Senin, 14 Januari 2013
SURAT PHK DARIKU UNTUK ULUPI TERSAYANG (bagian-3)
Entah pada bulan ke berapa, suatu hari Sabtu malam saat di rumah kontrakan Denok, berlangsung cekcok antara Denok dan kekasihnya. Sampai jam 9 lewat, perang mulut masih berlangsung . Upi keluar dari kamar Denok --arena pera ng-- lalu menhampiriku yang hamper sejam “setia” menungguinya di ruang tamu dan mengajakku “Ayo pulang, Mas.” Upi keluar rumah begitu saja tanpa menanti yang punya rumah keluar. Lha aku bingung. Pulang ke mana? Mbaknya kan sudah lama ga di Yogya lagi. Ya sudah, kayak kebo nyusu gudel. Aku ngekor Upi saja.
Selama mbonceng, Upi diam saja. Aku bawa kemana anak ini, pikirku. Aku arahkan vespa sujperku ke Gejayan, arah koontrakan, Upi diam saja. Sampai di rumah hampir jam sepuluh. Tumben sepi. Entah pada kemana atau sudah tidur? Kayaknya ga ad yang tahu aku bawa cewek ke kamarku. Aku masuk sama Upi juga ga perlu mengendap—endap. Aku ke kamar mandi cuci kaki, masuk kamar. Gelar kasur gulung buat Upi di tepi dinding satunya, jadi tidak berdekatan. Aku siapkan teko isi air putih dan gelasnya, lalu aku minum sebelum berbaing, siap tidur. “Pi, seharian aku tadi ke kampus lalu ke rumah Denok…jadi aku bener-bener lelah sekarang. Aku mau tidur dulu ya?”
Upi mengangguk. “Kamu butuh apa, sebelum aku lelap?”
“ada kaos buat tidur ga Mas?”
“Amnbi saja di lemari.”
Upi ambil kaos lalu buka pintu mau ke kamar mandi kali. Tapi ga jadi, setelah melongok keluar. “Mas di pekarangan belakang aku lihat ada orang laklaki.”
“Yang punya rumah, Om Tan. Ga papa, aku kenal baik sama dia kok,”
Aku sungkan mas, anterin ke kamar mandi dong, pinta Upi.
Mau pipis? Tanyaku. Enggak, aku sudah pipis di rumah Denok tadi. Mau ganti baju.
Ganti baju aja di sini, kataku datar. Upi manatapku sejenak. ‘Matikan lampu, ga papa,’ saranku.
Tanpa ekspresi apapun, dengan santai Upi melepas pakaian atasnya. Ia tetap menatapku. Upi buka baju tanpa matikan lampu. Tapi tetap saja gelap, wong aku merem.
Sabtu pagi itu awalnya mendung – tidak berarti kelabu bagiku, meski temen-temen gerombolannya Anton mengira aku lagi sendu. Tumben mereka ngumpul. Sejak jam 10-an mereka berdatangan kecuali Victor, Ambon muda sebelah kamarku. Ga seperti biasanya. Alex yang asal Payakumbuh bawa pacarnya, Wuryaningsih – kecantikan ndesonya kental dan mempesona. Wury asli Wonosari. Ia ditemani Liz – Elizabeth, kekasih Tony. Beda dengan Wury yang lugu dan sederhana, Liz modis. Menunjukkan tipe perempuan kota besar. Ia berasal dari Surabaya kota. Beda dengan Anton yang dialiri darah Tionghoa, Liz jowo putih. Satu lagi dari Padang ga bawa pacar, sedang si Batak satunya memang belum punya. Kecuali Alex dan pacarnya, semuanya temen Tony jebolan asrama yang sama , tak jauh dari situ. Liz masih di asrama Putri di Samirono. Aku pernah diajak Antonblusukan ke sana malam hari. Waktu acara kesenian apa-- ah lupa aku. Aku digiring Anton masuk ke ruang ganti/rias pemain yang notabene cewe-cewe centil asrama, sebelum aku dipanjer di belakang panggung. Tujuan Anton cuma satu : supaya aku dapat cewek. Kok begitu saktinya si Anton sampai ke amanan di situ diam saja ketika ia bilang “ini konsultanku” sambil menunjuk diriku. Dia memang sebagai penasehat acara, sekaligus pelatih grup nyanyi yang akan manggung.Anton mahir main akustik klasik.
Sementara mereka ngobrol dan bercanda di ruang tamu depan, aku duduk sendiri di kursi kayu biasa dengan meja kecil di sudut ruang tengah yang luas ( 8 m x 8 m) --- mungkin ini ruang santai yang biasanya dipenuhi satu set sofa lengkap dengan TV besar dan set stereo, lalu ada kursi dan meja makan panjang. Aku memang suka menyendiri , jarang nimbrung. Kecuali malam di atas jam 10, main gaple bareng-2 sampai pagi !
Liz menghampiri ku, diikuti Wury. Liz memang akrab sama akulantra memang suering ke rumah. Sementara Anton pacarnta masih molor, pagi-pagi Liz datang untuk membersihkan dan merapikan kamar . Setelah selesai biasanya ia keluar bawa cangkir isi the bila aku lagi duduk seperti saat itu. Lalu kami ngobrol suroboyoan. Sama Wury akrab juga cuma karna jarang ketemu, agak rikuh juga.
“Areke tekone sore ya Ga, “ Liz buka suara.
Aku tersenyum sebelum menjelaskan bahwa Upi ga bakal datang. “Sudah aku kirim surat PHK rebo wingi pakai Kilat Khusus.”
Opo iku PHK mas? Pemutusan Hubungan Kerja? tanya Wury.
Pemutusan Hubungan Kemesraan, jawabku kalem.
Lha opo-o se? respon Liz. De-e ketoke-e apik ngono lho. Semanak, supel, putih ayu,…Kowe natih ketemua Upi ga, Wur?
“sepisan…aku kan jarang rene. Tapi ketoka-e bener kowe, bocahe lugu.”
Anak-anak ribut di ruang depan. Aku dapat kiriman paket dari kampong buiatku. Buru-buru aku masukin kamar lalu aku tutup pintunya supaya anak-anak ga masuk untuk melihat isinya. Tapi Anton masuk juga. Kami buka kardus besar itu. “Pelem ya Yok (Tony memanggiku Yoyok), lumayan arek-arek wis ngenteni kapan budale mangan-mangan.”
“Koen kandani Ton?” protesku. “Aku kan ga tau duwe duik lebih ben bulan, endi areka akeh pisan.” Bojoku sing ngandani, kilah Anton.
Paket terbuka. Isinya sajadah tebal dan indah serta sebotol softdrink Champindo. Diselipin kartu “Selamat Ulang Tahu ya Yo. Sukses, cepet dapat jodo….salam, Mas & mBak”
Adow, aku bilang apa sama anak anak di luar nanti. Aku duduk lagi ke tempat semula, Anton gabung lagi sama gangnya. Riuh rendah mereka nanyai Anton dan Anton jadi jubirku kali ini.
Tiba-tiba clometan anak-anak berhenti, lalu terdengar mereka dngan santun mempersilakan tamu masuk. Dan masasuklah dua perempuan dengan langkah gagah bagaikan serdadu wanita. Mereka berdua mendatangiku. Mbak Mimin dan mbak Ratri.
Aku berdiri menyambut dan mengulurkan tangan untuk berjabat tapi mereka menolak. Aku persilakan duduk. Mereka malah menatapkan tajam dan dingin. Si Batak dan satu lagi berteriak mengajak masuk tamu lainnya.
Sama siapa lagi, mbak? Kok ga ikut masuk?
Pacar dia dan adik laki-lakiku. Kamu tahu dia baru lulus Akabri kan? Ujar mbak Mimin. Nadanya seperti mengancam.
Kamu tahu mengapa kami ngluruk ke sini? Tanya mbak Mimin.
Aku menggeleng kepala
Mengapa kamu kirim surat ini kepada adikku, Ulupi? Kata mbak Mimin sambil melempar suratku yang kukirim Rabu kemarin ke kontrakan Upi di Klaten .
Apa maksudmu? Kata mbak Ratri dengan nada tegas tapi tidak teriak.
Maksutku ya seperti tertulis di surat itu…aku kasih saran supaya Upi jangan tidur sini lagi, kan ga enak aku sama orang-orang …..
BOHONG ! Kamu bohong ! teriak mbak Mimin. Suara menggelegar kayak rocker.
Tentu saja anak-anak serentak mendekati jalan masuk ruangan tengah untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka mau mendekati kami tapi dihalau Atan. Dengan isyaat tangan, Anton minta bolo-bolone tidak ikut campur….Tony minta temen-temannya mundur dan diam.
Mbak tahu, aku ga pernah bohong…,
Mbelgedes ! semua tahu kamu pinter. Pinter sekolah, piintar debat. Semua tahu. Kamu juga pandai bikin karangan, nulis artikel untuk Koran, aku ngakui kamu pintar. Tapi adikku Upi masih precil, masih lugu. Mudah bagimu untuk memangsa dia. Nih lawan aku. Ayo debat aku sekarang !
