Kamis, 28 Februari 2013

PELOPOR KEMANUSIAAN BANJIR 2007


Banjir februari 2007 bukan musibah besar namun dinamika mental terlihat jelas. Egois, tidak mau tahu keadaan orang lain tanpa disadari mencuat. Meskipun ternyata masih banyak juga orang yang peduli dan berbaik hati. Mereka dari kaum mampu maupun kalangan sahaja, walau memang sekelumit. Mereka muncul menolong tanpa diduga sama sekali. Bantuan fisik maupun materi mereka berikan dengan tulus. Suka duka banjir februari 2007 berikut ini memaparkan dinamika tersebut. Ketika kita terdesak, tertekan, apalagi musti menyelamatkan anggota keluarga, kadang tanpa sadar kita menelanjangi diri kita. Kita tak mau tahu keadaan orang lain. Yang penting urusan kita didahulukan. Saat antri panjang misalnya, emosi naik dan saat itu biasanya terbersit untuk melakukan apa saja asal kita didahulukan . antri apa saja. Lebih-lebih saat menghadapi musibah kecil, apalagi besar, kita bisa gusar dan bahkan kalap.
Setelah menunggu berjam-jam hujan tak kunjung reda, akhirnya aku nekad pulang jam 1 dini hari. Lelahku setelah seharian memproduksi “obat kuat” untuk mesin seolah-olah sirna begitu ingat banjir 5 tahun sebelumnya di komplekku. Banjir Februari 2002 masih menimbulkan trauma. Walau banjir “cuma” seudel di dalam rumah, namun suasananya serasa berada ditengah lautan coklat selama 3 hari penuh. Itupun masih ada bonus . Banjir surut dan rumah sudah dibersihkan, eh air datang lagi. Menggenangi seluruh komplek setinggi pinggang selama sehari.
Aku sampai di komplek jam 2 dini hari. Jalan depan pasar Rawabebek sudah tergenang air meski baru semata kaki, Berarti di sekitar rumah lebih tinggi genangannya. Benar , genangan di jalan depan rumah sudahhampir sedengkul . Setelah mandi aku istirahat di kamar belakang karena kamar depan ditempati anak-anaku, Jon Seger (11th) dan Ali Gading (7th), ditemani buliknya, Yuyun. Ibunya anak-anak dan si ragil Danan (4 th) berada di rumah budenya di komplek yang sama tetapi di lokasi yang genangannya baru semata kaki tadi. Danan kurang sehat – agak demam.
Aku rebahan di lantai pakai kasur busa. Mungkin lantaran lelah setelah kerja sampai malam ditambah kehujanan, aku hanya tidur ayam. Suara gerimispun masih terdengar. Perasaan belun lama aku rebahan, tiba-tiba kakiku menyentuh air . Ha? Kaget , aku sontak berdiri dan menyaksikan air mengalir dari kamar mandi. Wah,....air mulai masuk. Bukan dari depan. Buru-2 kubangunkan Yuyun dan dua bocah. Kulihat saat itu pukul 03.30. sementara dua bocah kusuruh bertengger di sofa , kami mulai mengakati barang-2 yg tergeletak di lantai. Buku-2 pelajaran yang tersimpan di laci bawah lemari plastik kukeluarkan dan kutaruh di bak plastik yang sebelumnya sudah kuletakkan di kursi. Pengamanan barang-barang dari air tidak makan waktu lama. Air memang naik tapi lambat. Jam 8 pagi lebih ketinggian air di dalam rumah memang belum sedengkul tapi di jalanan bisa lebih dalam. Yuyun punya ide untuk mengajak Jon n Gading ke rumah mbaknya di “Atas” . Komplek Harapan Baru di bangun di atas urukan rawa (Rawa Bebek). Tak heran jika di samping rumah berdiri tebing lebih tinggi dari atap rumah BTN. Meksi sebagian tebing sudah di ratakan dengan dataran komplek. Di atas tebing samping rumah itu berdiri SDN IV dan SDN V (DKI). Rumah bu/pak liknya anak-anak berada di atas tebing itulah, atau tepatnya bekas bibir rawa.
Saat Jon nyemplung ke genangan di jalan, air sudah sepahanya. Praktis sejak jam 8.45 aku sendirian. Barang-barang “aman”, kenaikan air kayaknya sudah mentok. Aku sempat sarapan meski baru setengah piring perhatianku tetuju pada ketingian air. Sepertinya merayap naik agak cepat. Padahal masih gerimis. Aku turun dan coba menaikkan barang-barang yang mulai terancam air yang naik. Tetapi tempat yang lebih tinggi dari kursi sudah terisi. Meja 1 biro ada monitor komputer, dua salon speaker . PLN memutus aliran listrik. Wah bener nih, air bakal naik. Lt2 cuma teras yang beratap. Sisanya ruangan terbuka untuk jemuran. TV besar beserta kaset, VCD dan CD sudah lebih dulu di lt 2. TV 12“ masih nangkring di atas lemari kayu. Masih banyak yg “belum aman”. Aku mulai panik. Bingung mana yang aku dahulu kan untuk “di-naikkan” , mau dinaikkan ke mana lagi? Air semakin tinggi. Bak platik isi tumpukan buku mulai terancam sejalan dengan tenggelamnya sang kursi kayu. Kursi mulai oleng , dan ambruk kursi beserta bak isi tumpukan buku. Aku menyelamatan buku pelajaran SD satu dua, sisanya taruh dimana? Air main nggi. Tak seberapa lama meja 1 biro bergoyang. Monitor PC, dan benda lain pun ambruk kecebur bersamaan dengan terbaliknya meja. Ketinggian air mencapai pingganngku. Aku sedang bawa salon speaker untuk kunaikkan entah dimana saat melihat meja terballik. Monitor btenggaleam sedang salon satunya terapung. Putus asalah aku. Aku banting sekalian itu speaker berat tadi. Akhirnya aku dikondisikan untuk jadi peninonton ketika satu demi satu lemari-lemari ambruk – termasuk yg ada TV di atasnya. Persis adegan dalam film Titanic. Jam 10.30an ipar Nanto datang bersama Yuyun. Aku dan Nanto memindahkan kulkas ke sebelah kompor gas—space tertinggi yang tersisa. Yuyun sibuk mengambil baju-baju yang bersih untuk di bawa ke “Atas”. Nanto berusaha keras memindah barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Tapi aku sudah pesimis. Jam 11 air sudah setinggi dada. Akupun teriak “Kita tinggalkan sekarang, cepat. Di jalan lebih dalam lagi “ Kami pun segera bergerak menuju pintukeluar. Masing-masing membawa tas isi pakaian. Sampai di pintu, Yuyun hendak balik karena ada yang terlewat untuk dibawa. Kubilang, ‘ga keburu” tapi dia tetap masuk kamar meski tak lama kemudian keluar. Kami bergerak. Sampai di jalan. Ketinggian air sudah seleher. Terpaksa aku dan Nanto menjijing tinggi-tinggi tas isi pakaian. Mendekati warung, gelombang air mengenai hidung. Aku berjalan jinjit supaya air tak sampai mengenai mulut dan hidungku, kulihat Yuyun merangkul Nanto dari belakang karena dia harus berenang jika tak ingin tenggelam. Gerimis makin tipis.
Aku berdoa dalam hati, mohon kepada Gusti Allah agar kami selamat menyebrangi beberapa langkah ke depan. Tenagaku yang terkuras sejak sehari sebelumnya kini mulai berpengaruh. Aku lemas. Kaki terasa pegal dan jemari telapak kaki terasa hendak kram. Bagian terdalam sudah terlewati. Tapi tenaga habis, kedinginan dan kakiku terasa kaku. Aku hanya bisa berdoa, jangan sampai aku roboh. Aku khawatir kalau sampai roboh, sulit bagiku untuk bangkit lantaran kram semua. Rumah Nanto yang dituju meski tinggal 50 meter an dgn kondisi jalan datar tanpa genanagan,terasa jauh. Namun akutetap berjalan dengan sipaksa kalem, sesantai mungkin. Tidak buru-buru dan tiak ingin istirahat barang sejenak. Alhamdulillah sampai di rumah Nanto, kami selamat . Kecuali HP nokiaku. Mati dan rusak akibat lama terendam.
Kami berkumpul semua di rumah Nanto. Danan sudah tidak demam. Setelah mandi dan makan aku tak bisa tidur meski badan lelah. Rupanya Heni sempat naik becak ke rumah Nanto ketika banjir masih di bawah dengkul.Tapi lewat jam jam 8 pagi, becak tak berani jalan lantaran kedalamannya beresiko. Jadi mbakku dan suaminya serta ibuku masih di rumah mbak. Belum bisa dievakuasi. Putrinya yang ragil bisa keluar bersma Heni dan Danan. Demikian juga sulungnya, Nisa.
Siang itu Heni cari kontrakan. Tentu saja tidak gampang cari kontrakan, tapi dia jalan juga. Agak lama , akhirnya Heni ketemu kelompok warga RW tetangga dan diajak bareng coba jajagi apartemen yang sudah 80 %b jadi. Akhirnya kami boleh sewa apartemen yang notabene letaknya di atas “tebing” samping rumahku. Mbakyuku dapat apartemen di sebelahku persis. Apartemen ini memang didisain kecil –satu kamar, merangkap dapur dan kamar mandi kayaknya memang untuk keluarga belum punya anak kali , pasutri alias pasangan sejoli doang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar