Banjir februari 2007 bukan musibah
besar namun dinamika mental terlihat jelas. Egois, tidak mau tahu
keadaan orang lain tanpa disadari mencuat. Meskipun ternyata masih
banyak juga orang yang peduli dan berbaik hati. Mereka dari kaum
mampu maupun kalangan sahaja, walau memang sekelumit. Mereka
muncul menolong tanpa diduga sama sekali. Bantuan fisik maupun
materi mereka berikan dengan tulus. Suka duka banjir februari 2007
berikut ini memaparkan dinamika tersebut. Ketika kita terdesak,
tertekan, apalagi musti menyelamatkan anggota keluarga, kadang tanpa
sadar kita menelanjangi diri kita. Kita tak mau tahu keadaan orang
lain. Yang penting urusan kita didahulukan. Saat antri panjang
misalnya, emosi naik dan saat itu biasanya terbersit untuk melakukan
apa saja asal kita didahulukan . antri apa saja. Lebih-lebih saat
menghadapi musibah kecil, apalagi besar, kita bisa gusar dan bahkan
kalap.
Setelah menunggu berjam-jam hujan
tak kunjung reda, akhirnya aku nekad pulang jam 1 dini hari. Lelahku
setelah seharian memproduksi “obat kuat” untuk mesin seolah-olah
sirna begitu ingat banjir 5 tahun sebelumnya di komplekku. Banjir
Februari 2002 masih menimbulkan trauma. Walau banjir “cuma”
seudel di dalam rumah, namun suasananya serasa berada ditengah
lautan coklat selama 3 hari penuh. Itupun masih ada bonus . Banjir
surut dan rumah sudah dibersihkan, eh air datang lagi. Menggenangi
seluruh komplek setinggi pinggang selama sehari.
Aku sampai di komplek jam 2 dini
hari. Jalan depan pasar Rawabebek sudah tergenang air meski baru
semata kaki, Berarti di sekitar rumah lebih tinggi genangannya. Benar
, genangan di jalan depan rumah sudahhampir sedengkul . Setelah
mandi aku istirahat di kamar belakang karena kamar depan ditempati
anak-anaku, Jon Seger (11th) dan Ali Gading (7th), ditemani
buliknya, Yuyun. Ibunya anak-anak dan si ragil Danan (4 th) berada
di rumah budenya di komplek yang sama tetapi di lokasi yang
genangannya baru semata kaki tadi. Danan kurang sehat – agak demam.
Aku rebahan di lantai pakai kasur
busa. Mungkin lantaran lelah setelah kerja sampai malam ditambah
kehujanan, aku hanya tidur ayam. Suara gerimispun masih terdengar.
Perasaan belun lama aku rebahan, tiba-tiba kakiku menyentuh air . Ha?
Kaget , aku sontak berdiri dan menyaksikan air mengalir dari kamar
mandi. Wah,....air mulai masuk. Bukan dari depan. Buru-2 kubangunkan
Yuyun dan dua bocah. Kulihat saat itu pukul 03.30. sementara dua
bocah kusuruh bertengger di sofa , kami mulai mengakati barang-2 yg
tergeletak di lantai. Buku-2 pelajaran yang tersimpan di laci bawah
lemari plastik kukeluarkan dan kutaruh di bak plastik yang sebelumnya
sudah kuletakkan di kursi. Pengamanan barang-barang dari air tidak
makan waktu lama. Air memang naik tapi lambat. Jam 8 pagi lebih
ketinggian air di dalam rumah memang belum sedengkul tapi di jalanan
bisa lebih dalam. Yuyun punya ide untuk mengajak Jon n Gading ke
rumah mbaknya di “Atas” . Komplek Harapan Baru di bangun di atas
urukan rawa (Rawa Bebek). Tak heran jika di samping rumah berdiri
tebing lebih tinggi dari atap rumah BTN. Meksi sebagian tebing sudah
di ratakan dengan dataran komplek. Di atas tebing samping rumah itu
berdiri SDN IV dan SDN V (DKI). Rumah bu/pak liknya anak-anak berada
di atas tebing itulah, atau tepatnya bekas bibir rawa.
Saat Jon nyemplung ke genangan di
jalan, air sudah sepahanya. Praktis sejak jam 8.45 aku sendirian.
Barang-barang “aman”, kenaikan air kayaknya sudah mentok. Aku
sempat sarapan meski baru setengah piring perhatianku tetuju pada
ketingian air. Sepertinya merayap naik agak cepat. Padahal masih
gerimis. Aku turun dan coba menaikkan barang-barang yang mulai
terancam air yang naik. Tetapi tempat yang lebih tinggi dari kursi
sudah terisi. Meja 1 biro ada monitor komputer, dua salon speaker .
PLN memutus aliran listrik. Wah bener nih, air bakal naik. Lt2 cuma
teras yang beratap. Sisanya ruangan terbuka untuk jemuran. TV besar
beserta kaset, VCD dan CD sudah lebih dulu di lt 2. TV 12“ masih
nangkring di atas lemari kayu. Masih banyak yg “belum aman”.
Aku mulai panik. Bingung mana yang aku dahulu kan untuk “di-naikkan”
, mau dinaikkan ke mana lagi? Air semakin tinggi. Bak platik isi
tumpukan buku mulai terancam sejalan dengan tenggelamnya sang kursi
kayu. Kursi mulai oleng , dan ambruk kursi beserta bak isi tumpukan
buku. Aku menyelamatan buku pelajaran SD satu dua, sisanya taruh
dimana? Air main nggi. Tak seberapa lama meja 1 biro bergoyang.
Monitor PC, dan benda lain pun ambruk kecebur bersamaan dengan
terbaliknya meja. Ketinggian air mencapai pingganngku. Aku sedang
bawa salon speaker untuk kunaikkan entah dimana saat melihat meja
terballik. Monitor btenggaleam sedang salon satunya terapung. Putus
asalah aku. Aku banting sekalian itu speaker berat tadi. Akhirnya aku
dikondisikan untuk jadi peninonton ketika satu demi satu
lemari-lemari ambruk – termasuk yg ada TV di atasnya. Persis
adegan dalam film Titanic. Jam 10.30an ipar Nanto datang bersama
Yuyun. Aku dan Nanto memindahkan kulkas ke sebelah kompor gas—space
tertinggi yang tersisa. Yuyun sibuk mengambil baju-baju yang bersih
untuk di bawa ke “Atas”. Nanto berusaha keras memindah
barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Tapi aku sudah pesimis.
Jam 11 air sudah setinggi dada. Akupun teriak “Kita tinggalkan
sekarang, cepat. Di jalan lebih dalam lagi “ Kami pun segera
bergerak menuju pintukeluar. Masing-masing membawa tas isi pakaian.
Sampai di pintu, Yuyun hendak balik karena ada yang terlewat untuk
dibawa. Kubilang, ‘ga keburu” tapi dia tetap masuk kamar meski
tak lama kemudian keluar. Kami bergerak. Sampai di jalan. Ketinggian
air sudah seleher. Terpaksa aku dan Nanto menjijing tinggi-tinggi tas
isi pakaian. Mendekati warung, gelombang air mengenai hidung. Aku
berjalan jinjit supaya air tak sampai mengenai mulut dan hidungku,
kulihat Yuyun merangkul Nanto dari belakang karena dia harus berenang
jika tak ingin tenggelam. Gerimis makin tipis.
Aku berdoa dalam hati, mohon kepada
Gusti Allah agar kami selamat menyebrangi beberapa langkah ke depan.
Tenagaku yang terkuras sejak sehari sebelumnya kini mulai
berpengaruh. Aku lemas. Kaki terasa pegal dan jemari telapak kaki
terasa hendak kram. Bagian terdalam sudah terlewati. Tapi tenaga
habis, kedinginan dan kakiku terasa kaku. Aku hanya bisa berdoa,
jangan sampai aku roboh. Aku khawatir kalau sampai roboh, sulit
bagiku untuk bangkit lantaran kram semua. Rumah Nanto yang dituju
meski tinggal 50 meter an dgn kondisi jalan datar tanpa
genanagan,terasa jauh. Namun akutetap berjalan dengan sipaksa kalem,
sesantai mungkin. Tidak buru-buru dan tiak ingin istirahat barang
sejenak. Alhamdulillah sampai di rumah Nanto, kami selamat . Kecuali
HP nokiaku. Mati dan rusak akibat lama terendam.
Kami berkumpul semua di rumah Nanto.
Danan sudah tidak demam. Setelah mandi dan makan aku tak bisa tidur
meski badan lelah. Rupanya Heni sempat naik becak ke rumah Nanto
ketika banjir masih di bawah dengkul.Tapi lewat jam jam 8 pagi,
becak tak berani jalan lantaran kedalamannya beresiko. Jadi mbakku
dan suaminya serta ibuku masih di rumah mbak. Belum bisa dievakuasi.
Putrinya yang ragil bisa keluar bersma Heni dan Danan. Demikian juga
sulungnya, Nisa.
Siang itu Heni cari kontrakan.
Tentu saja tidak gampang cari kontrakan, tapi dia jalan juga. Agak
lama , akhirnya Heni ketemu kelompok warga RW tetangga dan diajak
bareng coba jajagi apartemen yang sudah 80 %b jadi. Akhirnya kami
boleh sewa apartemen yang notabene letaknya di atas “tebing”
samping rumahku. Mbakyuku dapat apartemen di sebelahku persis.
Apartemen ini memang didisain kecil –satu kamar, merangkap dapur
dan kamar mandi kayaknya memang untuk keluarga belum punya anak kali
, pasutri alias pasangan sejoli doang.