Mbak sudah baca kan suratku? Aku Cuma bilang demikian intinya, aku tidak bilang aku ga mau menemuinya…
Ular kamu ! bentak mbak Min lalu seketika maju hendak menamparku. Tapi mbak Ratri mencegah dengan memeluknya.
Rupanya Liz ga sabar. Dia mendatangi kami.
“Nyuwun sewu ya mbak-mbak….kita di sini kan tamu,….aku tamu. Njenengan yo tamu, ayo bicara baik-baik….bicara secara dewasa,” kata Liz
“Kalian tak perlu ikut campur,….ini urusan keluarga !”
Lho iya monggo, urusan keluarga yo ayo dirembug sing apik…” kata Liz
“Baik, rembugan. Asal tahu saja kalian semmua, bocah ini hendak merusak adiku, hendak mencemarkan keluargaku.”
“Mencemarkan bagaimana mbak? Upi cerita apa sama mbak berdua?”
Eh. Mbak Min emosi lagi . Dia maju dan berusaha menjamahku dengan kasar. Tapi mbak Ratri memeluknya lagi.
Sabar mbak, sabar, kata Liz. Memang Upi kenapa ? Tanya Liz. Lalu tambahnya, aku sudah akrab sama Upi dan sama mas Yo ini juga sudah tahunan aku kenal. Setahu ku, mas ini ga pernah anah-aneh kok…
Akhirnya mbak Ratri cerita bahwa Upi mke rumahnya di Solo, menunjukkan surat dariku. Upi menyampaikannya sambil nangis….kubaca surat itu lalu ketika aku minta adikku menjelaskan, Upi tidak bisa berkata apa-apa kecuali menangis. Sejak itu dia di rumahku, mengurung diri, tak mau kerja. Aku pangill mbak Min…..
Aku ga ngapa-ngapain dia…..bener…., kataku tanpa ragu-ragu.
Ya enggak mungkinlah laki perempuan tidur sekamar malam, ga ngapa-ngapain….ga masuk akal. Memang aku anak kemarin sore yang mudah kamu bohongin? Kata mbak Min. Aku tahu Upi sering ke sini sabtu dan minggu. dia sudah sering bertemu denganmu berdua, di kamar. Ya kan?
Aku diam saja.
Apa kamu kira aku tidak tahu, kamu bergaul dekat dengan adikku sejak di kontrakan Gejayam dulu? tetangga juga crita kalo kalian sering guyon, cekikan berdua saat kami tinggal pergi.
Ya, tapi kami hanya sebatas itu mbak, kataku.
Betul. Tapi itu bisa meningkat lebih jauh manakala kalian berduaan terus menerus bertemu tanpa ada yang mengawasi, uhar Ratri.
Memang Upi bilang aku mencemari dirinya begitu? Tantangku.
Dia perempuan. Masih belia pula, masih bau kencur. Mana berani dia mengaku, ya malu lah. Cobalah memahami perasaan wanita, dik, sahut Ratri.
Akhirnya tidak ada titik temu. Mbak Min kukuhh dengan pendapatnya dan minta pertangungan jawab., sementara aku berkeras hati tidak melakukan apapun.
Akhirnya mereka pulang meninggalkan ancaman buatku. “Awas kalau terjadi apa-apa pada adikku. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana keluargaku?” ancam mbak Min.
Begitu para tamu menguap, anak-anak menyerbu diriku. Hampir bersamaan mereka bertanya seputar malam itu. Aku biasa saja menghadapi mereka. Seolah-olah sudah professional sebagai narasumber melayani serbu pertanyaan wartawan
Anto ambil komando. “Udah, udah….kita makan-makan dulu. Dua cewek naik mobil si Padang itu…” kata Anton tapi dipotong Alex, si Padang lainnya. “aku ga bawa kendaran, Ton. Ketinton, Alex menjawab, Lagi sekolah Ton, he…he…, sahut Alex. (Istilah sekolah untuk digadaikan). Yo udah, kau pakai GL aku. Aku mboncen Yoyok, adikku iki yang lagi Happy hari ini,…ya ga Yok?
Kemana kita? Tanya si Batak .
Bakso yang enak mana? Kata Tony.
Rombangan berangkat, termasuk si Padang Alex. Ton, panggilku kepada Anton sembari kasih isyarat tanggn bahwa aku ga punya cukup duit. “Koen iku ngomong koyok mbik sopo ae, Yok….” Ujar Tony.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar