Sabtu, 17 Agustus 2013

ANGEL FACED KILLER (S) ?

Sebagian mencap mereka sebagai makhluk lemah, mudah patah mudah menyerah. Sebagian lagi malah menyatakan mereka lebih kuat daya tahan fisiknya. Lebih ulet. Bahkan sampai ada yang menyebut mereka makhluk kenyal. Tahan banting. Anti pecah.
Mereka adalah wanita pemburu nafkah, yang se-olah2 tak kenal lelah. Kerja dari pagi hingga dini hari.
Diantara mereka adalah Luna (nama sebenarnya Lukita Dana), Dora (nama akte Wedodari Rahayu – artinya bidadari selamat, tetapi karena malah tidak selamat menjadi bidadari, ia tak mau pakai nama megah itu) dan Sina (Siti Maimuna). Namun mendung menyelimuti mereka. Wajah mereka yang biasanya senantiasa cerah sumringah dan murah senyum, kini redup.
Semua termenung, bukan melamun. Kesedihan mereka bagai sedang berkabung.
Bukan karena warung sepi pengunjung. Memang saat itu tak ada tamu satupun. Orang berjubel di warung bedeng sempit itu biasanya pagi. Sopir dan kenek, baik angkot maupun truk. Ramainya atara jam 6 sampai jam 8, Surut sebentar, ramai lagi mulai jam 11 sampai jam dua. Nah saat itu jam setengah tiga. Sepi. Bukan karena rutinitas sepi yang mereka ratapi. Memang benar mereka sedang berkabung. Meratapi bencana dahysat di depan mereka. Yang sulit dihindari
Sina, apa kata bang Muin ? kena dua juta juga ?
Enggak lah, cuma sejuta. Kan gerobaknya bisa dipindah. Meski tetap berat katanya, sebab tahu sendiri untungnya bubur ayam berapa, kata Sina yang termuda diantara mereka bertiga. Seharusnya ia pakai seragam putih abu-2. Lulus SMP ia mau dikawinkan sama ortunya tapi ia memilih kabur dan kemudian bertemu Dora.
Yang konyol itu mpok sana itu yang jual nasi uduk, warungnya permanen kayak kita, kata Sina. Dia bilang, biasa mah, mereka minta jatah susu. Nih susuku kalo mau, gitu bilangnya.
Ha ? terus mereka mau ? tanya Luna yang dianggap Dora dan Sina sebagai presiden mereka karena dialah yang mengajak mereka untuk buka warkop indomie di tepi jalan tak jauh dari pantai itu.
Ya enggaklah, mpok kan udah hampir 50 usianya.
Terus ?
Ya tetep mereka minta dua juta. Mpok mau coba tukar guling.
Istilah itu kan untuk tanah, tukar guling bagaimana ? kata Luna.
Dirinya diganti yang lebih muda, tiga dara. PSK.
Kok 3 ?
Mereka kan bertiga ?
Lho, lha dulu bagaimana ? kamu tanya enggak sama mpok ?
Sama, 3 orang tapi beda orangnya kecuali si Gatel , kepala satgasnya. Itupun 2 tahun lalu,
Mpok kasih apa ?
Ya punya dia sendiri lah !
Gila lu, masa iya ?
Iya, aku juga kaget mendengar pengakuannya. Mpok bilang begini, 2 taon lalu, bodi gua masih singset. Montoknya kagak nggelambir gitu. Lagian si Gatel kan baru diangkat setahun sebelumnya dan tahun pertama dia bertingkah. Dasar nggragas kali, dia seneng saja. Anak buahnya apalagi.
Dia sendiri bagaimana ? apa stres atau gimana ? tanya Luna.
Dia kan janda, meski dia ngumpat ga karuan tapi dia tak punya pilihan. Uang satu juta setengah cukup besar. Dia pikir setelah kasih susu, urusannya selesai. Paling ya tetap kasih uang keamanan 200 ribu tiap bulan sesuai kesepakatan. Seperti kita juga kan ? Tapi nyatanya tiap tahun mnta jatah.
Dasarnya ya surat seperti yang diberikan kepada kita itu ?
Iya, ada stempel instansi. Yang menyatakan area ini jalur hijau dan akan dilebarkan jalannya, maka dimohon pindah...bla..bla....
Hape cross Dora berdering. Ia terima dan menjauh agar terdengar jelas ngobrolnya. Lima menit kemudian ia kembali ke warung.
Dari mpok, kata Dora. Dia crita Gatel tak mau diganti dengan pelacur rendah , ini istilah dia. Enaknya ga sebanding dengan penyakitnya. Aku mau cash saja. Dua setengah atau siang ini aku bongkar. Anak-anak sudah di seberang kali situ. Begitu kata Gatel. Terus ga tau, mpaok ga bisa melanjutkan. Kayaknya dia nangis. Sebelum menutup pembicaraan, mpok titip pesen supaya kita pergi saja. Cari lahan lain. kalian masih muda, katanya. Masih pinya masa depan. Aku iya aja meski batinku membantah. Masa depan apa ?
Saran mpok memang baik, ujar Luna. Aku setuju, tapi mau pergi kemana ? Pergi diam-2, berarti orangnya aja yang pergi. Barang-2nya ga mungkin dibawa. Aku ga punya modal buat mengawali dagang seperti ini lagi.
Luna memandangi dagangannya. Yang terpajang rentengan nempel dinding belakang : kopi, kopi susu, kopi jahe, white coffee, jahe wangi, STMJ, extra joss, hemaviton, kukubima. Display di meja: roti-2, gorengan 3 macam, kacang goreng diplastik kecil, kardus kecil isi obat-2an sepeti anti mabuk, bodrex, fludan, inza, obat batuk sachet dan pil. Di kolong meja, mie instan gores, rebus masing-2 epat kardus. Belum lagi, gula pasir, telor, teh.
Luna menunduk sedih.
Sekarang terserah kalian, kata Luna dengan nada pasrah.
Sina dan Dora diam.
Baiklah. Aku jelas ga bisa kemana-mana. Orangtuaku transmigrasi dan sejak kecil aku ikut bude. Sebelum bude meninggal aku sudah dijodohkan dengan laki-laki yang sudah beristri, aku tak mau lalu minggat. Aku tak tahu apakah pulang ke kampung dan jadi istri ke sekian lebih baik atau tidak, tapi yang jelas aku malu pulkam.
Sina dan Dora diam.
Baik, aku sendiri yang tangani. Kalian tetap jaga warung dan jaga diri.
Gathel datang dan pesen kopi susu. Langsung dua. Buat dia sendiri. Maklum tinggi besar, gendut dengan rambut awut-awutan. Yang bikin ia tampak tak kumuh adalah seragam instansinya, lengkap dengan emblem instasi. Kemana-mana, terutama untuk nagih, ia sendiri . meski usianya tak lagi muda. Tak pernah ajak buah . Dora menyeduh dua gelas white coffee. Ketika Dora menyajikan kopi ke dekat Gatel, manusia tambun itu kebetulan sedang menguap. Oaahhh....! Bau amis bangkai basah menyerang hidung Dora. Angin laut bertiup. Sssheng...ng.... bau kambing menyerbu indra pembauan siapapun di sekitar Gathel. Buru-buru Dora keluar dan berlari menjauhi warung. Di baliik pohon ia lampiaskan mualnya. Ia muntahkan tapi ga keluar. Sampai keluar air mata baru berhenti aksinya. Dengan berjalan gontai ia ke warung. Luna dan Sina memperhatikan dengan perasaan antara geli dan prihatin.
Kalian tentu telah dibilangin mpok, memang aku suruh memberitahu kalian, kata Gathel setelah menghabiskan gelas kopi susu pertamanya. Tiga dara menyimak Gathel dengan gemas dan muak. Siapkan dua setengah sore ini atau dua dianatara kalian ikut aku. Bukan buat aku, aku mau ke kantor lapor bos dulu. Baru besok giliran aku, ...he...he..he... aku jemput besok agak sorean karena aku harus ambil uang dulu dari manusia-manusia bandel macam kalian. Ga punya lahan, pakai tanah negara maunya gratis, manusia macam apa kalian.
Gigi Sina sampai gemeretak saking jengkelnya mendengar Gathel merendahkan mereka. Dora merangkul Sina lalu mengajaknya keluar warung.
Apa yang kalian siapkan untuk aku bawa sekarang ? Dua dianatara kalian atau dua setengah juta ? kata Gathel sambil berdiri.
Aku, tandas Luna tanpa ragu-2.
Kubilang dua, bukan satu, kamu dengar eggak sih ?
Aku sanggup melayani kalian bertiga sekaligus !
Oiya, menarik. Boleh di coba nih. Kalau begitu, setelah urusanku selesai sama bos, aku gabung dah, lumayan. Ha...ha...ha...
Tidak bisa ! hardiik Dora yang tiba-2 muncul.
Jaga mulutmu neng, ancam Gathel.
Dia kakakku, pengganti orang tua. Dia ga boleh sakit gara-gara ulah kalian. Aku sebagai gantinya !
Hm, emamg kamu mampu melayai kami bertiga ?
Tidak, sesuai kesepakatan. Aku menggantikan satu orang, jadi dua orang yang aku layani. Tidak ada tawar menawar, tegas Dora.
Besar juga nyalimu. Kalau aku menolak, kamu bisa apa ?
Aku dan kakakku melayani abang besok, malam ini abang istirahat agar besok benar-2 siap tempur, ujar Dora.
Kalau aku tidak mau ?
Ya kagak apa-2. Kami bertiga jauh lebih baik pergi dari sini sekarang juga. Tandas Dora. Bukan hanya Gathel yang kaget, Luna pun terperanjat. Dora ini nggertak atau bagaimana sih ? Batin Luna. Kok diam-2 saja kalo ada rencana.
Ha...ha...ha...anak kecil bisanya gertak sambal, kata Gathel.
Hm, Dora mendengus lalu memanggil Sina. Sina muncul meenjinjing kopor yang kelihatan berat.
Kita pergi sekarang kak, kata Dora kepada Luna. Panggil anak buah abang sekarang, silakan bongkar warung kami. Ambil barang-2nya. Masih bisa bikin kenyang itu barang-2 kami.
Keder juga Gathel. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya melambaikan tangan mengajak Dora ikut dengannya.
Dora pergi bersama Gathel. Tinggal Luna dan Sina yang kemudian saling berpelukan dengan air mata berlinang. Mereka tak menyangka sikap Dora yang nekat seperti itu. Tak terbayangkan pengorbanannya. Mereka menutup warung sore itu. Mungkin untuk bersemedhi, berdoa bagi sahabatnya yang rela berkorban demi mereka semua.
Tempat istirahat mereka tak jauh dari warung. Menyebrang jalan besar lalu masuk gang. Di sana terbujur rumah petak 3 x 3 m diantara sekian rumah petak yang berdesakan dan berdiri di atas tanah yang rentan karena kerap terendam air akibat sungai di tepi jalan mengguap bila hujan deras lebih dari 3 jam. Kondisi rumah petak tak beda jauh dari warung. Sama-sama bedeng, separuh tembok separuh triplek. Bedanya, keadaan tanah warung lebih aman. Tak pernah kemasukan air kecuali banjir besar lantaran air laut meluap sampai ke sana. Tak ada perbotan kecuali dua kasur busa gulung dan bantal. Kopor. TV 14 in menyala dengan volume suara lirih.
Jam sepuluh Dora belum datang. Luna dan Sina sejak tadi cemas. Hilang nafsu makan mereka meski perut keroncongan. Paling mereka ngopi. Pengin banget mereka menghubungi Dora tapi tak berani menelpon hape maupun ber SMS. Khawatir mengganggu atau entah pokoknya mereka khawatir melakukan apapun. Serba salah.
Lepas jam sebelas pintu dibuka, masuk Dora dengan tenang namun raut mukanya dingin. Ia memberi senyum sekejab, Luna dan Sina saling pandang. Mereka berdiri hendak menyambutnya dengan pelukan.
Dora, kamu tidak apa-apa kan ? tanya Luna dengan nada khawatir.
Yah,..ga apa-2, jawab Dora lalu duduk. Sulit membaca ekspresi wajah Dora. Tatapan matanya kosong, mulutnya terkunci rapat, seperti tak mau bicara sepatah kata pun.
Sina mendekati Dora dan memegang tangannya, lalu mengelus pipi kanannya. Dora tersenyum masam. Sina meraih telapak tangan Dora lalu menariknya supaya memegang pipinya. Tak perlu risau Sin, aku tidak apa-2, kata Dora yang melihat mata Sina mulai berkaca-kaca. Dora mengerti, Sina ingin dibelai bila sedang galau hatinya. Wajar Sina sedih karena ia tahu kisah Dora sebelumnya, ketika remaja, jauh lebih suram dari pengalaman pahit dirinya maupun Luna. Rasanya ingin bunuh diri waktu itu, keluh Dora tatkala mengutarakan kisah muramnya dulu. Harga diriku, kehormatan diriku sebagai perempuan, sebagai manusia, dicabik-cabik sampai menjadi sekerat daging cabikan yang mungkin anjing pun tak doyan memakannya. Sempat terlintas di benakku untuk meracuni mereka dengan baigon lalu giliran aku yang terakhir menenggaknya. Tetapi aku terlalu takut, takut mati, takut dosa. Aku meratapii diriku sendiri, tanpa air mata berlinang. Sudah terkuras habis air mataku. Juga kesedihanku. Aku hanya bisa diam dan diam. Pengakuan terakhir inilah yang diingat Sina karena sekarangpun sesungguhnya Dora keadaannya mirip seperti itu. Tida air mata, tiada kata-kata. Mungkinkah ia mengalami hal yang sama? Pikir Sina.
Meski Luna sibuk bikin minuman tapi tetap memperhatikan Dora dan Sina. Begitu akur dan saling menyayngi mereka berdua. Kayak kakak-adik beneran. Padahal bukan. Memang Luna bertemu dengan mereka bersamaan, bukan satu-satu, kemudian mengajak mereka untuk buka warkop. Beda usia mereka lima tahun tetapi mereka megaku bukan saudara satu sama lain. Asalnya pun beda. Luna tahu Dora memendam sesuatu. Dari dulu. Ia tak terlalu terbuka kepada Luna. Ia paham kesedihannya cukup mendalam akibat perkara upeti ini. Luna menahan diri untuk tidak mengorek keterangan dari pengalamannya malam ini. Betapapun ingin ia berbagi kesedihan. Berbagi pahitnya hidup. Lebih-2 ia akan mengalami hal serupa besok.
Luna membuatkan teh manis panas untuk Dora. Minum dulu biar seger, lalu mandi kramas. Sudah kusiapkan semuanya tuh....mau mandi pakai air hangat ?
Dora tertawa. Janganlah begitu, tak perlulah aku diistimewakan. Kayak aku habis melakukan hal besar saja. Eh, lupa. Aku bawa nasi padang. Aku beli tadi waktu pulang ke sini. Lauknya dipisah. Dua, jadi tak perlu potekan segala.
Warkop buka seperti biasa, setengah jam setelah adzan subuh. Dora datang ke warung seperti biasa, bersama dua sahabatnya. Seolah-olah tidak terjadi apa-2 tadi malam. Padahal ketiganya sulit tidur. Gerah iya, tapi kan sudah biasa. Luna, bagaimanapun, kepikiran akan dapat musibah seperti halnya Dora. Betapapun tegar mental Dora, dan pernah mengalami kejadian terburuk dalam hidupnya, tetap saja merenungi nasibnya. Akankah terulang lagi? Apakah demikian garis hidupku? Begitu kegalauan hati Dora. Sina tak bisa tidur karena marah. Marah kepada dirinya sendiri yang membiarkan orang lainnya menggantikan dirinya untuk menerima musibah. Sampai kapan ia terus jadi anak kecil yang selalu diistimewakan? Ia telah menemukan ketenangan batin hidup bersama kakak-2 yang baik, yang tulus persahabatanya, yang tak pernah semena-mena terhadap dirinya yang lemah dan bodoh. Tetapi kini kedamaian itu terkoyak oleh ulah bajingan busuk bersana Gathel. Aku tak mau mengalah lagi. Tekadnya dalam hati.
Setelah yakin kedua sahabatnya tidur pulas, pelan-2 Sina bangun dan melakukan sesuatu di sisi kamar sempt itu yang biasa mereka gunakan untuk bikin teh kopi atau mengupas mangga. Setelah tengok kiri kanan bak maling ia menyelipkan sesuatu di balik bajunya. Sama ia tak tahu, Dora mengawasinya sejak ia berdiri dan melangkah mengendap-endap melewati dirinya.
Dora sendiri heran, ia sudah minum sesachet obat anti mabuk, yang biasanya bikin ngantuk, tapi kok malah melek sampai dini hari begini. Ia tak tahu bahwa depresinya terlalu tinggi untuk ditaklukan penenang murah macam obat anti mabuk. Tengah malam tadi ia sudah merasa ga bakal mempan kalau cuma satu sachet, mau ia telan satu sachet lagi. Sina memperingatkan, obat ini efeknya lama kalau kita sedang stres. Tapi bukan berarti kagak ampuh. Jika ditambah satu lagi, memang ampuh daya pukulnya. Tapi efeknya dua kali lipat. Kakak bisa bangun jam 12 , tapi gak apa-apa sih kalu kakak ingin bangun siang. Aku dan kak Luna bisa handel kok. Tapi Dora tak mau bangun siang. Ia batalkan obat anti mabuk ke dua.




Seperti biasa jam dua ke atas, warkop mulai sepi. Mereka bertiga lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-2. Sina mendekati Luna dan berbisik. Entar aku yang nemani kakak ketemu Gathel.
Luna terkejut. Jelas ada yang tak beres ini. Walau tanpa bicara, Luna dan Dora sepakat untuk mengistimewakan Sina dalam perkara ini.
Aku tanya Dora dulu, kilah Luna.
Ga perlu, Dora bukan saudaraku. Ia teman seperti kakak juga, ujar Sina. Ia tak tahu Dora diam-2 berada dekat mereka.
O, begitu, tukas Dora. Sina kaget. Jadi kamu merasa sudah saatnya tampil untuk ikut bertarung?
Ya, ujar Sina tetapi dengan kepala tertunduk.
Oke, kamu sudah pernah sama laki-laki ? tanya Dora.
Belum, eh sudah.
Sama siapa ? kapan ? emang kamu sempat punya pacar ?
Pokoknya sudah pernah, kakak tak berhak tanya sama siapa. Kapan. Pokoknya sudah pernah.
Bagaimana rasanya ? cecer Dora.
Enak, asik. Aku pingin mengulang lagi.
Kukira kamu masih perawan.
Emang,...eh iya, aku memang sudah tidak perawan.
Bagaimana rasanya ketika pertama kali keperawamam kamu robek ? ? pancing Dora.
Biasa.
Tidak sakit?
Tidak, eh sakit juga.
Kamu tahu dengan siapa laki-laki akan kamu layani ?
Aku sudah siap.
Siap apa ?
Pokoknya siap. Kakak gak boleh dong ngatur jalan hidupku !
Dora diam. Membiarkan pikiran Sina berkecamuk sendiri sebelum membuka wacananya. Kamu ga takut menghadapi Gathel, mungkin juga membawa lelaki lain ?
Tidak. Aku punya trik sendiri.
Apa ?
Pokoknya ada deh ?
Kamu tidak sendiri menghadapi Gathel. Sin. Bagus kalau kamu bisa mengatasi perkara ini. Tetapi apakah langkahmu itu membahayakan orang lain ga, dalam hal ini sahabatmu sendiri. Kak Luna.
Sina diam.
Asal kamu tahu Sina, Gathel itu bajingan tengik. Ga tau aku mana yang lebih baik, binatang atau dia. Andai dia sejenis binatang, binatang apa yang tega mengumpankan sesamanya untuk keuntungan dia sendiri.
Apa maksudmu, Dora, tanya Luna.
Dia menjual tubuhku. Tubuhku diserahkan kepada salah satu bosnya, lalu sejam kemudian aku dijemput untuk melayani babe-2 perlente yang kemudian dia kecewa karena aku bukan perawan. Aku dijual Gathel, tahu. Gathel minta imbalan satu juta atas jasannya menyediakan perawan. Untung babe itu baik orangnya. Ia marah-marah tapi akhirnya mengerti situasinya. Ia geram kepada Gathel yang telah menipunya. Ia memberiku lima ratus untuk ongkos naik taksi, di samping ia minta maaf.
Luna dan Sina tertegun.
Sina, kamu jaga keperawananmu, biar aku saja yang hadapi Gathel karena tubuhku sudah dedel duel. Siapa saja bisa memiliki tubuhku tapi tidak jiwaku. Tubuhku bisa membusuk tapi tidak jiwaku.
Tidak kak, aku harus menuntaskan masalah ini, tanda Sina.
Kamu mau membunuhnya, Sina ? tuduh Dora.
Sina diam tapi Luna makin resah. Dora, kamu bicara apa ?
Sina, keluarkan pisau dari balik rok-mu, pinta Dora.
Sina diam saja.
Sina ! bentak Dora. Ayo keluarkan, jangan sampai aku menelanjangimu di sini !
Sina merogoh ke dalam pakaiannya dan terhunuslah pisau dapur. Setelah menatap tajam sebentar lalu dibantinglah pisau dapur di meja warung. Aku hanya ingin berbagi derita dengan kakak, tak lebih. Kata Sina lalu keluar warung dengan wajah bersungut. Dora membiarkan saja pada awalnya tetapi kemudian meyusul Sina.
Luna mecoba melunakkan emaosi Dora. Dora. Biarakan Sina meredakan kekesalannya sendiri, saran Luna. Nanti kan baik senderi seperti sedia kala.
Aku kenal watak anak ini, ga papa, aku omongin sebentar, ujar Dora.
Dari warung Luna melihat Dora memberi nasehat kepada Sina, seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya. Sina pun kadang merajuk karena kesal, dengan membalikkan badannya untuk membelakangi Dora. Terkadang sikap Sina masih menunjukkan kekanak-kanakan. Luna maklum karena ia minggat ketika remaja, memasuki usia pancaroba. Usia dimana khayalan kerap diyakini akan terwujud esok hari. Tetapi dengan sabar Dora terus ajak dialog Sina, menggugah semangatnya untuk tetap di jalan yang benar dalam bertindak. Posisi Dora dan Sina yang sedang berdialog tidak jauh namun Luna tak bisa mendengar pembicaraan mereka.
Dua pria masuk warung pesan kopi hitam dan mie rebus dan es teh manis. Luna melihat Dora dan Sina tidak sedang ngobrol melainkan saling mengunci mulut kelihatannya. Sini duduk di puing membelakangi Dora yang sedang melamun. Luna membiarkan saja. Bahkan ketika dua orang lagi masuk warung, Luna tidak memanggil mereka. Ia melihat Sina sekarang yang giat bicara. Tidak sedang membantah tetapi gayanya bicara seperti sales yang tengah meyakinkan calon pelanggan agar membeli dagangamnya. Luna melihat Dora menyimak dengan serius paparan Sina, kadang melirik warung. Entah untuk melihat dirinya atau suasana warung yang ramai.
Satu lagi masuk pelanggan dan langsung mencomot gorengan. Ia pesan es extrajoss. Satu lagi masuk, rupanya temannya dan pesan mi. Luna sudah mau berteiak memanggil “adik”-2nya tetapi Dora muncul dan segera masak mie. Sina pulang sebentar, perutnya mules, kata Dora.
Seperti kemarin sore sebelum langit suram lantaran matahari mulai temeram Gathel datang untuk menjemput “pesanannya”.
Halo cewek, bidadari-bidadariku,...sudahkah kalian siap untuk mengarungi samodra surga ? sapa Gathel yang tampak girang bukan main karena membayangkan surga yang ia reguk sebentar lagi.
Minum dulu bang, aku bikinan ya ? kata Dora.
Ah, engggak usahlah. Kenyang aku kebanyakan minum.
Duduk dululah bang, sementara kami berbenah, kata Dora lagi. Tumben Dora ramah, batin Luna.
Gathel masuk warung lalu duduk tak jauh dari sopir angkot langganan warung yang sedang ngopi.
Tapi aku ga mau minum, kenyang bener , begah rasanya perut ini. Gathel melongok-longok ke belakang meja, mencar-cari sesuatu. Lho, bidadariku satunya kemana ?
Kan dia tidak ikut kan ? kata Luna.
Ya ikutlah, kan aku minta dia.
Kesepakatan tidak begitu bang, kata Luna agak ketus.
Gathel menatap sopir angkotyanng sedang ngopi. He, kamu ngopinya dilanjutnya nanti lagi.
Mana bisa begitu bang, kata sopir.
Bisa. Sekarang kau keluar atau aku yang seret kau ! ancam Gatel sambil berdiri. sopir ga mau ribut. Ia keluar , tak lupa meninggalkan selembar dua ribuan di meja. Neng, uangnya disini, semoga Tuhan memberkati kalian, kata sopir.
Terserahlah apa kata kalian. Pokoknya aku minta dia, kalo enggak ya sudah, kalian bayar dua setengah juta.
Mana bisa begitu bang, kemarin sudah kami penuhi sebagian kesepakatan, bagaimana abang ini sih. Kata Luna lebih keras suaranya.
Lho, kalian tidak bisa memenuhi apa yang aku minta, bagaimana bisa kau ibilang memenuhi kesepakatan. Aku di sini yang menentukan apakah kalian memenuhi kesepakatan atau tidak.
Dora diam saja meski amarahnya sampai ubun-2.
Aku lapor polisi, kata Luna.
Kau pikir aku akan diam saja membiarkan kalian ngoceh ke mana-2 ha ? ancam Gathel.
Luna menggigit bibir.
Ada nih, kok rame bangget, kata Sina yang tiba-2 muncul.
Oh, bidadariku muncul, sudah siap kan ikut abang. Jangan khawatir, nanti kami ajari, kita beriga kok, ya kan neng, kata Gathel seraya mengedipkan mata kepada Dora.
Oke, kata Sina. Luna dan Dora terkejut dan saling pandang. Tapi aku nyusul, tambah Sina.
Ah, aku tak mau kalian akal-akalin lagi. Pokoknya kalian ikut atau bayar dua setengah juta, titik.
Ya, kan aku harus berbenah dulu, nutup warungg kan tidak sebentar. Kata Sina.
Itu urusan kalian mau diapain warung ini, kata Gathel. Pokok kamu ikut aku sama satunya lagi. Titik.
Begitu ya maunya abang baik, kata Sina. Abang merasa jadi laki-laki enggak ? kata Sina.
Mau apa kau ?
Ayo kita selesai di luar, kata Sina lalu keluar sambil mengambil pisau dapur.
Di luar warung dan berarti tepi jalan beraspal, Sina berdiri berkacak pinggang, dengan pisau dapur di tangan kanan. Gathel, keluar kau. Kita selesaikan sekarang ! Gathel kaget. Tak mengira perempuan ini akan nekad. Ia ragu-2 untuk melayani tantangan Sina.
Gathel keluar ! kita buktikan siapa yang pecundang ! seru Sina.
Teriakan dan aksi Sina menarik perhatian para sopir dan kenek -- angkot maupun truk. Mereka yang semula sebagain duduk atau jongkok kini berdiri untuk lebih memparhatikan apa yang terjadi. Lebih-lebih setelah mereka mendengar cerita sopir angkot yang diusir Gathel tadi.
Gathel jadi mikir dua kali melihat gelagat tak menguntungkan ini. Ia bilang kepada Dora dan Luna, ia setuju dengan usulan Sina dan minta salah satu untuk membujuk Sina agar masuk warung kembali. Dora keluar nyamperin Sina danmembujuknya masuk. Sina masuk diikuti pandangan para kenek dan sopir yang kelihatan bersimpati pada warung langganan mereka. Sina tidak beridiri di posisi Luna dan Dora. Ia duduk dekat Gathle. Pisau dapurnya ia taruh di meja di depannya. Gathel Cuma milirik dan melempar senyum sedikit.
Kak, bikinan teh manis dua buat aku dan abang ini, pinta Sina.
Aku yang bikin, sahut Luna.
Jangan kak, kata Sina. Kak Luna adalah presiden kami. Biar kak Dora yang bikin.
Aku ga suka teh, susu bolehlah, kata Gathel.
Abang kan gemuk coba lihat badan abang. Berapa bobot abang ? 80 ? tanya Sina yang dijawab Gathel, Lebih. Nah, apalagi lebih. Kurangi susu. Koresterol, teh bisa bikin langsing, oke ?
Gatel tak segera mengiyakan,
Abang diperhatikan perempuang kok ga suka. Kan aku ini masih peduli sama abang. Kalau lebih langsing dikit aja, abang gini deh, kata Sina yang mengacungkan jempol. Oke ya bang. Menum teh bersama ini menunjukkan damai, damai antar aku sama abang. Kita jadi main ga sih entar ? atau aku ga ikut, biar Kak Luna dan Kak Dora yang ikut ?
Kamu ikut.
Bertiga ?
Gathel mengangguk.
Oke, tapi aku nyusul ya. Tinggal nanti abang atau kak Dora tilpun aku kalau sudah sampai hotel.
Gathel diam saja.
Lho bagaiman kata abang tadi setuju, sekarang berubah lagi.
Gathel ,asih pikir-2.
Abang, aku kan beresin warung dulu. Ga pantaslah presiden melaksanakan pekerjaan kasar, benar-2 sebentar, paling lama setengah jam. Oke.
Oke, kata Gathel.
Bikin kak Dora, kata Sina.
Dora segera menyeduh teh manis.
Sina memastikan racikan tehnya. Ia melongok ke belakang dan menatap Dora dan Luna. Dora memberi isyarat kepada Sina bahwa luna memperhatikan dirinya terus.
Kak Luna, panggil Sina. Luna menengok ke arah Sina dan berarti tak lagi mempertaikan Dora bikin teh. Sebentar lagi, kak Lina sama kak Dora berangkat sama abang, ga sampai 5 menit ya bang ? Gathel menganguk. Ya gitu kak, kakak siap-2 dulu, apa yang perlu di bawa.
Udah ga ada, siap dari tadi kok, kata Luna.
Dora menyodorkan segelas teh hangat. Sina menerimanya lalu diberikan kepada Gathel. Sekali lagi Sina menerima teh dari Dora untuk dirinya.
Ayo bang, minum, mumpung hangat, Sina mempersilakan sambil menghirup tehnya sendiri. Gathel minum satu teguk, dua teguk.
Tanpa sepengetahuan Gathel – bahkan juga Luna—Dora menyodorkan segelas teh hangat lagi. Sebelum menerima teh hangat lagi dari Dora, Sina mengambil tehnya untuk diaruh di sebelah kanan sepanjang tangan kanan menjangkau. Sehingga tetap satu gelas teh di depan Sina.
Ahh, suara Gathel. Rasanya kok agak pahit ya ?
Sina pura-2 minum tehnya sendiri.
Masak ? Punyaku biasa saja, ya memang rasa teh agak sepat bukan pahit, kilah Sina.
Gathel agak tak percaya.
Abang coba in tehku, kan sama.
Gathel menurut. Minum teh punya Sina. Dua teguk.
Sementara Gathel minum, Sina mengambll tehnya sendiri untuk ditukar dengan punya Gathel tadi dimabil Sina. Kali ini Dora berperan. Teh Gathel yang dipindah itu diambil Dora. Sehingga tetap satu gelas teh depan Sina, yaitu tehnya sendiri.
Iya, memang agak pait, apa katamu, sepat ?
Sina mengangguk. Lalu beberapa saat secara demonstratif Sina meneggak tehnya sampai setengah gelas.
Ayo bang dihabisin, keburu sore, ajak Sina.
Udah ah, gak terlalu suka teh, kilah Gathel.
Ayolah, kayak aku ini, kata Sina sambil merajuk.
Gathel ragu-2. Ayolah, biar aku semangat nih, kalo abang mau menghormati aku, rayu Sina.
Munking karena risih mendengar suara Sina merengak terus, Gathel embat itu teh sampai setengah gelas lebih.
Hah, udah, ayo berangkat, ajak Gathel lalu berdiri dan keluar untuk menuju mobil dinas pick-upnya.
Dora melangkah biasa tanpa tengak-tengok pamit Sina, sementara Luna agak gugup dan bingung. Mengapa sikap Sina bisa berubah drastis, terus Dora melangkah tanpa beban. Ada apa ini ? pikir Luna. SewaktuI mau meninggalkan warung Luna pandang Sina yang dibalasnya dengan lambaian tangan Sina sebelum masuk warung. Kok nggak ada kata-kata apa kek, yang menunjukkan ungkapan memberi semangat atau doa. Misal, hati-2 ya kak. Atau semoga Tuhan membantu atau Tuhan membimbing kita. Tak ada. Sina dan Dora cuek saja. Aku ini mau diperkosa, mana bisa seperti itu? jerit Luna dalam hati. Dora menarik tangannya. Dan Luna heran lagi. Kok Dora tenang begitu. Tangannya ga dingin seperti aku, pikir Luna. Apakah pengalaman semalam membuat Dora jadi tenang?
Dora akhirnya tahu, Luna cemas. Tangannya sedingin es batu.
Dora naik pick dulu, berarti ia duduk dekat Gathel yang pegang setir. Dora dekat jendela pintu tanpa kaca. Tak lama setelah kendaraan dinas jalan, Dora meremas tangan Luna. Agar tak lagi dingin. Lalu menepuk-nepuknya tangan Luna dengan tangan kirinya. Untuk membesarkan hati menguragi cemas. Luna mentap Dora dan tersenyum tertahan. Dora membisiki telinga Luna. Tenang, tenang, percaya sajalah, pasti ada jalan keluarnya, bisik Dora.
Sina menemui mpok untuk menanyakan nomor hp dua PSK yang hendak disewanya untuk ijadikan pengganti upeti tetapi Gathel tidak mau pakai PSK karena khawatir tertular HIV-AID dan penyakit kotor lainnya. Buat apa, emang Gathel mau ditukar ? tanya mPok. Maulah, buaya apa saja nbangkai saja dimakan, kata Sina.
Mpok memberi Sina nomor HP dua PSK.
Npok, ada yang mau aku bicarakan serius nih, kata Sina. Mpok serius mendengarkan. Warung mau kami jual aja, lalu kami bertiga pergi sesuai saran mpok. Bagaimana menurut mpok ?
Ya, ya...bagus itu, mau pergi kemana ?
Tergantung laku berapa . mpok mau beli ?
Yah, kagak punya duit neng,
Begini saja, aku titip sama mpok ye,...ntar tawarin sama siapa saja, berapa aja yang pantas harganya menurut mpok.
Terus nanti kalau laku duitnya dikirim kemana?
Aku ambil aja, mpok. Ntar mpok telpon kak Luna, atao Dora, lalu aku kemari. Nih kuncinya ,
Lha neng Luna sama Dora kemana ?
Pulang dulu bebenah lalu berangkat ke terminal, ya nunggu akulah. Tapi setelah aku pastikan psk itu bisa datag ke hotel yang mau dipakai Gathel. Ntar aku hubungi mereka.
Oo, gitu. Ati-ati ya neng.
Ya mpok, kata Sina sambil mencium tangan mpok. Sina berjalan beberapa langkah lalu berhenti dan kembali lagi. Mpok, maaf nih kalau aku suudon, ....
Ada apa neng ?
Mpok punya uang gak berapa saja, buat naik angkot ke terminal....
Duit mpok ga banyak neng.
Mpok, di warung dan masih ada stok mie 4 kardus, rentengan kopi-2, extra joss, dsb, mpok kan bisa ambil buat dagang di sini. Jual warung kan ga sama isinya....mau lihat dulu ?
Berapa duit neng ?
Halah mpok, kayak ga kenal kami bertiga saja. Terserah mpok-lah. Yang penting cukup buat ongkos naik bis bertiga.
Tiga ratus cukup ga ?
Ah cukup mpok, tapi kalau mpok masih butuh buat modal ya ga usah segitu.
Ga papa, kata mpok lalu mengambil uang untuk diberikan kepada Sina.
Sina memanggil taksi, melambaikan tangan kepada mpok sebelum masuk taksi. Sina mampir warung untuk mengambil kopor yang ia sembunyikan di semak-2 dekat warung.
Gathel mulai sering menguap.
Bang kita cari hotel dekat-dekat sini saja ya. Abang ngantuk begitu. Saran Dora.
Boleh, entar di depan situ , hotel kayaknya. Ngantuk memang, kemarin tidur jam satu lewat.....sama ...oahh, Gathel menuap lagi.
Telpunnya berdering. Gathel menerimanya, Ya halo, iye...iye...aku masih kerja nih, pulang malem tapi...oaahh...ga kaya kemarin lah.....iya...iya aku bawa..
Bos abang ? tanya Dora.
Nyonya. Biasalah perempuan maunya dilayani melulu. Selalu tanya kapan pulang, kapan pulang, disuruh pulang buruan. Sampai rumah die molor duluan.
Tanyain oleh-2 kali bang, ibu belum makan kali, nungguin abang bawa makanan restoran, pancing Dora.
Enggaklah, aku oga bawa-2 makanan.
Tadi abang bilang ya aku bawa....kan bawa makanan enak pesenan ibu.
Iya emang pesenan die, tapi bukan makanan. Uang ! perempuan maunya uang melulu.oaahh...
Uang dari pedagang ya bang ?
Gathel menatap Dora.
Sebagian, sebagian lagi titipan teman-2 untuk big bos, ujar Gathel.
Di depan ada hotel bang, seru Dora.
Mobil belok masuk hotel dan berhenti di depan kantor hotel. Dora bilang kepada Gathe bahwa Luna akan bel gorengan dan minuman kaleng dulu. Gathel mngangguk. Luna turun dari pick-up, lalu berjalan menjaui mobil. Ia menurut saja disuruh Dora karena ia sendiri sangat, sangat malas untuk melakukan pekerjaan kotor ini. Tujuan Dora , agar yang tampil dia seorang. Jadi kalau terjadi kemungkinan terburuk Luna tak tersangkut paut. Sina sepakat keetika Dora bilangkepadanya. Resiko kita berdua yang tanggung, Kak Luna ga usah dilibatkan. Ia sudah berbaik hati menampung kita.
Gathel turun dan hampir terjerambab karena ngantuk. Dora segera memapahnya masuk kantor. Gathel langsung didudukkan di sofa ruang tunggu, depan konter pendaftaran tamu.
Bang, pinjam KTP sebentar buat daftar. Bilang ga usah KTP gitu, kata Gathel. Dora mendaftar.
Roomboy mengantar Gathel dan Dora ke kamar. Petugas lain minta kunci mobil untuk memarkir kendaraan. Sambil memapah Gathel –tepatnya Gathel merangkul Dora , Dora membisiki Gathel. Bang, uangnya dimasukkan kamar atau biar di dalam mobil.
Biar saja di mobil.
Ga takut hilang diteteng orang ?
Iya, ya...masukin kamar.
Kamar hotel tidak menggiurkan untuk dipakai tidur atau rebahan santai. Sprei bed besar ditata rapi tapi masih kelihatan kusam, walau belum sampai dekil. Lantainya juga tidak kinclong meski bersih karena sering disapu. Dingin AC menolong suasana kamar.
Gathel langsung menjatuhkan diri di kasur busa itu. Dengan isyarat tangan Gathel mengajak Dora segera mengikuti dirinya. Dora menyambutnya. Ia rebahan di samping Gathel. Gathel segera merangkulnya. Tapi Dora kemudian minta ijin keluar sebentar untuk ambil uang di mobil. Sebentar kok, ga sampai lima menit. Gathel mengangguk.
Dora mengambil kantong plastik tebal berisi uang. Dora sengaja dilama-lamain mengambilnya. Ketika kemballi ke kamar, Gathel masih melek tapi nyala matannya sudah byar-pet. Dora naik ke ranjang dan langsung saja diterkam Gathel. Dora membiarkan saja tangan Gathel kemana-mana sementara tanganya sendiri menepuk-nepuk punggung Gathel.
Taktik Dora jitu. Lambat laun tapi pasti gerakan Gathel melemah dan melemah sampai akhirnya lunglai. Tak sampai dua menit, Gathel tumbang. Ngorok masih dalam posisi memeluk Dora.
Dora SMS Luna agar tunggu di situ tak perlu masuk kamar. Meski heran, Luna menurut saja.
Dora meraih kantong plastik berisi bundelan uang. Ia buka dan hitung berapa bundel. Lebih dari sepuluh bundel setelah isi kantong ditumpahkan dora ke lantai. Bundel pecahan dua puluh-ribuan, 50-ribu-an dan 100-ribua-an. Tiap bundel dikalungi kertas yang menyebutkan nilainya. Total lebih dari 40-an juta, hitungan kasar Dora.
Dora mencabut 50-ribuan sepuluh lembar.
Dora memasukkan lagi bundelan ke kantong plastik tebal. Lalu duduk sebentar. Dora mencari-cari sesuatu di kantong celana Gathel yang tertidur pulas tanpa kuatir Gathel tak akan cepat bangun. Ia yakin obat anti mabok dua sachet yang ia campur dalam teh manis cukup untuk memulaskan Gathel dalam waktu agak lama, Bisa lebih dari empat jam ! Apalagi kamarnya ber-AC. Dengan tenang Dora membalikkan tubuh Gathel.
Dora telah memegang hape Gathel dan kini sedang mencari nomor telpon yang terakhir menghubunginya, yaitu istri Gathel. Setelah ketemu ia ambil hapenya sendiri untuk menyimpan nomor hape istri Gathel tersebut.
Dora duduk di ranjang. Sambil mikir bagaimana cara membawa uang tanpa kantong plastik tadi, Dora matanya berputar melihat seisi kamar. Cari ide. Matanya tertuju pada tempat sampah. Ia periksa, Tempat sampah dilapisi kantong plastik untuk memudahkan membuang sampahnya . Ternyata belum ada sampah satupun. Masih baru kantong plastiknya.
Dora naik ke ranjang lagi. Tanpa ragu-2 ia balikkan tubuh Gathel lalu ia lepas kancing bajunya. Dengan segala kesulitannya Dora bisa melepas baju Gathe. Sabagal gantinya ia menyelimuti Gatel.
Kantong plastik tebal isi bundelan uang ia bungkus dengan baju Gathel lalu dimasukkan ke kantong plastik dari tempat sampah. Dora mencoba mententeng, berat juga. Kuat ga ya, pikir Dora. Ia membesarkan hati, pasti kuat. Muncul ide lagi, Dora menanggalkan pakaianya semua sampai telanjang. Lalu memasukkan celana dalam dan beha ke dalam kantong plastik isi uang. Posisinya di atas baju Gathel. Lalu Dora duduk lagi di ranjang. Ia lihat jam dinding. Sekitar dua puluh menit sudah ia berdua sama Gathel di kamar.
Hape Dora bebunyi, SMS masuk. Dari Luna yang kasih tahu Sina sudah datang dengan taksinya. Dora keluar dari kamar dengan santai. Dora tersenyum genit kepada pria respsionis hotel itu.
Lagi banyak job, bang, kata Dora. Resepsionis menggut-manggut. Begini bang, tugasku selesai. Yah, memang tidak lama sih,.... Resepsioni tersenyum saja sambil manggut-manggut.
Sekarag bos tertidur pulas, kecapain kali, bang. Habis berenang mengarungi samodeera bersamaku,,,,hi..hi...hi...Tapi begini bang, bos tadi pesan sama aku, suruh pesan lagi .
Makanan atau minuman ?
Bukan, nanti dia sendiri yang akan pesan. Bos pesan seperti aku.
Ha ? lagi ? tanya resepsionis melongo.
Dora mengangguk sambil senyum nakal. Iya, dua , bang.
Ah, apa dia maih kuat ?
Entahlah kalau yang itu, yang jelas tadi itu pertarungan berlangsung seru, tapi expres bang.
Maksudnya ?
Peltu.
Peltu ? tanya resepsionis dgn wajah bloon.. apaan-tuh?
Ah, abang ga dong juga. Tadi kulihat abang main iinternet di PC ? respsionis mengangguk. Cari digoogle deh. Humor Superman bercinta dengan Wonderwoman. Crita singkatnya begini. Superman sedang terbang memantau situasi. Pas dia lihat kebawah. Tertangkap oleh mata supernya. Wanita rebahan di tepi kolam renang di rumahnya. Telanjang bulat dan wanita itu Wonderwoman. Maka ya ya begitulah....cari di google kelanjutannya.
Abang aku titip amplop, dua. Masing2 isi 200 ribu. Nanti kasihkan dua waita cantik kayak aku nih....
Mereka mau ke sini jam berapa ?
Sekitar dua jam lagi.
O, baiik nanti saya sampaikan.
Dora minta nomor tilpun hotel dan berpesan, nanti kalo ada tilpun dari cewek cantik itu, bilang terus terang kalau amplop masing-2 isi dua ratus suadah disiapkan bos Gathel.
Siapa nama si bos tadi ?
G a t h e l.
Dan nih 50 buat abang.
Dari tadi resepsionis mengamati tentengan yang dijinjing Dora.
Bang, ini pakaian kotor aku bawa aja, kata Dora. Nih lihat....tambah Dora sambil berputar mendekati resepsinois untuk memperlihatkan isi kantong palstik. Begitu Dora kuak kantong plastik, terlihat oleh respsionis BH, CD dan baju. Bos itu jorok mainnya, crita Dora. Milk dia punya sampai ke-mana-2, jadi korban daleman aku.
Resepsionis sampai menelan ludah karena jijik.
Aku cabut dulu ya bang, makacih. Daag.....
Dora jalan sebentar, taksi sudah menanti. Pintu belakang dibukakan Sina.si bergerak. Dora memejamkan mata beberapa saat, lelah mental dan fisiknyanya mungkin. Bagaimana pun, kejadian sejak diwarung hingga barusan cukup membuat stres Dora. Ia butuh menenangkan diri.
Kita cari resto di jalan serah ke stasiun besar, kata Dora.
Kafe de Kere, kata Sina.
Sip, kata Dora lalu memejamkan mata.
Tadi bagaimana kak, tanya Sina kepada Dora.
Apanya ?
Ya crita, apa-lah. Si Gathel di apa-in. Dibetot kek, atau diguyur....ha..ha... asyik ngak kak, ha..ha...ha..
Kadang Sina memang sering membuat Dora gregetan. Ceriwis dan suka menggoda. Kadang Dora merasa kekanak-kanakanya masih kental.
Kakak tadi sempat dicium ga sama tuan besar bang gathel ? Ha...ha...ha...
Saking gemasnya Dora menarik tangan ina lalu ditaruh di dadanya. Sina kaget. Ternyata Dora ga pakai BH. Oleh Dora, tangan Sina lalu diarahkan ke pangkal pahanya. Sina tahu Dora suka pakai celana kain tipis, ga suka jin. Maka ketika tangan Sina menyentuh pangkal paha Dora, Sina menjerit. Jorok ! Jorok, ih kak Dora Dora jorok. Hoek....hoek.
Abang-abang, stop, stop....aku pindah depan, ga mau duduk sama kak Dora.
Otomatis sopir minggirkan mobilnya. Sina keluar dan minta duduk di depan. Luna geleng-2 kepala tapi mau tanpa komentar pindah duduk di belakang. Taksi jalan lagi.
Luna tidak berrtanya tapi menatap Dora. Dora senyam senyum saja. Ia perlihatkan kantong plastik putih yang dari tempat sanpah hotel itu, lalu ia buka. Terlihat kantong plastik tebal. Luna masih belum paham Dora mau nunjukin apa. Serpti gaya tukang sulap saja, pelan-2 Dora buka kantong plastik tebal warna hitam. Di dalam taksi memang agak gelap karena di luar juga matahari mulai temeram. Lampu-2 jalan membantu penerangan di dalam mobil. Tanpa mengangkatnya, Dora kuak lebar-2 kantong platik tebal dan terlihatlah terlihat oelh Luna isinya. BH dan CD. Luna menatap Dora, belum paham. Dora menempel telunjuknya di bibirnya, memberi isyarat agar diam. Dora angkat dalemannya dan baju Gathel, Dengan isyarat kepala minta Luna melongok ke dalam isi kantong. Tapi tak nampak, masih terlalu gelap. Sudah hampir jam enam. Dengan tangan kiri Dora memberi isyarat Luna agar merogoh isi kantong. Luna menurut dan baru paham dan kemudian kaget ternyata banyak bundelan uang yang ia pegang. Ia angkat satu untuk memastikan. Luna sampai menutup mulutnya, saking takjubnya.
Kok bisa ? kamu ngrampok Gathel ? kata Luna dengan suara yyang maunya lirih tapi Sina sempat menengok ke belakang.
Ssshh, cuma melucuti,
Sampai telanjang, kamu apain dia ?
Setengah telanjang, lalu aku bawa sekarung duitnya.
Lho, di-di-dia diam saja,...apa kamu bunuh ?
Hush..!
Dia tidur.
Mati ?
Tidur !
Dia bangun langsung pingsan lagi dong, tahu duitnya ilang. Dompetnya ga sekalian kamu embat ?
Enggaklah. Biarkan saja dompet dan isinya, kata Dora. Jangan beri kesan kita mengambil apapun darinya.
Aku ga paham, kata Luna
Kamu bilang ga amabil apapun, lha uang ini apa ?
Kesan, kak. Kesan
Kesan bagaimana, jelas uangnya hilang setelah Gathel jumpa kita. Kamu yang utama, paling lama.
Yang akan bilang siapa ? Yang akan cerita bahwa uang di kantong plastik hilang diambil dua wanita pencuri , siapa ?
Ya Gathel-lah.
Kakak yakin orang percaya omongan Gathel ?
Iya-lah, kan dia....
Ya, terbuka pikiran kakak sekarangg. Orang bisa mengira Gathel sendiri yang menghllangkan uang ini. Orang bisa mempertanyakan jika terjadi perampokan kenapa uang di dompetnya asih utuh? Bb-nya juga tidak diambil. Bisa kan timbul kesan dia mengarang cerita pencurian. ?
Kamu belajar dari mana Dora ?
Dora cuma tersenyum.
Kamu telah merencanakan semuanya, Dora,
Tidak semunya. Aku memang ingin mencelakakan bajingan tengik itu tapi cuma nafsu doang. Ketika aku menasehati Sina, tiba-tiba Sina punya ide cemerlang. Kumatangkan sekalian.
Kebetulan di depan area belanja dimana Resto de Kere berada, di depannya kios besar jual pakaian santai wanita seperti daster modis, kaos, you-can-see, katok kolor modis maupun katok jin. Sementara Lina dan Sina nunggu masakan, Dora belanja pakaian santai secukupnya. Uang bundelan sudah dipindah ke kopor, dijagain Luna dan Sina. Mereka duduk berhadapan.
Dora masuk resto , naru sebagian bungkusan belanjaan di meja Luna dan Sina, sebagain lagi ia bawa dan langsung ke kamar mandi resto. Ia mandi kilat, asal sekujur tubuh diguyur air dan disabuni. Sabun, pasta dan handuk sudah ia siapkan.
Waktu Dora krmbali untuk kumpul lagi di meja resto, masakan sudah dihidangkan. Luna tidak heran melihat Dora tampil lebih segar. Tapi tidak demikian Sina. Ia terpana melihat Dora duduk di sampingnya. Ia amati Dora dari ujug kaki sampai rambut. Mendadak, enak saja Sina memegang buah dada Dora. Dora, juga Luna, kaget. Dora menjerit dan manampar tangan Sina.
Ih,...apa-an sih lu ! Elu gay ya ?
Sebagian pengunjung menengok ke meja mereka. Untung belum banyak yang makan di situ, masih suasana magrib soalnya. Sina cuma cengengesan,
Ala, kakak tadi juga begitu, canda Sina.
Tadi kan di dalam taksi, oon !
Kok ga sekalian kramas ? tanya Sina curiga.
Ngapain ? Tanya Dora
Eh, bukannya elu main sama Gathel,
Lu omong sembarangan gua gampar bacot lu, bentak Dora.
Coba, kata Sina menyediakan wajahnya di dpan Dora.
Dora benar mau menghajar Sina kalau saja tidak dibentak Luna.
Dora ! Sina ! apa-apa an kalian !
Pengunjung dan karyawan tersentak juga oleh bentakan Luna. Orang-2 di teras resto pun sampai ikut memperhatikan mereka.
Sekali lagi kalian ribut, aku tinggalkan kalian. Aku pergi begitu saja ! bawa semuanya.
Dora dan Sina menunduk, lalu ambil piring dan nasi. Keduanya cepet-2an ambil centong sehinga kedua tangan keduanya beradu. Keduanya saling melotot.
Teruuus !! kata Luna lagi agak keras.
Baru kedua tangan mereka berdua tak lagi di atas meja. Mereka diam bagai patung. Beberapa saat mereka bertiga diam. Luna kesal juga. Sebagaian pengunjung malah senenag dapat suguhan ekstra, tontonan segar ala Dora-Sina.
Akhirnya Sina berdiri, berjalan memutar ke arah Luna, mengambil periuk nasi dan centong lalu membagikan nasi ke piring Luna. Dora menyodorkan piring tapi Sina menggubrisnya. Luna memalingkan muka untuk melototi Sina. Sina memberi nasi secentong ke piring Dora. Sina menarik kursi di sebelah Luna tapi Luna menunjuk ke tempatnay semula. Sambil cemberut, Sina kembali ke tempatnya.
Usai pesta di de Kere mereka berembug menentukan kota mana akan mereka tuju.
Dora mengusulkan sekitar Dukuh Kupang, Surabaya atau wisata kuliner murah di Genteng Biru, Bali. Di kedua wilayah itu aku punya teman yang bisa diandalkan, kata Dora. Temanku di Surabaya cukup diseganilah. Korak kerah putih begtulah, tambahnya.
Sina ingin di Yogya tapi ia tak menyebutkan daerah maupun contack person. Ia memang belum pernah ke sana.
Luna kemana saja mau. Tapi sempat mempertanyakan kenapa tidak Batam. Riskan kak, kata Dora.
Akhirnya diputuskan ke Yogya dulu baru ke Surabaya dua hari kemudian.
Mereka naik taksi ke statiun besar dan malam itu juga berangkat ke Yogya naik kereta.
Kereta berangkat. Mereka beli tiket empat. Sina minta duduk saa Dora, sedang Luna sendiri, tetapi bangkunya menghadap bangku Sina Dora.
Selama di kereta Luna lebih banyak mendengar omongan Dora dan Sina. Karena ia sama sekali tidak tahu rencana mereka. Dora cuma bilang tadi bahwa Sina telah menjual warung beserta isinya kepada mpok seharga tiga ratus ribu. Karena terlalu sering dapat kejutan mungkin, Luna ga kaget lagi meski hatinya bertanya-tanya, kok murah banget. Tapi lalu ia ingat bunelan uang di kopor.
Udah telpon gadis-2 nya mpok ? tanya Sina. Kok aku ndak tahu. Kak Dora nyuruh gadis-2 itu jam berapa ke hotel? Crita dong,...iihh, kata Sina.
Aku mnta mereka sampai di hotel jam 8, berarti sejam lalu. Kukasih nomor hotel untuk konfirmasi uang transport mereka. Aku telpun hotel, resepsionit membenarkan mereka sudah ia antar ke kamar yang tadi. Lalu kutelpon salah satu gadis itu. Dia bilang bos masih ngorok. Aku bilang diamkan saja dulu mungkin kelelahan setelah sama aku habis-2an tadi, kalau dibangunkan sekarang jangan-2 dia kaget. Kalau marah, ga keluar bonus kalian. Cuma dapat transport doang, 200san. Nanti kalu sejam dia belum bangun, goda itu bos. Caranyam kalian berdua telanjag lalu naik ke kasur, kan dia sudah setengah telanjang (Sina melebar matanya menatap Dora), rangsang dia. Tahu kan caranya. Dia bilang. Bau badannya menyengat. Kubilang itu resiko bisnis beginian.
Kasian, kata Sina.
Terus tilpun siapa lagi, tanya Sina. Waktu antri beli tiket aku lihat kakak tilpun lama dan lebih dari sekali.
Aku tilpun atasan Gathel yang kemarin aku layani. Pada dasarnya dia orang baik-2, punya istri dan anak dua. Hanya karena ditawarin Gathel mau diservis, ia tergoda. Aku minta no hapenya, dikasih. Aku bilang kepada atasan Gathel itu. lho kok ga diajak Gathel pesta di hotel Bintang Melati ? Relasinya diundang kok, ada tiga orang. Semua disewain kamar dan per kamar disiapkan cewek dan konsumsi. Llalu aku crita kalau mau berangkat ke hotel tadi, aku dibeliin baju, di-beli-beliin apa gitu, rupanya bos Gathel lagi banyak duit nih....
Tadi kakak bilang nyimpan nor hape istrinya Gathel, dikomtak juga ? crita dong ?
Waktu aku telpon, benar, yang terima istrinya. Halo, ini nomor pak Gathel ya ? bukan, saya istrinya. Ada apa? Oohh, ga apa-apa bu, saya keliru pencet nomor. Maaf ya bu. Tunggu, ada apa. Ini urusan kantor ? entah ya bu, cuma tadi an Pak Gathel bilang adar acara lalu undang saya dan temen-2 sesama profesi untuk hadir menghibur,....hi..,hi..hi......di hotel Bintang Melati. Katanya kan jam 8 ini, kok belum dihubungi, padahal kan kami perlu persiapan, wangi-2an, dan sebagainya. Kan mau pesta...hi...hi...hi... hotel apa tadi ? tanya istri Gathel. Bintang Melati, sekitar daerah Pantai Pasir Putih. Maaf ya bu...klik, ditutup sama si ibu.
Ada lagi yang kakak gosok ?
Bibirmu kalo ngomong ...., kata Dora gemes lalu hendak mencengkeram bibir Sina.
Sina tertawa lali menyandarkan kepalanya ke bahu Dora.
Luna menyaksilan ulah mereka berdua sampai terharu. Mereka benar-2 kayak kakak-adik, batin Luna.
Sina mengeluarkan hapenya lalu cari nama temannya.
Mau telepon kawan baru, siapa tahu berguna, kata Sina.
Siapa ? Cowok, tanya Dora, yang dijawab denga anggukan Sina. Emang lu punya temen cowok ?
Ih, ngenyek... ini teman kenal di mol 3 bulan lalu. Ia kerja di TV Swasta. Ga tahu bagian apa ?
OB kali ? goda Luna
Sina tertawa. Aku suka kak Luna mulai goda aku, berarti stresnya mulai reda. He...he...he...
Sina lagi beruntung. Maka ngobrollah Sina dengan ceria. Dan tentu saka ia sampaikan info perilaku Gathel yang sedang pesta perempaun itu setelah bahwa dirinya tahu ada petugas peras pedagang kaki lima di sekitar daerah pantai anu. Tak percuma Sina ngobrol lama. Teman barunya itu berjanji langsung meneruskan info Gathel itu ke desk siaran. Ia sendiri tim kreatif TV swasta tersebut.
Saking girangnya, Sina ingin pamer hasil kiprahnya. Kak, temanku mau bantu, kebetulan mobil TV berada di sekitar wilayah hotel. Jadi mungkin bisa masuk tayang kak. Eh, kak tahu nggak, teman itu ngajak ketemu.. tapi bagaimana ya...aku udah ga di Jakarta.....bagaimana kak,...kak..
Sina menengok ke samping. Eh sialan, diajak ngobriol, malah tidur,,,kak..kakak...bangun dong.....aku mau cerita nih...kak Luna kok ikut tidur juga....terus akau bagaimana ini ....
Pukul 01.25 Sina terima SMS dari temannya dari TV swasta. Xina infomu tayang acr reportase mlm jm 2. Pk 02.20 SMS masuk lagi. Gmn Xin kocak ga ? kt PSK si Gtl bau bgt ampe mo mntah xa..xa..xa... infomu bgus mk di wwncr i PSK dll. jmpol Xin. Ny Gtl jg diwwcr i konyol jg y.
SMS pk 02.30 pelaku gtl diwwcr i ktna dia dikrjai psk uangna dirampok namanya jd rusak. reprtr tanya apa psk ini yg ngerjai, kt gtl bukan ada lg lbh cantik tp lbh sadis , gw pkr hbt jg psk tu spt angel faced killer. tau artina ? pembunuh berwajah bidadari , mk bisa jd subjudul acr investigasi besok
Jam 02.45 SMS masuk lagi. Xin lu mati kali di hp ga d angkt awaz !!! lu ga jwb lg gw moh temenan sm lu.
Sms Pk 03.00. payah lu bodo
Sina lagi mimpi stairway to heaven di-SMS, ke laut-lah.
Waktu sarapan gudeg sebelum masuk hotel dekat Malioboro, Sina baru membalas SMS teman barunya. Trm ksh y pren jngn marah gitu ntar belon kwn udh tua
Tetapi SMS Sina baru dijawab siang, saat tiga jagoan ‘Charli’s Angel diduran di hotel bintang 5. Biarin gw blm tua aja lu cuekin
Sina membalas SMS itu. Marah lg. lu ngaca klo lg marah psti lucu eh lu jht ngatain mereka pembunuh berwajah bddari mrk kan tdk mbunuh
Mereka ? ? ? kok lu tahu pelaku yg ngrjai Gtl lbh dari satu ? soal mbunuh itu cm waktu aj. Belum. Klo mrk (ktmu bukan satu org kn?) mau bs aja lain kali mbunuh tanpa jejak. Eh kpn lu ke kntr gw anbil honor. Infomu akurat hornorna gede lu jd narasumber y ? buat acara invedtigasi, kpn ada wkt buat wwcr honor na gede gw ga bohong
Sina jadi merinding sendiri.









Senin, 12 Agustus 2013

BALADA DUA DARA

Minggu siang itu temen-2 Prasaja memenuhi janjinya untuk merampungkan tugas makalah kelompok. Sejak jam 10 mereka sudah membuat kapal pecah di kamar Pras. Mereka bekeja sama menjalankan perannya sesuai kesepakatan, mengisi bab demi bab. Semuanya laki-2.
Jam 11 pintu diketuk, karena Pras yg buat outline ia nganggur sampai mereka rampung, maka dialah yang menyambut tamu. Terpana Pras melihat siapa tamunya. Dua bidadari kesiangan tersenyum manis begitu Pras muncul. Usia mereka sebaya dgn Pras. 20-an. Mereka gadis kinyis-2. Yang membedakan mereka dengan teman-2 kampus adalah dandanan mereka. Bedak sampai gincu semuanya tebal. Salah satu pakai yukensi hitam tapi tersembunyi di balik jaket putih. Rambut lurud, paendek dan hitam. Bibir agak tebal dan indah. Satunya mirip manakin eropa. Rambutnya pirang tetapi tesembunyi dalam topi ruisa utih yang tebal, seperti terbuat dari kulit biri-biri. Keduanya pakai jin tapi tetap kelihatan norak. Setidaknya di mata Pras. Ini membuat Pras berprasangka negatif.
Toni lagi pergi, mbak. Aku tidak tahu kemana dan sampai kapan kembalinya. Jawaban Pras yang menyebakan mereka saling pandang dan tersenyum kecewa.
Boleh kami nunggu mas ?
Tanpa ragu-2 Pras menjawab boleh dan langsung mempersilakan mereka masuk. Ia sadar berhadapan dengan perempuan yang bisa jadi berprofesi khusus – kalau menilik penampilan mereka—bisa riskan. Tapi kenyataannya siang itu mereka kan tidak sedang menunjukkan gelagat mau menjalankan profesi mereka. Lagi pula rasanya tak pantas membiarkan mereka nunggu Toni di teras karena satu-2nya tempat duduk adalah tembok pendek di teras yang sempit-- cuma satu bata lebarnya. Lagi pula sinar matahari yang cukup terik menguasai seluruh teras. Meski begitu Pras menyempatkan diri melirik sekeliling situasi di luar rumah. Sepi.
Bagaimanapun Pras berharap tak ada warga yang tahu atau melihat dirinya “memasukkan” tamu cewek norak. Belakangan Pras baru tahu kalau sesungguhnya warga mengamati rumah ini setelah ia dekat dengan Tika Wulandari, tetangga seberang rumah. Aku tahu banyak permpuan sliweran d rumah mas, kata Wulan ketika Pras main ke rumahnya. Tapi bukan aku,...bukan tamuku lho, buru -2 Pras pasang tameng untuk mengamankan citra dirinya. Ya, kami tahu, jawab Wulan. Orang-2 juga tahu siapa di antara teman-2 mas yang suka bawa cewek. Tapi karena sejauh ini tak sampai bikin ribut ya warga diam saja.
Aku tahu mas suka ke warung depan (toko sembako), nemuin Isye, anak Malaysia itu, atau Yati, anak Ngadirojo itu, kata Wulan sambil tersenyum nakal. Gila, ni cewek kayak FBI aja. Semua langkahku dipantau. Tapi datanya keliru lagi. Isye itu bukan asal Malaysia. Suami mbakyunya Isye , orang Malaysia yg lagi tugas belajar. Namanya bukan Isye lagi tapi Aisyiah, anak sosiologi, batin Pras. Ia sekampus dengan Pras, beda fak. Tapi soal Yati itu memang benar. Pernah ia ke toko dan Mbakyunya Aisyiah yang jaga dan bertanya, cari Yati ya ? jangkrik, umpat Pras dalam hati.
Jangan heran kalau aku sampai tahu semuanya, mas, kata Wulan. Sini lingkungan kecil mas, tuturnya. Hanya mas yang kontrak rumah, lainnya. Pegawai PJKA. Sudah berkeluarga. Pemuda disini bisa dihitung dnegan jari. Adikku laki dua, di toko sana dua juga, sebelahnya mas Sentot. Gak ada lagi, sisanya pensiunan dan pegawai negri senior. Jadi Mas Primadona di sini, katanya.


Sejak awal Pras sudah merasa bahwa ia tinggal di lingkungan yang lebih kecil wilayahnya dan tidak selonggar rumah kontrakan sebelumnya. Ketertiban, kebersihan serta ke asrian RT sini memang patut diacungin jempol. RT kami pernah meraih perngharga RT terbaik lho mas, kata Pak RT ketika Pras mengunjunginya untuk lapor diri sebagai warga baru.
Rumah yang dikontrak Pras bersama dua temannya itu tanggung bangunannya. Dari luar kelihatan mentereng. Sebuah rumah berdinding bata (bukan batako) yang cukup bagus.Tapi kalau masuk ke dalam dan diamati, cuma satu kamar yang berdinidng bata. Tak sampai 3 meter ke belakang. Selebihnya gedek alias anyaman bambu. Lantainya plester. Meski semua dinding dari kaso dan gedek tapi rapih, setidaknya kokoh. Cuma memang catnya mulai mengelupas – kalau dibersihkan pakai sapu serpihan-2nya rontok. Kamar Pras di tengah dari 4 kamar dan paling luas tapi gedeknya mulai kumuh dimakan usia. Pras ga kurang akal. Dibelinya plastik tipis warna merah muda dan abu-2 mendekati ungu buat dekorasi. Dinding sebelah kanan warna pink. Sebelah kiri ungu-abu-2. Sedang dinding yg ada pintu dan cendela, dibiarkan saja karena masih rapih. Oh, dinding sekeliling rumah, separuh bata separuh gedek. Termasuk yang ada cendelanya.
Dua bidadari itu digiring Pras ke ruang tengah, depan kamarnya karena ruang tamu tidak nyaman. Kursinya lilitan tali plastik dengan kerangka besi. Di ruang tengah juga terbatas perabotannya. Cuma ada tiga kursi dan satu meja kecil. Semunya model mebel standar untuk rapat kelurahan atau pertemuan di gedung sederhana. Pras pilih di ruang tengah agar dekat dengan teman-2nya yang sedang menggarap makalah sehingga kalo mereka butuh dia, bisa segera menanggapi.
Tanpa cangung Pras seduh 3 cangkir teh manis hangat. Mereka kagum mungkin. Kok baik banget jejaka ini, mau repot bikin suguhan, pikir mereka. Mereka belum tau bahwa kebiasaan Pras selalu menyuguhkan teh manis hangat kepada tamunya. Siapa saja.
Kok enggak minggon (pergi rekreasi di hari minggu), mas. Kata si hitam manis.
Kebetulan lagi banyak tugas, kata Pras.
Lalu merekapun ngobrol ngalor-ngidul ke-mana2. Pras malas untuk mengarahkan pada satu topik pembicaraan. ia lebih banyak nge-gongi aja tapi lama-2 bosan juga. Sementara satu demi satu teman Pras keluar, hendak ke ruangan belakang. Mau ngapain mereka pikir Pras. Kalau ke kamar mandi kok ga terdengar suara gemercik air. Atau ke dapur ? ngapain, ga ada makanan apapun. Masak mau ke dua kamar yang bukan kamar mereka? Pras menebak tujuan mereka adalah menginitp tamu-istimewa itu.
Mas, mahasiswa itu sombong ya, celetuk bidadari rambutnya pendek.
Kok bisa begitu kesimpulannmu? Tanya Pras.
Iya, masak ga ada yang mampir satupun ke sini, keluar masuk kamar, plerak-plirik.
Mati aku, pikir Pras. Ah, salah kamu. Mereka tidak sombong. Mereka banyak tugas sehingga mereka ga sempat apapun. Kepikiran tugasnya.
Jadi mahasiswa sulit ya mas? Harus pinter dulu ya ? kata bidadari topi rusia.
Sulit ? embuh ya....tapi menurutku biasa saja.
Ya, karena mas pinter orangnya, biadadri satunya menimpali. Sedang kami itu apa?
Gini lho, semua peker...semua apapun punya kesulitan. Tentu situ pernah menghadapi kesulitan ketika bekerja misalnya ?
Keduanya terdiam. Sebelum beberapa detik kemudia si topi rusia buka suara. Memang mas pingin tahu pekerjaan kami ?
Giliran Pras terdiam dan terhenyak kayak pecatur amatir kena skak. Kedua biadadari menatap, menunggu jawaban Pras.
Enggak, jawab Pras datar.
Kenopo enggak mau tahu pekerjaan kami, kejar si manis bibir sensual.
Ya karena kalian sendiri yang segan mengutarakan, kata Pras tajam seraya menatap keduanya.
Kedua bidadari sempat beradu pandang dengan Pras , bahkan si bibir indah sudah mau buka mulut, mau blak-2an tapi dibatalkan. Ia memilih mengarahkan sorot matanya ke bawah. Tak mau beradu pandang lagi. Topi rusia juga mengalihkan pandangannya dan agak menggigit bibir. Pras merasa tak enak hati juga karena menyebabkan kedua tamunya seperti merasa sedih.
Suka baca ga kalian ? tanya Pras memecah kekakuan suasana.
Tidak ? buat apa ?
Masak? Ga suka baca koran ?
Paling-paling stensilan, kalau masih ada yang nyimpen,.....keduanya cekiki-an.
Stensilan adalah buku kecil dan tipis yag berisi penggambaran atau deskripsi adegan seks antar lawan jenis secara vulgar dan detil, tanpa gambar dan diketik dengan mesin ketik dan diperbanyak dengan mesin cetak manual disebut stensil.
Tidak apa-2, yang penting baca, ujar Pras. Tidak apa-2 ? tanya mereka bareng. Ya, terus saja baca. Lama-lama nanti kan bosan baca begituan. Kalo sudah bosan, biasanya cari bacaan lain.
Mas, masih pingin tahu kesulitan kami ketika bekerja? Tanya topi rusia.
Sebenarnya malas Pras terus ngobrol tapi tak tega untuk menghentikannya. Pras mengangguk.
Kesulitan muncul bila menghadapi pelanggan, kata bibir indah si rambut pendek
Mengapa ia memakai kata menghadapi dan bukan melayani ? batin Pras. Menghadapi bagaimana? Kok istilahnya seperti mau gelut saja.
Ya memang begitulah, papar si manis rambut pendek. Kami tidak tahu apakah akan meraih kemenangan atau sebaliknya.
Menang kalau kami senang, dan seballiknya, Topi rusia menimpali. Apapun hasilnya, menang atau kalah, suka atau tidak suka, kami tetap babak belur.
Bedanya dengan petinju, tambah bibir indah, kami tidak bisa memilih lawan kami.
Kadang kami dapat lawan yang sulit juga. Seperti sekarang, kata topi rusia.
Tiba-2 Pras merasa pahanya ditimpa sesuatu, telapak kaki salah satu bidadari itu. Bukan itu saja, kaki tadi terus bergerak kemana-mana yang membuat emosi Pras mulai spaneng. Wah anak ini nakal, batin Pras. Tanpa mengalihkan pandangannya dari bidadari itu, Pras memegang telapk kaki dan diturunkannya secara pelahan.
Mas, mau bantu kami ? todong topi rusia.
Waduh, sori sekali ya ....aku lagi banyak perkerjaan, kata Pras seraya berdiri. Dua bidadari itu tertegun dengan sikap Pras yang menjawab penolakan sambil berdiri. Pras tahu mereka paham maksudnya, mereka hendak ikut berdiri.
Habisin dulu, tehnya....di luar masih panas, biar ga cepet haus, kata Pras.
Dua biadadari menatap Pras. Mungkin karena melihat sinara mata Pras menunjukkanketulusan, maka keduanya minum sampai habis lalu pamit. Pras mengantarkan tamu sampai pintu pagar dan melambaikan tangan ketika tamunya berbalik untuk melihat Pras dan kemudian balas melambaikan tanganya.
Siapa Pras cewek itu ? kok kelihatan hot banget ? temanmu kah, atau sesungguhnya kamu ada acara khusus denga mereka? Trus, sesungguhnya mau ngapain sih mereka kemari ?
Begitulah pertanyaan beruntun yang dicecar teman-2nya begitu Pras masuk rumah.
Mereka teman Toni dan ke sini pingin bertemu Toni. Pras menjelaskan. Apapun yang kalian kira siapa mereka, apa pekerjaan mereka, itu setelah kalian amati penampilan dan dandanan mereka. Padahal kalian sendiri tahu yang kalian lihat itu kan sekedar bungkusnya tok, kemasannya doang.
Ya, tapi kan biasanya kemasan menunjukkan isi. Beras dikemas dalam karung. Makanan dibungkus dengan daun pisang, ....
Oke, kalau benar dugaan kalian, terus kenapa ?
Ya ga apa-2, pengin tahu apa apa tujuan mereka sebenarnya. Ga mungkinlah mereka berdua kesini tanpa tujuan. Ga mungkin pula mereka cari Toni untuk nagih utang, kalu cari kamu Pras, mau nagih utang, wajarlah. Potonganmu selalu memelas ngono.....ha....ha...ha...
Oke hoke...sekarang menurut dugaan kalian mereka ke mari mau ngapain.
Hibur kalian berdualah. Kamu ada, Faisal ada di kamarnya. Aku sempat ngobrol sebentar sama dia. Kamu aja yang ga tanggap, atau gara-2 ada kami di sini ?
Bisa jadi dugaanmu benar. Dan aku tak tanggap. Mungkin benar, tapi yang jelas, saat ini atau hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan, seks bukan prioritas bagiku. Mungkin juga Faisal karena aku tahu pikirannya lagi fokus pada ujian pendadaran minggu depan. Pengujinya dari ITB.
Berarti kamu sesungguhnya mau kan,...kalau tidak ada siapa-2 di sini ?
Hm, pernahkah aku sumbar anti cewek ini-itu, anti cewek nakal. Dan satu hal yang aku tangkap dari pertemuan tadi, mereka telah memilih jalannya sendiri meski aku berusaha memperlakukan mereka sebagai teman, dan karena sebagai teman, mereka boleh datang ke sini kapan saja. Dengan syarat tetap sebagai teman, dan memperhatikan etika sebagai teman, tapi mereka ternyata kukuh pada misinya, dan itu berarti mereka telah mantap dengan pilihan jalan hidupnya.
Tapi kamu pernah dekatin cewek nakal juga kan Pras ?
Iya kalau yang kamu maskud score girl , perempuan di rumah bilyard. Ya memang. Tapi kan ga sampai final. Ga semua score girl mudah dirayu. Memang biasanya mereka mudah takluk oleh mahasiswa. Tapi score girl yang kudekati itu mungkin sadar dan emoh dirinya dijadikan bunga di tepi jalan yang bebas dihisap madunya oleh tawon. Hidupnya memang sulit tapi ia masih teguh dengan prinsip hidupnya. Aku kira siapapun tak akan nyesel kawin sama dia.
Lalu kenapa kowe enggak mau sama dia ?
Ya kan aku perlu menguji diriku sendiri. Benarkah aku akan mantap dengan score girl itu. ayolah dewasa dikit. Dia paling cantik di antara semua score girl di rumah bilyar itu. padahal kalian semua tahu kan dunia tak sedaun kelor. Di luar sana banyak wanita cantik antri menunggu kita.
Pras memanggil temanya yang sering bareng kemana-mana. Man, ingat ga, kamu dan aku pernah berpapasan dengan Nina Quinita, anak fiisafat, ketika kita jalan ke gedung pusat dan dia menyempatkan diri mendatangiku hanya untuk say hai ?
O, yang mirip bintang sinetron itu, kata Loman. Iya, manis banget tuh anak.
Bagaimana umpama Nina baru sadar kalau aku naksir padanya. Lalu nanti malam mencariku untuk memberiku sinyal membalas cintaku ?
Pras, Pras, sergah temannya yang lain. Kapan sih kamu bangun dari mimpimu ? Bangun, bangun. Jangan mimpi melulu.





Kamis, 08 Agustus 2013

MAU MASUK TAK KETUK PINTU

Kaspo anak orang kaya tapi perilakunya norak. Suka mbayol tapi tak bikin orang tertawa. Omongannya tinggi seperti tahu segala hal. Tapi pada dasarnya ya anak ini muda baik, tak pernah menyakiti perasaan siapapun. Orang-orang tahu itu. Apalagi mereka yng suka nongkrong di warkop “Cangkruk”.
Begitu matahari tidur, langitpun gelap dan Kaspo sudah nongol di warkop. Seperti biasa, warkop kembali semarak oleh kisah hebat Kaspo. Meski pengunjaung belun banyak. Mereka yng ngopi hafal kebiasaan Kaspo. Ada saja yng diceritakan. Kejadian biasa ia utarakan dengan gaya teatrikal untuk mengesankan penalamannya hebat , khususnya soal cewek. Seolah-olah ia sudah biasa gaul dgn makhluk cantik itu, padahal sebagian tahu Kaspoo selalu grogi manakala dekat dengan cewek . Tapi orang-orang mafhum. Mereka menangapinya dng antusias meski tahu Kaspo sama sekali ga ga ada potongan playboy. Mereka berharap ngopi gratis. Alias dibayarin Kaspo !
Ya kan, gua bilang apa ? akhirnya dia bisa aku taklukkan malam kemarin, kata Kapo keras-keras. Tak sia-sia gua pedekate ama dia sebulan. Toh gua dapet juga perawan dia,...uhui....
Orang-orang bersorak. Kata salah seorang, hebat kamu coi,....tapi beneran nih ?
Eh iyalah...sumpah, ...wuah....begini coi, lanjutnya seraya mengacungkan jempol.
Gimana gimana critanya, Poi,.....
Kemarin malam kuajak dia putar-putra sampai Monas segala. Bosan ke kafe. Ngabisin duit melulu, ga dapat apa-apa.ga tau arah kemana aku setir. Tahu-tahu menuju Puncak. Sambil ngobro sih...biasa merayulah...eh dia diem saja, maka langsam saja ke puncak lalu berhenti untuk ngopi dan makan jagung bakar, ngocol lagi....lalu jalan lagi, lalu aku parkir di area apa aku lupa. Pokoknya pacaranlah..terus mulailah begitu.....tangan gua pun sibuk ke sana kemari, pegang ini pegang itu, sambil mreteli kancing demu kancing. Pakai feeling aja, ga kelihatan. Kan gelap, gila apa lampu mobil ggua nyalakan.
Kaspo tersenyum tersendiri. Senyum kemenangan.
Poi, kok tau lu kalo perawan ?
Lho iyalah. Seret banget, coi. Ampe lecet rasanya helm gua. Orang-orang tergelak. Sodokan pertama buntu. Iya coi kayak menghantam tembok. Tapi gua kan ga mudah menyerah. Baru hantaman ke sekian, jebol itu tembok. Des....udah deh....
Di waktu yang sama di sebuah kontrakan (rumah petak) khusus putri, Fifi – Safira Mustika Dewi lengkapnya – tengah bersiap-siap untuk wakuncar. Waktu kunjung pacar. Ia mandi lebih awal karena si doi, Poi alias Kaspo, hendak menjemputnya sebelum jam tujuh.
Fi, emang CD ini punyamu ? tanya teman sekamar yang baru membenahi cucian tadi pagi.
Fifi mengok sebentar untuk mengidentikasi. Iya, jawab Fifi.




Kok bisa bolong begini, robeknya kasar begini, kayak disobek begitu, jelas teman Fifi
Fifi tertawa cekikan. Kok malah tertawa, emang kenapa ?
Itu gara-gara si doi suka srudak sriuduk, ga sabaran.
Sabaran gimana ?
Iya ga sabaran saking pinginnya masuk.
Lalau Fifi memberi perumpamaan. Mestinya ya kalo orang tahu tata caranya bertamu,ketok pintu. Kalo belun dibuka. Ketok lagi. Belum dibuka ketok lag. Lama-lama pasti terbuka kan ?
Si poi mah enggak. Srudak sruduk, ga pakai tok tok tok, ketok pintu. Langsung dobrak aja, ya udah, jebolah pintu itu. Ya begitu jadinya. Bolong.
Fiifi masih menambahkan. Mending bisa masuk,ini mah kagak masuk.
Masuk lu ?
Dia dobrak pakai kepala,...ya udah tahu sendiri akibatnya. Kepalanya jai benjol-benjol kali lalu diapun kliyengan sendiri,...lalu muntah-muntah...udah selesai dah.
Ha, jadi belum masuk sudah muntah.....ya ampuuun, komen temen Fifi.
Fifi dan temannya tetawa ngakak......



Senin, 05 Agustus 2013

Bomber

1 Rindu Emak


Wisang Gati termasuk remaja kreatif. Banyak akal untuk membuat suatu karya sepele sekalipun. Ya cuma untuk sekedar main. Yang penting menyenangkan hatinya. Bukan hanya dirinya yang girang, anak-anak atau sebaya , juga suka menikmati karya permainnya. Misanya ia pernah membuat bunyi-bunyian dari batang pohon pepaya. Pepaya baru berbuah ditebang Gati. Batangnya yang berdiameter disandarkan dan diikat pada pohon, sebuat saja pohon. Setelah batang pohon pepaya dirasa berdiri kokoh, Gati mengambil pelepah kelapa yg mirip kain saringan berwarna coklat. Ditaruhnya di di bagian atas batang pepaya yang bolong itu lalu diikatnya. Dahan-2 kering ia kumpulkan dan dlletakkan digalian di bawah batang pepaya lalu ia bakar. Setelah jadi api, keluar asap lewat lubang batang pepaya. Bukan itu saja. “cerobong” paya ini menghasilkan suara mendengung. Tidak kencang suaranya tapi bunyinya kayak suara parau klakson kapal dan cukup membuat anak-anak tercengang.
Di waktu yang lain ia buat layang-layang besar. Sebut saja layang-layang ikan atau ular-ularan yang dipasang senar goni supaya menghasilkan bunyi soangan namanya. Gati memang suka bermain dengan siapa saja sekaligus saling menghibur. Diri sendiri maupun anak-anak. Maklum Gati bertahun-tahun hidup berdua dengan ayahnya, niyaga (penabuh gamelan) pengendang. Ia selalu rindu kehadiran orang lain selain ayahnya. Andai bisa merumuskan keinginannya atau mau curhat tentu ia akan bilang “aku mendambakan adik. Laki atau perempuan.”
Tetapi apakah itu saja dambaannya ? Tidak , ia merindukan seorang emak, ibu. Bisa jadi ia belum sampai rindu belaian dan kasih sayang seorang ibu karena memang belum pernah merasakannya. Atau mungkin lupa. Sebab menurut bude Pademo, emaknya pergi ke Malaysia saat ia berusia dua tahun. Bude Pademo adalah tetangganya yang kerap diminta tolong abapaknya untuk merawat Gati. Setiap kali ia pergi keluar atau pun da;am kota untuk ikut rombongannya, grup gamelan, sang pengendang selalu menitipkan Gati kepada tetangganya, bude Pademo.
Daya ingat Gati termasuk lumayan. Umur lima tahun bapaknya membawa ibu baru ke rumahnya. Kok yakin umur segitu ia punya ibu baru yang muda sekali ? karena waktu ibu baru mengantarkan ke sekolah TK karena orang-2 meledeknya dengan bertanya, mbakyumu kok ayu banget. Semua tahu, aku anak tunggal. Gak punya mbak, batin Gati. Bapaknya jarang di rumah, otomatis kedekatannya dengan sang bapak bisa dihitung dengan jari satu tangan tiap bulan. Tapi kedekatanya dengan ibu tirinya lebih parah. Cuma berhubungan jika memberinya makan seperti menyodorkan sepiring nasi berlauk kepada pembeli di warung. Masih mending di warung, pembeli ditanya makan apa. Baginya diiberi makan dengan nasi tanpa tercemar “karak” (nasi kering) sudah baik. Padahal ibunya itu masaknya banyak di rice cooker. Tapi kenapa nasi yang kering diikut sertakan ?
Cuma beberapa tahun ibu muda merawat Gati. Ibu mudanya memang sering bepergian dengan bapaknya. Pakai mobil. Ia sering sendir pengasuh yang lebih parah dari ibu tirinya. iKlas 3 SD Gati sudah tak melihat ibu tirinya lagi. Ia pergi dan tak kembali. Klas 5 ia [indah ke lain kampung, masih satu kota, kota gaplek karena terkenal penghasil singkong dan gaplek.
Kini Gati telah SMP. Gara-gara snetron remaja Gati pengin tahu figur emaknya kayak apa. Kayak ibu tirinya dulu yang baru sekarang sadar m setelah nemu fotonya di gudang -- bahwa ia memang cantik molek. Atau kayak bude Pademo yang gembrot dan kulitnya jauh dari halus – cir ikhas biasa orang hidup pasa-2an yg milih makan daripada ngadi saliro. Atau seperti artis seleb yang kerap digosipkan cepat ganti pacar ?
Emakmu itu wanita terhormat, perempuan baik-baik, kata bude Pademo. Walau berasal dari keluarga miskin kayak bude ini. Asal emakmu dari daerah selatan sana, Laut Kidul. Mbahmu nelayan atau apa bude juga ga ngerti. Tapi bakat emakmu luar biasa sehingga di usia muda sudah moncer namanya ke mana-mana sebagai sinden. Sama dengan ibu tirimu dulu. Emakmu tidak pergi ke Malaysia. Bude dulu bohong karena kowe masih terlalu kecil, nanti nanya ga karuan yang ga bisa bude jawab.
Tapi mungkin beda ya bude. Bu tiri kan ninggalin bapak lantaran digoda ki dalang. Emak kan tidak seperti itu ya ?
Lha pertanyaan gini ini yang bude tidak suka dan sulit menjawabnya. Bude Pademo menarik nafas panjang. Begini Le, mbesuk kowe akan paham kalo hidup di dunia ini sangat tidak mudah, terutama bagi wanita seperti emakmu, bude dan lainnya. Untuk menopang hidup, wanita butuh laki-laki. supaya hidup lebih mudah. Yang laki cari duit. Yang perempuan ngurus rumah dan anak-anak. Pakde semakin tua dan tak kuat lagi macul di sawah, maka bude yang cari nafkah. Jual gorengan pisang pisang, singkong, ubi dan tahu. Kadang-kadang bikin kacang goreng dan peyek yang sering kamu edarkan ke warung-2 itu. Kadang cukup buat makan sebulan buat berenam, termasuk kowe. Kadang di cukup-2kan sehingga kowe tahu sendiri makan nasinya sedikit lauknya sambel. Kalo bapakmu kasih duit, memang lauknya lumayan tapi terus terang tetap bude tekan suppaya hemat, kelebihan uang bapakmu buat biaya sekolah kowe. Nah karena bapaknya sejak setahun lalu ga kasih duit dan pergi kemana Bude juga ga tahu, terpaksa bude ga bisa bayar SPP sekolahmu. Bude ditagih terus tapi akhirnya kowe sendiri memutuskan untuk tidak sekolah.






Bakat emakmu hebat. Rejekinya pun bagus. Sebagai sinden Ia ditanggap nyinden kemana-mana, ikut pagelaran wayang ke kota-kota. Emakmu kaya. Yang beli rumah sebelah rumah bude ini hasil dari emakmu. Bapakmu yang crita. Kamu kan tahu sendiri asalmua dari desa Kebon Sari Kulon, beberapa kilo dari sini. Sejak lahir sampai klas 5 SD lalu pindah ke sini. Emakmu pergi waktu kamu umur 2 tahun, pas waktunya nyapih kowe (menghentikan nyedot ASI).
Lalu bapakmu kawin sama murid asuhnya sendiri, sinden muda. Cuma dua tahun, ibutirimu pergi. Pindah ke mari gara-2 orang-2 olok-2 kowe , mengatakan ibumu sekarang sinden jalanan, ngamen di jalan-2 karena ikut suami yang kepala grup ngamen.
Bagian ini yang menyakitkan Wisang Gati.






2 Masa Kelabu Bomber


Masih melekat dalam ingatan Wisang Gati, kelakar teman-2 rombongan grup tayup bapaknya waktu dirinya masih SD, belum sunat. Le, kalo cari emakmu gampang. Amati rombongan ngamen di jalan yang bawa gemelan gong, kenong, saron, kendang. Kali-kali sindennya mbokmu....ha...ha..ha... Gati tak mengerti maksud kelakar itu.
nDak mungkin to Man, sinden top merkotop mau sama bos rombongan sak upil.
Lho jangan meremehkan. Sekarang yang penting bisnis. Jangan lihat omsetnya saja. Tapi ceperannya dihitung juga. Ha...ha...ha.... Ceperanya lebih besar dan bisa berapa kali.....ha...ha...ha...
Jelas mereka para niyaga itu sedang mabuk minuman botol cap Kuntul.
Namun yang menamcap dalam benak Wisang Gati adalah rombongan ngamen bawa gamelan. Setelah SMP ia baru tahu bahwa di kota memang sering terlihat rombangan kecil membawa gamelan seperti gong suwakan, kendang, kenong, saron penerus, kadang-2 rebab, disertai satu dua sinden. Yang mencolok , sindenya genit. Belakangan Gati tahu dan membuatnya geram. Sindennya wadam alias banci ! Gati tidak atau belum tahu bahwa ada rombongan yang lebih besar kerap ditanggap orang-2 kaya. Grup tayub. Kadang sinden merangkap penari tayub.
Kekecewaan ini begitu mendalam sehingga berubah manjadi kebencian. Ia benci jika rombonan kecil pengamen membawa sinden banci. Tapi sebaliknya jika mereka ngamen dengan sinden wanita asli, Gati bisa betah berjam-jam menimati sajian tembang mereka. Sesungguhnya bukan tembang atau penampilan mereka yang mempesonakan Gati. Ia bisa menemukan sosok figur emaknya.
Sayang sekali, malah banci yang muncul. Rusak semua sendi-2 imajenasi Gati. Kecewa dan marah bersatu dalam dada Gati. Bingung menemukan sasaran kemarahan, Gati ingat petasan. Manusia-2 ini perlu diberi pelajaran.
Bukti kelebihan Gati bisa dilihat dari hasil karyanya: petasan bersuara terkencang dari semua petasan di pasaran ! Embuh belajar darimana, Gati bisa membuat kertas pembungkus mesiu jadi sangat keras, tidak lembek seperti petasan yang dijual bebas. Di pencet sekuatnya pun, ga bakal gelondongan kertas itu cekung atau melesak ke dalam. Kerasnya petasan buatan Gati bisa dibandingkan dengan kertas gelondongan untuk mencetak ketikan kalkulasi.
Gati tahu dimana mendapatkan mesiu untuk petasan. Dengan uang seharga nasi bungkus sudah dapat mesiu cukup bagi Gati untuk membuat beberapa petasan super“ guna menghajar” sinden palsu. Kertas sumbu dari pedagang mesiu tetap ia pakai tetapi disambung dengan kertas rokok. Jika disulut bara api akan merambat pelan. Baru sampai ke sumbu aslinya bara cepat menjalar. Hitungan detik petasan meletus. Kecepatan manjalar bara sumbu kertas rokok sudah dites Gati beberapa kali. Tujuan Gati cuma mlampiaskan kegeraman, bukan untuk melukai. Maka selalu ia letakkan petasan di tempat yang jauh dari kerikil atau benda-2 keras yang bisa terlempar akibat letusan. Dampak letusan adalah kaget tetapi tak sampai terluka. Gati sama sekali tak memperhitungan jantung ! maklum masih remaja SMP.
Wisang Gati melakukannya sendirian. Setelah buka ia pergi ke dekat tengah kota atau pemukiman di kota. Dengan jalan kaki. Selama jalan ia berharap jumpa dengan targetnya. Dari jauh bisa dipastikan target atau bukan. Rombongan kecil pengamen yang jadi terget biasanya menenteng petromax. Setelah dekat baru bisa dipastikan dengan bawaan mereka, apakah membawa gamelan atau tidak. Sinden asli biasanya ogah jalan didepan tapi kalau sinden imitasi biasanya jalan de depan. Dengan langkah gagah bak serdadu.
Memang kalau jalan searah Gati agak repot karena harus bisa menyalip mereka. Tapi biasanya ketolong oleh keaadaan, rombongan ditanggap atau sengaja berhenti di tempat dimana banyak orang berkerumunan seperti warung. Orang-2 terhibur dengan penampilan banci. Justru kegelian itulah yang mereka beli.
Wisang mencari selalu cepat mendapatkan tempat tersembunyi untuk menaruh petasan. Tersembunyi dan strategis. Agar api yang merambati sumbu tak terlihat oleh target .
Malam itu Wisang Gati menaruh petasan sebesar jari telunjuk di cekukan pohon asam besar di tepi jalan. Suasana kota kecil penghasil gaplek malam itu masih sepi, di samping memang kota sepi karena tidak stategis di dalam peta. Perekonomiannya kurang maju. Orang-orang masih pada tarawih. Iring-2an pejalan kaki bergerak mendekati pohon asam dimana petasan mengancam. Laki-2 berpakaian tradisional membawa gong suwakan, saron penerus, kendang, kenong. Yang ditengah bawa petromax. Sinden banci terdepan dengan langkah tegap, meski bila lewat keramaian langkah berubah jadi lenggak-lenggok seperti langkah “macan luwe”.
Beberapa meter menjelang pohon asam mereka berjalan biasa saja, sama sekali tak tahu dan tak menyangka petasan di belakang pohon asam sudah tersulut, siap menyambut mereka. Begitu langkah sang sinden hendak melewati pohon asam besar....blaaar ! meletuslah petasan dengan kencang. Sinden terjengkang mundur karena kaget. Ia berdiri gontai sambil memegangi dadanya. Teman dibelakangnya segera mendekap sinden yang sempoyongan agar tak jatuh. Temannya yang dekat segera menaruh saron lalu memapah sinden agar duduk dan rebahan di jalan raya beraspal. Rekannya lainnya segera memberi minum air putih. Yang lainnya berkeliling mencari siapa yang menaruh mercon itu. Sampai radius sepuluh meter mereka telisik, tak menemukan indikasi apapun.
Dari jarak 20 meter Gati menyakasikan kejadian itu tanpa ekspresi apapun. Ia meninggalkan tempat itu seperti tidak ada kejadian apapun.
Sampai ramadhan menginjak malam-malam turunnya Lailatul Qadar, sudah sepuluh lebih rombongan pengamen gamelan yang jadi korban petasan. Dengan lokasi berbeda. Meski korban tak sampai luka berat, polisi mendapat pengdaduan masyarakat mengenai hal ini. Baik perorangan maupun dari rombongan pengamen. Maklumlah selamai ini kota gaplek adem tentram, jauh dari berisik apapun. Apalagi kekacauan. Kota kecil, sepi tetapi aman sejahtera. Letusan petasan memang terdengar selama bulan puasa tetapi terbatas pada bunyi petasan cabe rawit. Petasan besar memang dilarang dan kerap di- razia polisi. Praktis ga bakal ditemukan petasan berbunyi nyaring. Aneh jika sampai terdengar bunyi petasan sangat nyaring seperti buatan Gati.
Pelarangan petasan berlaku semua jenis, termasuk petasan bumbung dari karbit. Tidak ada ukuran yang mengatur sampai batas berapa desibel yang diperbolehkan, memang jarang sekali petasan karbit lantang bunyinya. Ada satu dua memang, dan itu sudah dideteksi polisi dan sudah mendapat peringatan dari polisi sehingga tak terdengar lagi suaranya.
Stasiun TV segera mengulasnya. Tentu saja ini mangsa empuk untuk diolah jadi umpan balik kepada pemirsa. Dengan enteng media audiovisual ini menjuluki penyulut dan atau pembuat petasan bersuara paling nyaring ini dengan sebutan “bomber”.
“Namun yang menjadi perhatianpolisi adalah modus si bomber. Dari 12 korban si bomber, semuanya rombongan pengamen yang sindennya banci. Tetapi tidak pernah masuk laporan dari rombongan pengamen yang sindennya perempuan asli. Padahal dalam kurun waktu tersebut banyak juga pengamen gamelan membawa sinden perempuan asli keliling kota sampai jam 2 dini hari dan aman. Karena itulah pengamen dengan sinden banci mengadukan hal itu kepada polisi.”
Demikian kata penyiar TV swasta, yang kemudian mewawancarai salah satu kepala rombongan pengamen gamelan yang jadi korban sampai 3 kali.
Salah kami dimana ? kalo sinden kami wadam, ya memang itu yang kami punya. Dulu kami punya sinden wanita. Asli. Sekarang dia jadi sinden di kota besar, dia sukses berkat didikan kami. Banyak didikan kami yang akhirnya berlabuh di kota lebih besar. Tinggallah begini stok kami dan kami pun semakin tua. Mereka yang mikul gamelan ini murid kami. Yang jadi penerus kami. Mereka belajar tanpa bayar, laha darimana kami dapat uang kalo tidak ngamen ? memang biasanya kami ditanggap tetapi di bulan romadlon ini, tangggapan sepi. Terpaksa kami keliling kota. Ngamen. Buat makan. Kami ini menghibur. Kalo tidak suka hiburan kami, ya sudah jangan nanggap . jangan nonton atau dengerkan. Tapi jangan menggaggu kami. Sekarang kami tak bisa ngamen lagi karena sinden-2 kami takut semua. Lha kami makan apa ?”
Masyarakat mulai gemas. Kegemasan sampai ke telinga walikota. Wakil walikota menegur kapolres. Polisi menyisir kota bahkan sampai pinggir-2 dan pelosok desa luar wilayah kota. Hasilnya nihil.
Polisi menugaskan reserse untuk menyamar sebagai niyaga. Bersama rombongam pengamen gamelan dan sinden banci para reserse keliling kota. Jelamg sahur tampaknya bomber ga bakal nongol. Dua reserser mengawal sampai batas kota. Iring-iringan berhenti untuk saling salaman “perpisahan”. Sinden bilang minta ijin pingin kecing. Udah ga tahan, katanya. Mereka semua mendengarnya lalu berkelakar supaya lihat-2 kalo kencing. Jangan sampai menginjak ranjau yo Jo, Pahijo, seru temannya sambil tertawa. Sinden menghilang ke balik semak-semak untuk kencing. Dua menit kemudian teman meneriaki. Udah belum Jo, kok lama ? Uwis, yo lama, kan aku ga pakai celana laki-2 yang gampang bukanya, seru sinden. Semua tertawa.
Sinden muncul dari semak-2 dan jaraknya ke tempat rombongannya kumpul sekitar sepuluh meter. Sinden muncul dan bercanda. Hai, katanya sambil melambaikan tangan. Sebagian orang-2 menengok ke arah sinden. Termasuk salah satu reserse dan ia curiga pada semak kecil atau onggokan dedauan dua meter di depan sinden. Ia perhatikan dengan seksama. Dari dalam onggokan itu jelas hitam karena ggelap tetapi masih tertangkap mata reserse ada percikan api kecil. Otaknya seketika reaksi. Ia berteriak memperingatkan sinden yang sudah melangkah.
Jo, awas di depanmu !
Sinden langsung bereaksi, mau loncat menjauhi onggokan. Tapi terlambat. Petasan meletus kencang. Blaaaarrr !
Dua reserse segera meloncat untuk mencari pelaku. Mereka menyebar sementar yang lain menolong sinden. Bomber raib ditelan bumi.
Dua reserse dan orang-2 di situ tidak tahu bahwa bomber segera kabur begitu selesai menaruh petasan yang sudah tersulut dan menutupinya dengan dedauan yang baru dipetiknya. Waktu sekian detik cukup untuk menghilang bagi siapapun yang sudah kenal medan.
Kebiasaan Wiasang Gati selepas ashar adalah duduk di rerumputan di bawah pohon mangga yang rindang. Dekat musholla. Kadang mendengar suara anak-2 mengaji menentramkan batinnya. Setidaknya ingat waktu ecil dia juga begitu. Bapaknya menyerahkan dirinya kepada ustad kampung bernama Zen untuk belajar ngaji. Waktu itu klas 4 SD. Gati menurut saja, apalagi di sekolah ada pelajaran agama dan bu gurunya sering nanya soal bacaan surat-2 Al Quran. Bu guru nawari les dan Gati ikut. Tahap-2 belajar membaca Al Quran ia jalani dengan lancar dan baik. Mulai dari Iqra 1 hingga Iqra 6, klas 4. Terus lanjut baca ayat tapi tersendat lantaran Gati tak semangat, mungkin batinnya bergejolak setelah bapaknya membawa ibu baru. Gati jadi malas, ogah lakukan apa saja. Sekolah sering telat, sering mbolos. Saat itulah Bapaknya menyerahkan Gati kepada ustad untuk dididik supaya tak malas lagi.
Rupanya ustad paham apa yang menganggu pikiran bocah asuhannya itu. Ia buat program istimewa setelah mempelajari latar belakang dan karakter Gati. Miirip pesantran tapi boleh pulang. Maksudnya jika tidak ada kegiatan belajar baca ayat-2 terserah Gati mau pulang ke rumahnya sendiri atau ke rumah ustad. Ustad masih muda, sudah beristri tapi belum dikaruniai anak. Kamar disediakan oleh ustad. Kalau toh berada di rumah ustad tidak harus belajar baca Quran. Belajar baca ada waktunya. Tetapi memang selalu dianjurkan supaya memanfaatkan waktu senggang untuk buka Al Quran. Ternyata Gati lebih sering pulang ke rumah ustad, menginap juga di sana. Bisa 4 hari dalam sepekan.
Mengapa ustad mau ketempatan ? Jelas bukan karena Gati adalah anak orang kaya. Bapaknya memang cukup kaya waktu itu. ia punya suzuki cary baru. Tapi sering pergi sama ibu barunya Gati. Ustad bukan tipe orang materialis meski bapak Gati memberi biaya pendidikan lebih dari cukup kalo ustad minta. Tidak. Ustad minta sesuai tarip. Sama dengan anak didik lainnya. Kalau toh menginap di rumahnya, karena permintaan istrinya. Kilah ustad. Ustad melihat Gati anak baik dan penuh bakat. Tetapi yang memperihatinkan ustas adalah ejolak batinnya. Ia kesepian, papar ustad kepada bapak Gati. Terutama setelah Gati mendengar kelakar teman-2 bapaknya yang mengatakan ibunya jadi sinden keliling. Kalau lihat atau dengar rombonan bawa gamelan untuk ngamen, coba amati. Jangan-2 emakmu sindennnya, seloroh rekan kerja bapaknya, sesama niyaga.
Sayang tak lama Gati nyantrik kepada ustad. Cuma setahun tapi sempat khatam. Klas 5 Gati pindah kampung. Mobilnya dijual untu beli rumah di sebelah rumah bude Pademo.








3 Tantangan Genting


Seperti biasa bagda ashar, Gati nyantai di bawah pohon dekat mushola.
Enak ya, Gat, ngadem di bawah pohon. Sapa Budi Setiajid, yang kemudian terkenal dengan panggilan Buset.
Iyalah, AC alam in, Bud. Balas Gati.
Meski tidak pernah gaul sama pemuda lebih tua tiga tahun ini tapi tahu siapa Buset. Ia anak kampung timur dan agak jauh dari kampungnya ini. Ia jebolan STM Listrik, tapi drop out klas 2 semester akhir. bukan hanya level sekolah namanya moncer tapi hampir semua kampung di sekitar situ mengenalnya sebagai pemuda bandel yang suka bikin ulah, termasuk berantem. Dan kareanya ia disegani hampir semua pemuda sekota. Meski kelakuannya suka nyrempet-2 bahaya tapi kesantunan tetap ia jaga. Ia tak pernah meremehkan siapapun karena prinsipnya berkawan menghasilkan daripada bermusuhan. Bagi Buset, jadi jagoan tak ada gunanya jika tak menghasilkan. Analoginya mungkin sejajar dengan bodyguard, satpam atau pembunuh bayaran. Tapi ia tak pernah memproklamasikan ciita-2 ingin bergerak dalam bisnis kekerasan meski kelakuannya cenderung mengiiring dirinya terjun dalam bisnis yang lebih mengandal otot dari pada akal,
Buset duduk bersila di atas rumput dan bersandar pada pohon.
Kowe sekarang moncer, jal. Terkenal. Masuk TV, bomber...waa....penge bom ! ujar Buset.
Kok sampean tahu, itu aku ?
Ayolah, sopo lek ora kowe. Ga ada orang yg bisa bikin mercon ahsyat kecuali kamu. Enggak, enggak, enggak akan kulaporkan polisi.
Sampean pasti punya maksud,datang ke sini.... todong Gati tanpa tedeng aling2.
Ajak bisnis kowe.
Bisnis ? aku rung paham begituan,
Golek duit mau enggak ?
Tergantung caranya. Ujar Gati datar. Ia tahu Buset bisa melakukan apa saja yang penting dirinya untung. Lebih ngawur dari dirinya sendiri.
Gini, bocah seberang kali kulon kae, sumbar petasan bumbung mereka paling hebat, aku tantang taruhan. Memang aku bukan ahlinya, kan ada kamu. Piye, sepakat ?
Aku ga mau taruhan.
Lho kenapa? Ini bukan judi. Permainan biasa, kayak lari, adu cepat. Siapa cepat dia dapat,
Aku ga punya uang.
Ayolah, kowe itu anake wong sugih, ga seperti aku, kere.
Hm, dulu mungkin ya. Nyatanya aku sudah lama ga pegang duit,
Yo wis aku yang taruhan.
Tapi petasan bumbung. Tergantung wadahnya, kalo kuat, bisa bunyi gelegar.
Ala, pakai cara kamu ajalah, mercon pakai obat bubuk.
Bunyi beda. Petasan bumbung suaranya berat, mercon nyaring tapi cempleng.
Bikin saja, obatnya dibanyakin, ga bakal ketahuan. Mereka ga bakal tahu kamu. Mereka tahunya aku dan bunyi. Mereka merka tak mensyaratkan musti berhadapan. Yang penting bunyi petasan kita terdengar mereka. Ayolah, ini tentangan buat kamu. Masak begini saja ga bisa.
Gati berpikir keras. Aku pikir dulu cara buatnya, besok sampean ke sini, baru aku tahu mau penuhi tantangan atau tidak. Tapi aku ga punya duit lho.
Berarti nanti kalau menang kamu ga dapat duit taruhan.
Ga papa, aku ga suka taruhan kok.
Guyon-guyon, aku bercanda, kamu tetap dapat bagian kalau kita menang.
Gati memang tidak omong kosong. Ia sudah punya bayangan bagaimana membuat petasan bumbung dengan daya letusan dahsyat. Tapi musti dicek dulu apakah masih ada ga alatnya. Esok harinya setelah menyelesaikan pekerjaan rumah ia pergi ke lokasi untuk konfirmasi alat petasan bumbung. Ternyata barang ada. Pipa besi cukup tebal walau berkarat. Gati heran pipa berdiamater 15 cm lebih dan panjang 6 meter itu dulunya bekas buat apa, karena salah satu ujungnya ditutup besi. Tinggal ia periksa tingkat kesulitannya untuk melubangi batangnya. Beruntunga Gati, sekilan dari ujung pipa yang buntet alias tertutup ada bagian yang rapuh. Mau bolong karena berkarat. Tinggal dipukul pakai betel (pahat umtuk logam) .Tak perlu pakai las.
Sore Budi Setiajit datang dan bawa karbit juga. Kaget juga Gati. Kok sampean yakin aku bisa mendapatkan alat itu, sampai sampean siapkan karbit segala.
Buset tertawa. Aku tahu kowe ga bakal omong sembarangan,...kamu orannya bisa dipercaya, ga asbun, asal bunyi.
Berarti sampean udah bilang menerima tantangan ke kubu anak-anak sebeang kali ? Buset mengangguk. Sudah kuserahkan uang taruhan kepada preman yang kami tunjuk sebagai juri. Mereka juga menyerahkan uang,
Berapa ?
500 ribu ,
Gila sampean, lah kalo alatnya macet atau kita kalah bagaimana ?
Dunia ini penuh spekulasi. Bukan penuh sandiwara. Sandiwara, basa-basi memang biasa tapi bisa kalah dari spekulasi, ujar Budi berspekulasi
Gati mengajak Buset jalan kaki ke persawahan dengan arah tenggara. Sengaja tak lewat jalan biasa, sengaja lewat belakang. Mereka melintasi dua tiga sawah dan tegalan. Rupanya Gati memang fasih dengan liku-liku jalan setapak menuju lokasi sehingga lekas sampai tanpa keliru arah sekali pun.
Mereka sampai di belakang bangunan tua bermenara yang berfungsi sebagai cerobong. Tanpa bantuan linggis, mereka bisa masuk pabrik tanpa melobaangi tembok. Mereka memanjat pohon ceremai untuk sampai di atap sebuah rumah tetangga dekat lokasi. Gati wanti-2 kepada Buset supaya jangan menginjak genteng tetapi menginjak tembok tepi atap sampai di bangunan tua bekas pabrik mie. Sebagian besar atap seng bekas pabrik mie ini sudah rusak dan terkuak karena usia dan hujan angin selama bertahun-2. Untuk turun ke dalam bangunan, mereka tidak perlu tangga, cukup terjun saja karena di bawahnya banyak gabah melimpah hampir memenuhi ruangan. Buset heran, buat apa dan bagaimana sekam bisa sebanyak ini.
Nanti pulangnya bagaimana ? ga ada tangga untuk naik kembali, kata Buset agak cemas.
Beda lagi jalanya, sahut Gatii. Kita keluar melalui menara. Kita naik naik menara cerobong, menyisiri tepi atap sampai tembok pinggir sawah tadi, tak ada pohon satu pun untuk turun. Kita terjun ke sawah.
Kan belepotan ?
Iyalah, jadi bagaimana ? lanjut ga ?
Lha iya, wong wis sampai sini, dibatalkan pun teteap saja baliknya lewat cerobong lalu terjun juga.
Pinter...., kata Gati.
Sampailah mereka di ruangan besar yang posisinya di bawah menara cerobong. Gati mengajak Buset masuk ruangan di mana pipa besi tergeletak. Buset terpana melihat sarana petasan bumbung mereka. Gat, ni sih meriam jaman belanda, komen Buset. Gati minta Buset bantu memindahkan ”meriam” ke posisi dengan moncong menghadap luar ruangan. Supaya suara letupan tidak bergema dan balik ke arah kita, Gati menjelaskan.
Selama melakukan penyiapan meriam mereka ngobrol.
Ini bekas pabrik apa Gat ?
Pabrik mei telor. Di situ masih banyak kertas label untuk ditempel di kemasan. papar Gati. Milik babah no – sebetulnya pendirinya Nio Kian Bie. Meningggal dua tahun silam, istrinya masih ada.
Bangkrut ?
Ga tahu. Tapi yang kutahu, ruangan banyak sekam tadi, itu kan menonjol, areanya kan melangggar wilayah tanah orang, mbah Harjo. Ga tahu apa ada yg ngomporin atau enggak, mbah Harjo mengklaim area kamar sekam tadi sebagai wilayah miliknya. mBah menggugat ke pengaddilan. Itu terjadi sebelum aku pindah sini. Keduanya sudah wafat dan tanah ini jadi sengketa. Om Nio, anaknya, memilih nutup pabrik dan membiarkan tanah itu jadi sengketa.
Kok kamu tahu.
Dari cerita orang-2.
Di kampungmu.
Ya, termasuk dari Om Nio sendiri.
Kamu kenal?
Putrinya temanku SD.
Kamu main sama putri Giok ?
Ya kenapa ?
Kok mau ? Gati menatap tajam. Iya, kok mau anak perempuan kaya gaul sama anak macam kamu, meski kamu kaya tapi potonganmu kan anak kampung. Sama seperti aku. Meski ga pernah ketemu, pasti putri Giok itu perempuan modis.
Sampean memandang orang berteman karena pakaian atau karena ada maunya, kayak sampean terhadapku. Begitu kan ?
Klakep mulut Buset.
Temenmu tinggal di pabrik ini ?
Di rumah sebelah pabrik ini. Ada jalan ke sana. Dulu aku ke sini lewat lorong, dari rumahnya, yang terletak di jalan raya itu.
Berarti mereka ada dong di sekitar sini ?
Tidak. Mereka ke Surabaya tadi pagi sampai lebaran. Sekalian periksa kesehatan nenek Nio. Jam berapa kita sulut ?
Mungkin sebentar lagi. Kita dengar letusan mereka dulu, baru kita bom mereka. Ha...ha..ha.... mereka nembak sekitar lima menit sebelum buka.
Gati mengambil tangkai bambu kecil yag di sambung agar panjang dimana ujung terikat kaleng pendek. Ia menaruh karbit sebesar eteempol kaki , lalu menyiapkan botol aqua bekas yang berisi air. Tangkai kecil lain dari ranting pohon sepanjang semeter dengan ujung kain yang diikat untuk menyulut meriam telah siap dekat meriam. Gati mengambl botol aqua lain yng berisi minyak tanah.ia buka tutupnya lalu ia tuang minyak tanah ke ujung tangkai berombal itu.
Aku ulang sekali lagi ya, jalur keluar dari sini, kata Gati datar tapi serius kepada Buset.
Dari sini kita lari ke menara, naik lalu loncat ke atap pabrik. Kita menyusuri tepi atap sampai tembok itu. lalu kita terjun ke sawah. Dari situ kita berpisah. Terus bergerak sampai ketemu jalan raya aku ga mau sampean ngikuti aku terus. Kita harus berpisah. Dan jangan lupa, membasuh kaki yang belepotan lumpur di kali kecil di situ, yang aku tunjukin kemarin.
Mengapa kita tidak bersembunyi di sini saja,...di dalam cerobong misalnya. Aku bawa bekal buat buka. Teh manis dan singkong kukus.
Jangan ambil resiko sedikitpun. Lebih-2 bersembunyi di dalam cerobong. Di situ ada gas beracun.
Sok tahu, celetuk Buset,
Aku pernah mengalaminya. Waktu itu SD klas 5 dan belum lama kenal sama Theresia Mei atau aslinya Nio Mei Ling, pertama kali aku ke pabrik tua ini diajak main sama Mei dan tergoda untuk memasuki cerobong. Mei ga mau maka aku sendiri naik meski sudah diperingatkan Ning. Sampai di atas cerobong aku lihat pemandangan sawah-sawah yang terhampar menguning karena mau panen. Lalu aku turun melalu tangga sampai dasar. Belum lama aku berdiri di dasar cerobong tiba-2 cerobong goyang dan bergetar lalu bergerak, ya cerobong itu berubah jadi roket. Dan meluncur naik. Ya cerobong itu jadi roket dan terus naik. Lalu aku ndeprok mungkin karena sempoyongan. Meski pening aku berusaha berdiri dan melihat ke atas karena aku mendengar suara Mei memanggilku, sempat kulihat Mei menyusulku sampai atas cerobong tapi cuma melongok ndak berani turun. Ia memanggil namaku berkali-kali sampai aku tidak sadar. Tahu-2 aku dipanggul engkong Nio keluar dari cerobong. Aku masih ingat engkong memanggulku sampai atas cerobong lalu papanya Mei menyambutnya dan ganti memanggulku menuruni cerobong lalu aku tak sadar lagi. Tahu-2 sudah di kamar Ning di kerumuni semua keluarga Nio. Ada nenek Nio, mamanya Mei, yang memberiku minum. Ga sampai setahun kemudian, engkong wafat karena sakit apa, ga tahu. Yang jelas di usia sepuh, engkong masih sehat dan kuat memanggaulku.
Mei Ling itu cantik ya ?
Gati memelototi Buset. Lalu terdengar suara dentum. Blar. Berarti anak-2 seberang kali sudah menembakkan meriam mereka. Ah ga seberapa, guman Gati.
Gati memberi bulatan kapas dua buah kepada Buset. Jaga-2 gendang telingamu agar tak sampai robek. Kata Gati sambil memberi contoh dengan menyumpal telinganya dengan kapas.
Gati menuang air ke dalam kaleng berisi karbit yang terikat di ujung tangkai panjang. Karbit dan air bereaksi dan segera terlihat isi kaleng keruh dan mendidih. Baunya busuk. Mereka berdua pelan-2 memasukkan tangkai berujung kaleng isi karbit itu ke dalam pipa meriam lalu menutup lubang meriam dengan berbagai gombal sampai rapat,
Siap ? tanya Gati semenit kemudian.
Buset mengangguk sambil menyalakan korek api. Ranting dengan gombal berminyak tanah yang dipegang Gatii terbakar seperti obor kecil.
Buset menarik kain yang menyumpal lubang kecil di ekor meriam dan segera menjauh.
Sekali lagi Gati menatap Budi Setiajid dan dibalas Buset dengan anggukan. Obor kecil diarahkan ke lubang kecil tadi lalu ....BLAARR !
Bunyinya luar biasa dahsyat samppai merontokkan atap dan menggetarkan tembok bangunan tua.
Gati seketika mengajak Buset kabur tanpa lupa memggaet kembali semua bawaan yang sudah disatukan Gati ke dalam satu tas plastik. Mereka berlari kencang, Gati ga mau ambil resiko. Ia minta Buset di depan agar bisa mengawasi kalau Buset benar-benar tak sampai tertinggal. Mereka berlari dan meloncat melintasi cerobong, menyisir tepi atap lalu terjun dari tembok pabrik ke sawah. Gati memastikan Buset membasuh kakinya di kali pengairan sawah. Lalu berpisah setelah saling berpesan.
Lari terus. Kalo ketemu rumah atau jalan, jangan lari, pesan Gati.
Buset mengacungkan jempol sambil berpesan , subuh besok ia ke tempat dekat mushola sepeti biasa.
Adzan subuh berkumandang, Gati sudah nongkrong di bawah pohon mangga seperti. Setelah jamaah sudah pulang semua dan mushollan sepi, Budi Setiajid muncul, langsung saja menyodorkan uang 50 ribu kepada Gati. Tapi Gati menolaknya. Buat sampean saja.
Ayolah, kita memang sudah selayaknya berbagi.
Gati tersenyum.
Yo wis. Sekali lagi aku tawarin kowe untuk pergi bersamaku ke Batam. Aku punya saudara. Kita bisa numpang nginap di sana. Aku yang biayai semuanya
Gati cuma tersenyum.
Daripada di sini, laopo ? sekolah enggak, luntang-luntung, mending golek gawe ke Batam.


