.
Harris semakin larut dengan Yuani. Waktunya lebih tersita untuk Yuani daripada memantau kegiatan Zen. Zen pun juga semakin asyik dengan kesibukannya sehingga lupa hari. Siang malam ia bekerja sampai badannya agak kurus, wajahnya brewok karena tak sempat bercukur.
Maka ketika Zen sengaja menemui Harris, terpana Harris melihat perkembangan fisiknya. Maklum Zen tak pernah pulang ke wisma dan Harris malas mencarinya.
Dick, aku sudah tidak betah tinggal di sini. Aku mau pulang. Aku sudah siapkan perahu yang kokoh. Besok lusa kita berangkat ya....
Kita ? enggaklah....aku di sini saja.
Ayolah, kasihani aku. Kau jurumudi, aku sudah tak menguasai lagi bidang ini. Ayolah, nanti kau kan bisa ke sini lagi,...aku bantu deh, modalin kapal besar...aku bikin proyek wisata besar. Ayolah Dick,...esok lusa.
Harris tersenyum dan mengggeleng kepala. Zen mengangguk paham lalu meninggalkan Harris dengan kepala tertunduk.
Ketika jumpa Yuani malam hari itu juga, Harris murung memikirkan kenekatan Zen. Bagaimana pun Zen adalah teman seperjuangan. Di samping kakak sepupunya. Kenapa mas ? tanya Yuani. Harris diam saja.
Mikir berat ya mas, sulit milih mau tinggal atau ikut Pak Zen ?
Harris mendongak untuk menatap tajam Yuani. Kok dia tahu, pikirnya.
Bapak cerita, Pak Zen sudah pamit mau pulang. Bapak juga merestui kok ketika diberitahu oleh anak-2 galangan tentang tekat pak Zen. Bapak pesan kepada anak-anak supaya bantu pak Zen, baik menyediakan bahan maupun pengerjaannya. Kata bapak, tekad pak Zen besar. Ia kerjakan bikin kapal itu siang malam dan tentu saja anak-anak galangan tak bisa bantu di luar jam kerja. Harris galau, tapi Yuani meneruskan, Mas tak kasihan Pak Zen ? dia akan sendirian mengarungi lautan luas
Jelas kasihan. Bagaimana pun Pak Zen adalah sahabat dan saudaraku. Aku kasihan banget tapi terus ternag saja, aku lebih mengkasihani diriku sendiri. Aku tak mau bunuh diri !
Emang kenapa mas ?
Aku jurumudi. Pekerjaanku adalah menentukan arah kapal menuju kordinat yang hendak dicapai. Koordinat pulau ini tidak ada yang tahu. Termasuk pelaut tanguh kata Pak Ketua. Sama saja kita mengarungi lautan dengan peta buta. Kalau toh kapal itu bermesin sejauh mana kapal itu bisa berlayar ?
Yuani termenung tapi Harris nerocos terus.Pak Zen itu sudah buta hati dan pikiran. k
Umpama mas tahu koordinatnya, mas akan ikut Pak Zen ?
Harris menatap Yuani, coba menduga apa maunya.
Harris menggeleng kepala. Aku sudah bilang Pak Zen dengan tegas bahwa aku tidak mau dan aku minta dia berangkat sendiri.
Kenapa ?
Kenapa? Jelaskan pertanyaanmu Yuani.
Mengapa mas memilih tinggal di pulau terpencil ini dan tidak ikut pulang bersama Pak Zen ?
Ah, kau tahu sendiri jawabannya Yuani.
Tidak, maka aku bertanya padamu, Mas.
Kembali Harris menatap tajam perempuan yang dicintainya sehidup-semati itu, lalu memalingkan muka sambil protes, Kamu jangan bergurau begitu Yuani. Harris lalu diam dan Yuani merasa tak enak hati karena maksudnya baik, minta keteguhan hati kekasihnya.
Karena aku, mas ?
Lha iyalah, kok kamu masih meragukan aku Yuani?
Kalau begitu, buktikan Mas.
Buktikan bagaimana, sayang ?!
Lamar aku.
Esok harinya Rudi Harris menghadap ketua adat yang untuk melamar Yuani. Meski Yuani bilang sudah menyampaikan niat baik itu kepada ayahandanya, tak urung Harris gemetar ketika menyampaikannya. Sebelumnya ia sudah bertanya apa ada acara protokoler untuk acara melamar, Yuani menjawabnya ada. Tapi jalan aja dulu, kita lihat reaksi bapak bagaimana. Kalau memang mau diulang, ga papa kan, mas ?
Namun Ketua adat Sahaya memang bijak. Protokoler memang perlu jika dalam keadaan biasa. Keadaan saat ini kan anda sendirian dipulau ini. Tidak ada keluarga sanak saudara, ujar pak ketua.
Harris memang tak pernah mengatakan Matua Zen adalah kakak sepupunya. Padahal Zen sendiri berpesani, jangan pernah bilang kepada siapapun kalau aku kakak sepupumu kecuali kamu mau kawin. Sejak kedatangannya dipulau ini ia tak bilang kepada siapapunm Zen adalah kakak sepupunya. Jika sekarang mengaku, Harris khawatir bisa merusak acara, bisa menunda pelaksanaan perkawinan. Faktor Zen bagi Harris ga penting. Toh dia mau pergi tanpa perhitungan. Berarti ia memang tidak perduli kepada siapapun kecuali dirinya sendiri.
Singkat kata Pak Sahaya menerima lamaran itu dan akan membicarakan penghelatannya dengan sesepuh dan kerabat dekat keluarga Sahaya. Perkiraan ikrar pernikahan bulan purnama berikutnya, bukan bulan purnama tiga hari lagi.
Bahagia sudah, perasaan sejoli Yuani-Harris. Segera mereka berdua berucap puji syukur. 


5  Pulang

Sore hari waktu pulang ke wisma, Harris berjumpa Zen yang kebetulan pulang. Segera saja Harris menyampaikan kabar gembira bahwa dirinya akan menikah dengan Yuani bulan depan. Langsung Zen memeluk adiknya sambil menepuk-nepuk pundaknya. Selamat Dick, selamat, Hebat kau, kata Zen.
Jadi berangkat pulang ? tanya Harris/
Iyalah, sudah tekad kok Dick, kalau ga diniatin ga bakalan terwujud. Besok pagi-pagi sekitar  jam 2an aku berlayar, antarin ke pantai ya  Dick ? soalnya aku ga mau merepotkan teman-2 galangan. Mereka terlalu baik padaku. Kapal layar sudah tertambat di pantai. Tinggal melepas tali, udah. Goodby Pulay Kaca  tersayang.
Oke, bos. Aku siap, tandas Rudi Harris.
Setelah acara obrolan perpisahan, Zen pamit mau ke nenek Oyang untuk ambil obat pesanannya. Obat kuat agar stamina terjaga dan obat lelah. Setelah mengarungi samodra ibaratnya, kelelahan diatasi dengan obat lelah ini, kata Zen. Kalau saja Harris berpikir lebih kritis, tentu akan waspada mengingat obat lelah tak lain obat penenang. Tapi dasar orang lugu, tak pernah curiga apapun.
Dini hari dua sosok laki-laki tegap berjalan menuju pantai, yang tak lain adalah Rudi Haris dan Matua Zen. Perbekalan rupanya sudah dirapikan di dalam perahu kapal layar ukuran sedang. Tanpa mesin.
Sampai di pantai dimana kapal layar sudah menanti, Zen minta mereka bersulang minum di atas dok kapal. Rupanya semua sudah disiapkan Zen.  Ia keluarkan teko isi teh hangat lalu di taruh di meja kecil di altar kapal di bawah tiang layar.  Zen menuang teh ke dalam dua gelas kayu lalu mengambil tempat gula  seperti toples tapi dari kayu bukan kaca. Dua buah. Lalu menyendok isinya ke dalam gelas. Satu sendok buat  gelas dia sendiri lalu gelas Harris tetapi apakah Zen menyendok isi dari toples yang sama, siapa yang memperhatikan ? Dini hari itu masih gelap. Penerangan  hanya dari bulan, yang baru purnama sehari-dua hari lagi. Tiga kali teguk habis sudah teh hangat dalam masing-2 gelas. Kedua tertawa.
Harris menawarkan diri membuka layar. Boleh Dick, tapi di kendorkan saja tali-talinya, nanti kalau sampai tengah laut baru bisa kita buka lebar.
Dengan cekatan Harris naik tiang layar lalu mengendorkan tali temalinya. Butuh waktu dan sedikit tenaga untuk membuka ikatan tali. Sepuluh menit kemudian Harris turun. Zen menyambutnya.
Ombaknya gede juga ya, bisa sampai sini. Kapalnya goyang, kata Harris. Ia tidak sadar bahwa bukan ombak yang menggoyang kapal dan dirinya, melainkan dia memang sedang sempoyongan.
Kok sekarang aku ga kuat oleng ya, jadi pening kepalaku, keluh Harris.
Coba duduk dan rebahan sini, Zen menawarkan bangku agak panjang yang memang dibuat untuk tiduran saat air laut tenang dalam perjalanan.
Harris menurut dan cuma itu yang diingatnya. Setelah itu ia lelap dan terbangun beberapa jam kemudian saat kapal diombang-ambing ombak besar. Layar sudah ditutup Zen.
Apa yang terjadi ?
Entahlah Dick, kau tadi tiba-tiba pingsan dan aku tak tahu harus bagaimana ketika kapal ini terseret ombak. Kamu tadi benar mengatakan ombaknya besar, jadi aku bingung, harus menyelamat kapal atau kamu, Dick. Gak mungkin akau ninggalkan bebaring di pasir, ntar dibawa ombak bagaimana ? Kapal aja bisa diseret apalagi tubuhnmu. Kalau mau menyelamatkan kapal, ya harus mengemudikannya. Kan tali layar sudah kamu buka. Layar terbuka sendiri, Dick. Maafkan aku ya Dick.
Aku harus bagaimana, pikir Harris. Marah ? Nangis? Protes kepada Tuhan ?
Dan jawaban atas pertanyan terakhir Harris adalah hempasan ombak yang melemparkan kapal mereka.
Harris hanya bengong saja. Ia pasrah, benar-benar pesrah. Kalo toh benar Tuhan ingin aku lebih baik kembali kepadaNya, ya sudah, kenapa harus capai-2 menantang alam, toh ombak badai pernah aku takluknya. Terbukti aku masih hidup setelah kapal kami yang gede hancur. Kalau aku kalah kali ini ga papa.
Tetapi tidak demikian Matua Zen. Kesadarannya masih tinggi, daya juang hdiupnya masih berkobar menyala. Zen meraih tali yang sudah ia siapkan, lalu secepat mungkin ia mengikat dirinya dan Harris ke bangku panjang.
Barangkali puluhan kali ombak menghajar dan menendang kapal mereka sampai kemudian pada tendangan ke sekian, kapal terlempar jauh lalu ketika turun terempas keras dan hancur berkeping-keping.
Taktik Zen manjur. Mereka masih terikat dengan papan bangku dan terapung-apung digiring ombak tanpa arah.
Zen mengawasi Harris karena sejak ia sadar Harris belum membuka matanya sekalipun. Ia periksa degup jantungnya. Masih berdetak. Tertidur ? mudan-2an, batin Zen, lalu melihat sekeliling. Nyaris tak ada yang tersisa puing-2 kapal. Cuma bebepa serpihan kayu. Beruntung matanya cukup awas. Sebuah kantong warna coklat terapung agak jauh dari posisi Zen. Zen mengingat-ingat. Itu kantong berisi makanan berprotein tinggi karena saripati daging ikan perairan dalam. Ikan jenis ini tipis tapi mengandung lemak tak jenuh sehingga aman dikonsumsi dalam jumlah tinggi. Seruas jari saja kata nenek Oyang setara dengan 3 ekor ikan gembung.
Tetapi yang penting bagi Zen, kantong itu berisi minuman sumber enerji karena bahannya dari madu super. Dengan bersusah payah Zen mengayuh dengan tangannya agar ia dan Harris bergerak mendekati kantong. Puji syukur kantong bisa diraih. Segera ia ambil minuuman lalu ia teguk dua kali. Kemudian diteteskan ke bibir Harris. Setelah beberapa tetes, bibir Harris basah. Harris menunjukkan tanda-2 bangun. Baru secara pelahan Zen menyuapi minum sahabatnya itu. Mereka terapung-apung selama selama sekali siang dengan terik matahatai yang panas dan  dua malam. Minuman dan saripati ikan banyak membantu keduanya dalam bertahan hidup sampai di hari ketiga dua nelayan dengan biduk kecil menyelamatkan mereka. Pantai terdekat adalah daerah wisata Watulo, selatan Jember.
Matua Zen kemudian meniti karir di bidang wisata bahari sedang Rudi Harris luntang luntung dari kota ke kota. Ia diajak Zen untuk gabung tapi ogah, berkali-kali Zen merayunya tapi Harris tetap tidak mau. Tanpa alasan yang jelas. Banyak yang bilang Harris hilang ingatan. Suka bengong dan menggerutu sendiri. Terkadang memanggil lirih “Yuani, Yuani dimana kamu”.
Mungkin karena merasa bersalah,Zen selalu mencarinya tiap akhir bulan, kemudian tiap dua bulan di kota-kota sekitar Surabaya sampai Jember. Jika ketemu ia menyuruh orang untuk membawanya ke RSJ setempat untuk dibersihan badannya, diberi pakaian baru lalu dirawat. Tetapi kemudian Harris minggat lagi.
Begitulah kisah Pulau Kaca, kata si Om. Oh, tak terasa sudah jam dua belas. Aku harus pulang. Pulangnya kemana om, biar kami anter, kata Suhermanto.Ya ke rumah,...rumah mana ya ...ha...ha..ha. terima kasih, kalian anak muda baik, jangan pernah patah semangat daag.
Lelaki tua jangkung itupun ngeloyor pergi. Tapi baru beberapa langkah kembali lagi, Oh, aku belum bayar kopi dan roti bakar.
Sudah om, kata teman-teman Suherman. Beres Om, titi DJ ya ?
Siapa itu? tanya si Om.
Hati hati di jalan ... jawab 3 anak muda itu serentak.
Si Om terkekeh-kekeh sambil berlalu. Namun si Om nongol lagi. Oma Irama makan tahu, boys, celetuk si Om.
Aritnya Om ? tanya anak-anak serempak.
Om  mau kemana tidak tahu,... Si Om pun bersenandung lagunya Oma Irama.
Dalam aku berkelana  Tiada yang tahu ke mana ‘ku pergi                                                                                             Tiada yang tahu apa yang kucari  Gunung tinggi ‘kan kudaki                             Lautan kuseberangi  Aku tak perduli
Tiga anak muda dan pemilik warkop sampai geleng-2. Kali ini  Si Om bener-2 pergi tak kembali lagi.
Eh, sesungguhnya cerita si om tadi benar engak sih? Kata teman Suhermanto yang dari Kepanjen.
Memang kedengara agak bombastis yo, komen yang dari Kediri.
Tapi banyak faktanya rek. ya memang sulit dibuktikan, kata Suhermanto.
Ketiganya diam. Tiba-tiba orang tua seusia si Om yang sejak tadi duduk di pojok nyeletuk. Tak penting benar atau ndobos. Yang penting, kisah itu intinya nasehat agar kita biasakan berkata benar, apa adanya. Jangan membual apalagi berbohong untuk menutupi kelemahan diri sendiri. Bisa senjata makan tuan nantinya.
Oh, bapak ndengarkan juga rupanya, kata Herman. Bapak kenal sama si Om ?
Kenal secara pribadi sih tidak. Aku jarang ke warkop ini. Rumahku jauh. Kraksaan. Masih ke timur. Aku mampir ke sini mulai tiga hari lalu ketika aku lihat si Om masuk warkop ini. Aku pernah tahu siapa dia. Kebetulan aku sedang main dan menginap di rumah keponakanku di Tisno.
Nama si om tadi siapa ? apa Rudi Harris , nama tokoh dalam dongeng pulau Kaca itu ? tanya Suhermanto.
Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi aku berani bersumpah bahwa omongan dia tadi banyak benarnya. Tapi aku ga iso buktikan.
Bisa jelaskan dikit pak, kata teman Suhermanto.
Misalnya cerita dia  bahwa di dalam gudang pelabuhan pernah ada live show Dara Puspita. Aku saksinya  karena aku ikut joget di belakang drumer Susi Nander. Malah menjawil dia saking gemesnya aku.
Ketiga anak muda itu makin penasaran.
Bapak menguntit si Om karena ingin konfrrmasi dengannya soal band Dara Puspita? Tanya Suherman dengan gaya interograsi.
Betul, sampean peka. Kofrimasi. Aku memang pengin ngobrol dengannya. Karena penasaran, apakah dia orangnya yang pernah memberi aku info agar segera pulang untuk menyelamat istri anakku dari musibah.
Jaman itu, era awal 70an aku anggota geng motor kabupaten Probolinggo timur . Anggotanya dari Paiton, Kraksaan, Pajarakan sampai Dringu. Tidak banyak memang, maklum jaman itu masih sedikit petani kaya yang punya anak brandal seperti aku. Motornya jaman itu Honda, Kawasaki, vespa.  Sundap juga ada, punyaku ...ha...ha...ha
Memang kami ngebut, cuma adu balap dengan geng lain maupun sesama anggota. Cuma sebatas ngetes kecepatan motor. Maklum motor Jepang baru masuk. Kadang geng aku kumpul dengan geng kota, Cutut, Paing, Prawoto,  nama-nama tukang ngebut asal kota. Mereka nongkrongnya di pertigaan depot Simpang tiga. Depan SMPK itu dulu ada pom bensin.
Hubungan dengan si Om tadi apa pak ? tanya Suhermanto.
Oh, sori ngelantur. Suatu ketika jaman ngebut itu aku tinggalkan karena berkeluarga. Punya anak satu. Tapi kebiasaan nonton band rock masih. Jaman itu Probolinggo ramai dengan konser band-2 besar. Mulai dari Koes Plus. Godbles, AKA, Superkids dll. Saat itu aku nonton konser apa lupa aku. Mungkin AKA, karena ditengah konser, panitia mengumumkan supaya dokter “S” segera pulang karena anaknya sakit demam berdarah. Itu aku ingat sekali.
Nah ditengah ingar-bingar jerit Ucok AKA disusupi denting bising gitar Sonata Tanjung, bas Arthur Kaunang serta drum Syech Abdidin, seseorang laki-laki jangkung dengan potonga mirip si Om itu, menjawilku. Aku menengok, seperti pernah ketemu tapi dimana lupa.
Cepat pulang, kalau ingin istri anakmu selamat, katanya.
Tesrsirap darahku. Hampir saja kau gasak orang ini. Koen ngancam he ? kataku  sambil mencengkram krah bajunya.
Laopo, katanya. Kita ga musuhan, kalo kowe percoyo yo syukur, kalo ga ya jangan nyesel nanti. Dari sini ke rumah di Kraksaan masih belok kiri, bisa sejam naik motor tuamu, Sundap. Terserah kowe.
Orang iru lalu menghilang dengan menyelinap diantara penonton.
Aku bimbang. Bisa jadi infonya bohong tapi buat apa? Aku dudu wong sogih, dan aku tahu sainganku  tapi ga ada yg mirip dia. Lagi  pula aku  tidak terlibat apapun. Tapi kok dia tahu rumahku? Kraksaan, belok kiri... karena aku ga tenang selama nontok band,  aku putuskan pulang saja. Sejam sampai rumah dan tidak  terjadi apa-apa memang, namun sejam kemudian terdengar suara gemuruh. Orang-orang keluar rumah dan berlarian menuju jalan raya yang berarti menjauhi laut. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku ikut-ikut saja, lari keluar rumah. Aku gendong anakku yang baru setahun. Istri aku suruh bergerak cepat di depanku. Dia hamil 8 bulan, ga mungkin lari apalagi gendong anak. Akhirnya kami dan sejumlah orang bisa mencapai tempat yang agak tinggi dan tengah malam baru aku dapat kabar kampungku tenggelam. Laut sedang pasang dan airnya menggenangi kampung sampai setinggi atap ! Ga pernah terjadi sebelumnya, makanya aku penasaran, ingin ketemu si Om. siapa dia sesungguhnya....