4 Bomber Dibawa Polisi


Polisi makin gencar memburu bomber. Pengaduan masyarakat cukup tinggi. Tentu saja walikota berang mendengar berita TV yang jelas-2 ngunggulkan bomber yang berarti menafikan aparat keamanan.
Hantu bomber makin gentayangan, makin tak tersentuh aparat keamanan. Ulah membom pabrik mie membawa korban seorang nenek harus dilarikan ke rumah sakit di Surabaya untuk mendapat , perawatan lebih intensif. Bukan itu saja, dampak ledakan sampai mengakibatkan kaca-2 cendela dan pintu pecah berantakan. Tembok-2 retak. Belum lagi atapnya.
Demikian siaran TV yang membuat Gati galau. Lalu ditayangkan keadaan pabrik yang memang porak poranda sejak dulu. Gati geram sama stasiun TV yg demen mendramaisir. Benarkah nenek Nio sampai dilarikan ke Surabaya gara-2 ulahnya menyulut petasan karbit racikannya ? Ia datangi rumah Keluarga Nio, tapi Theresia Ningrum memang pergi ke Surabaya. Makin galau hati Gati.
Ia pulang ke rumah bude Pademo. Mau ngaso, tiduran sebentar di lincak ruang tengah. Tapi tak jenak sama sekali. Ganti posisi, Gati duduk. Mikir mau ngapain enaknya. Ia setel TV. Cuma sebentar lalu dimatiin. Kenapa Le ? tanya bude Pademo yang tiba-2 muncul di belakang Gati. Enggan ia menjawab bude.
Gati mau keluar rumah. Mungkin ngadem di bawah pohon mangga dekat musholla bisa menyejukkan pikiran yang sumpek. Tapi bude mencegahnya. Ia menyuruh Gati duduk di dipan tempat bude Pademo bersantai meluruskan kakinya. Walau malas , Gati menurut. Ia selalu sungkan untuk membantah bude.
Kowe kepikiran opo tho, Le, tanya bude Pademo. Semula Gati diam saja, menunduk dan tetap murung. Dengan sabar bude Pademo menunggu. Gati mau buka suara ga jadi. Ngomong saja, keluarkan uneg-2mu sama bude. Jangan takut salah. Kalo toh umpama apa yang kamu omong itu keliru atau aneh. Kamu enggak perlu malu. Kamu ikut bude berapa tahun, Le ? Apa bude pernah marahi kamu, menyalahkan kamu ? Apa yang jadi beban pikiranmu ? Kalo kamu utarakan kan lega, siapa tahu bude biasa bantu.
Setelah diam sejenak baru Gati buka suara. Nenek Nio, bude.
Nenek Nio kenapa ? Dia memang sudah sepuh, wajar kalo dibawa ke Surabaya. Di sana perlatan dokter lebih komplit. Terus kenapa ?
Gati cuma menunduk tak berani menatap bude Pademo.
Nenek Nio sakit gara-2 petasan karbit kata TV, bude.
Tersentak bude Pademo mendengar penuturan Gati. Ia juga mendengar berita itu tapi tak disebutkan jenis petasan karbit atau apa. Mengapa anak ini dengan mantap menyebut petasan dari karbit. Jangan-2 dialah pembuatnya, dan berarti juga Gati-lah si bomber yang bikin geger sekota.ia menatap Gati dengan penuh selidik. Bude Pademo memang menyimak berita heboh itu yang menyebut korbannya sinden grup pengamen yang khusus banci. Karena bude diam, Gati mendongak untuk menatap bude Pademo.
O, jadi kowe prihatin mengapa nenek Nio sampai jadi korban ? ujar bude Pademo sembari balas menatap Gati. Gati tidak menjawab tapi tidak menyanggah juga.
Begini Le, bude tidak tahu maunya orang-2 nyumet mercon itu apa. Siapapun yang bakar mercon karbit tentu tak bermaksud buruk, sengaja mencelakan nenek misalnya. Mungkin si pelaku mengira pabrik itu kosong dan jauh dari rumah yang dihuni orang sehingga sampai makan korban. Ini pelajaran buat kita semua ya Le, masih bagus yang jadi koran itu orang lain, bukan siapa-2 bagi kita. Kowe khususnya. Coba bayangkan Le, umpama kowe jadi pelaku – sebut saja kowe si bomber, kowe yang nyumet mercon karbit, dan yang jadi korban nenekkmu sendiri, nenek yang kamu sayangi, apa nggak tambah sedih kowe.
Gati ibaratnya kena smes bude Pademo.
Lalu soal sinden itu Le, masih untung yang jadi korban itu orang lain, yang kowe tak kenal siapa sinden itu. Coba bayangkan dia itu emakmu sendiri ! kamu sedih atau marah, Le ? atau dua-2nya, sedih dan marah ?
Kali ini bukan Cuma smeh yang dilancarkan bude Pademo melainkan jab kiri kanan yang beruntun menghajar mukanya.
Makin muram si bomber alias Gati.
Setelah beberpa saat, Gati memberanikan diri bertanya. Bude, boleh aku bertanya tapi mungkin pertanyaanku ini menggelikan atau bahkan tidak pantas.
Silakan, Le. Ndak apa-2. Pantas tidaknya kan menurut kacamata masing-2 orang. Menurut kowe tidak pantas, menurut bude biasa-2 saja.
Emak sayang enggak bude, sama Gati ?
Bude tidak kaget karena suatu saat pasti akan dipertanyakan Gati.
Kowe mempertanyakan karena emakmu ninggalkan kowe begitu ? Gati mengangguk. Gati, kita tidak tahu alasan emakmu mengapa ningalkan kamu. Bapakmu juga ninggalkan kamu, bukan berarti tidak sayang sama kamu. Bapakmu cari uang dan terbukti memberi kamu uang. Untuk biaya hidup. Makan dan sekolah, lewat aku. Sekarang memang bapakmu tidak kirim uang, mungkin rejekinya lagi seret. Ora duwe duit. Coba lihat bude sendiri. Kadang punya uang banyak, bisa beri kamu dan dulur-2mu lauk enak. Kadang lauk tahu tempe karena ga ada uang. Sama dengan bapakmu, Le.
Tapi emak ? apa buktinya emak sayang sama aku?
Bude yakin, emakmu sejak dulu sayang kowe, anaknya. Buktinya ? ibumu menyusui kamu sampai habis ASInya, 2 tahun ! kalo kamu belum paham seluk beluk ASI, cari tahu. Jangan kamu kira semua ibu mau menyusi anaknya sampai habis susunya. Apalagi artis. Ibumu itu artis laris yang harus menjaga keindahan tubuhnya. Kalo dia menuruti tuntutan kebutuhan wanita untuk menjaga keindahan tubuhnya, ia akan milih menelantarkan kamu, ga perlu nyusui kamu.
Kok aku tahu? Tentu kamu betanya-anya begitu. Bapakmu yang crita. Bapakmu ga pernah bohong. Bude kenal bapakmu sejak SD. Kalau bapakmu itu oragnya mencla-mencle, demen bohong, bude mungkin emoh memperhatikan bapakmu.
Merasa cukup mendapat wejangan bude Pademoa, Gati pamit ke luar untuk cari udara segar.
Bude Pademo berdoa dalam hati, semoga masukan darinya bisa membuka cakrawala pikiran Gati sehingga ia tidak picik dalam bertindak. Namun masih tersisa kekhawatiran dalam hati bude Pademo, Suatu saat pasti Gati akan dengar celoteh orang-2 yang mengatakan sinden itu ibarat bunga kertas yang indah dan bisa dipakai bergantian oleh orang yang beda. Suatu saat ia akan dengar kisah tentang penari tayub. Suatu saat ia akan menginjak usia yang cukup untuk mencari tayuban. Entah pertanyaan rumit apalagi yang akan menggelayuti pikirannya kelak.
Gati duduk selonjor di rerumputan di bawah pohon manggs yang rindang. Angin semilir yang menyejukkan mengundang kantuk. Namun pikiran Gati masih gamang. Terlalu banyak bayangan hitam yang menyerang pikirannya, menyisakan kotoran yang membuat Gati resah. Kalau perempuan pisah dari suaminya, mau apa lagi kalau bukan cari suami lagi untuk hidup, cari makan. Apakah emak akan seperti itu.
Emakmu itu wanita terhotmat Le, camkan itu, kata bude Pademo. Itulah yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Tadi pun diulang lagi. Makanya kamu harus selalu berdoa untuk emak – bapakmu. Supaya dimudahkan segalanya, dimudahkan rejekinya. Siapa tahu rejeki emakmu bagus terus ingat kamu, lantas mencarimu ke sini. Berdoalah mohon kepada Gusti Allah agar senantiasa menjaga bapak – ibumu tetap di jalan yang benar dalam segala hal, terutama mencari rejeki. Berdoalah Le, berdoalah....kamu sekarang ga pernah sholat. Kenapa Le ? kalau kaowe ga sholat bagaimana kamu mendoakan emak-bapakmu, Le?
Sampai beberapa kali muncul wajah bude dengan segala petuahnya sampai ia tertidur di bawah pohon rindang itu.
Gati terbangun geragapan, entah gara-2 mimpi lagi atau apa. Ia merasa seseorang menepuk pahanya agar bangun. Ia tengok kemana-mana namun tak nampak siapa-2. Terdengar adzan berkumandang. Gati duduk termenung. Lama-2 lafal adzan menggugah memorynya. Jam segini biasanya ia bersama-sama teman-2 sebaya lainnya berlari ke langgar untuk sholat berjamaah disambung belajar ngaji. Tapi itu empat tahun silam waktu rumahnya masih di Kebonsari Kulon sana.
Sekarang mengapa tidak sholat tapi puasa? Gati tak bisa menjawab pertanyaan dari dirinya sendiri itu. Hati kecilnya menyalahkan dirinya sendiri. Gara-gara jengkel lantaran banyak hal sejak pindah ke kampung ini, eh bukan sejak bapak membawa ibu baru, eh sejak ibu baru menghilang lagi lalu bapak juga pergi, ah lupa aku sejak kapan aku malas sholat. Betul, memang aku jengkel pada nasibku yang tak kunjung berubah. Buat apa sholat jika tak membawa perubahan apapun. Malah lebih apes. Demikian gejolak batin Gati.
Gati berdiri dan berniat pulang untuk bersih-2 rumah bude seperti biasa sebelum mandi, kemudian jalan-2 ke pertokoan untuk cuci mata seperti biasa. Lalu cari mangsa , barangkali masih tersisa sinden banci yang keliaran. Tiba-2 teringat omongan bude pademo. Coba bayangkan emakmu yang jadi sinden, kowe sedih atau marah ?
Langkah Gati terhenti oleh anak kecil yang menghalangi jalannya. Mas, temeni aku ke musholla, ajak bocah laki-laki bernama Soni Abdullah (8 th). Gati hanya tersenyum dan tetap mau melangkah. Mas ga bisa sholat ? tanya Soni. Gati diam saja. Aku juga belum lancar doanya tapi emakku memaksaku untuk ke musholla belajar ngaji. Iqra juga plegak-pleguk, mas sekarang mau kemana ?
Pulang.
Aku ikut mas Gati aja, daripada ke mushollah jadi enthung, Yuk mas, ke rumah mas, ajak Soni sambil menggandeng tangannya.
Gati tak segera menuruti ajakan anak kecil itu sebab kepalanya serasa mau pecah. Ia jengkel kepada Tuhan. Jangkrik, umpatnya. Ya Tuhan mengapa Engkau kirim iblis cilik untuk menggoda diriku agar lebih tersesat lagi jalan hidupku. Aku sudahh merasa bersalah atas diri nenek Nio lantaran ulahku, kinipun aku Kau kirim setan ini untuk mengajakku menyesatkan diri. Engkau tahu aku sulit menolak permintaan siapapun. Aku menuruti kemauan Budi Setiajid yang akhirnya membawa korban nenek Nio. Aku mau saja disuruh bapak agar sudi memakan makanan apapun dari ibu tiriku yang jelas sering tidak enak. Kini anak ini ajak aku untuk bersama-sama menjauhi ibadah. Begitukah caraMu bekerja Tuhan ? kau beri hambaMu ini godaan agar pelanggaranku makin paarah dan makin “enak” bagiMu untuk menghajarku dengan jutaan dera. Itukah mauMu ya Tuhan ?
Mas, ayo jalan, kata bocah itu sambil menyentak tangan Gati agar melangkah.
Tidak, aku mau ke mushola, tandas Gati.
Lho, katanya...., protes si bocah yang dibalas Gati dengan gelengan kepala dan merentangkan tangan tangan kanan menunjuk musholla.
Mas, bisa sholat bisa ngaji ?
Gati mengangguk lalu ganti menarik tangan bocah untuk mengikutinya ke musholla.
Sampai di mushollah, anak-2 yang biasa bermain dengan Gati segera menyambut dengan hangat. Iqamat dikumandangkan. Salah satu anak memberi sarung inventaris meushollah kepada Gati. Usai sholat berjamaah, Gati pindah duduk ke belakang untuk baca doa.
Kebiasaan di kampung situ usai sholat Ashar, lanjut belajar ngaji. Ustad muda Emir Wahono, mengajak murid-2nya duduk di shaf agak belakang dan mulailah belajar iqra. Gati mau pulang. Ia beringsut mundur tapi Soni memberi isyarat dengan tangan agar jangan pulang. Tapi Fati berkeras mau pulang, tetap mundur. Soni berdiri mau ikut. Terpaksa Gati batal pulang dan duduk dekat mereka yang belajar baca Al Quran.
Giliran Soni diminta melafalkan Surat Insyiriah, Ustad banyak menegur untuk memperbaiki cara bacanya. Tiba-2 ia berdiri, menghampiiri Gati untuk menajaknya pulang.
Ayo mas pulang, aku ga bisa ngaji, salah melulu.
Soni, ga boleh begitu, kata Gati. Emakmu pasti marah kalau tahu kamu ngambek kaya gitu. Begini, begini, mas ajarin, tutur Gati setelah kasih isyarat ustad untuk minta ijin. Ustad mengangguk. Gati menggiring Soni kembali ke tempatnya semula.
Dengan pelahan dan sabar Gati menjelaskan cara bacanya. Alam nasyrah laka sod-dek-rok, lihat tanda di tas ini. Kalau nafasku kuat, terusin. Tapi harus fasih dulu kelanjutnya apa. Jangan di hafal ya, ayo ulangi pelahan, .... Soni mengulang membacanya. Dan seterusnya sampai selesai satu ayat.
Ternyata bukan Soni yang minta dipandu Gati, semuanya minta. Gati merasa ga enak ati. Ia memandang ustad Emir dan ternyata malah mengacungkan jempol. Jadilah Gati menuntun semua bocah untuk belajar membaca surat Quran. Usai ngaji Ustad Emir minta Gati membantu dirinya saban sore untuk mengajar ngaji anak-2.
Gati mengaku dirinya baru khatam sekali belum pantas untuk mengajar iqra. Tetapi menurut Ustad. Tak perlu risau. Kekurangan Gati adalah kekurangan kita semua. Karena belum lama jam terbang. Tapi aku selalu di sana, tetap mendampingi. Kelebihan kamu adalah kamu dicintai anak-2, kamu disukai mereka. Kehadiranmu di ini menyegarkan semangat belajar mereka.
Maka selama dua hari saban sore Gati ikut ngaji bersama anak-2 di musholla. Gati juga senang disukai anak-2. Dan ini tak dinyana-nyana. Sampai pada sore berikutnya, dua hari menjelasng sholat iedul fitri, polisi menjempitnya di depan musholla selesai ngaji. Anak-2 ribut. Tidak terima Gati dibawa polisi, dengan alasan apapun. Terpaksa beberapa polisi turun mengamankan jalannya penangkapan. Komandan regu minta bantuan ustad untuk menenangkan anak didiknya. Saya sama sekali tidak menghendaki cara jemput paksa, kata komandan. Tidak baik kalao dilihat anak-2. Sebisa ustad sajalah bagaimana merayu muridmu, toh tetap anak ini kami bawa ke kantor polisi.
Ustad Emir kelabakan. Ia ke rumah bude Pademo, yang kemudian juga bingung. Siapa yang akan mengurus bocah ini. Suaminya sakit tua. Anak sulungnya di Surabaya, tugas akhir sekolah pelayaran. Dia sendiri tak mungkin mondar-mandir rumah-kantor polisi karena masalah usia dan ekonomi. Bapaknya Gati masih hidup tapi tidak ada yag tahu bagaimana dan dimana menghubunginya. Kamitua kampung itu juga tidak bisa mutusin kecuali minta tolong ustad Emir mengurus masalah ini. Karena masih muda.
Ustad Emir bersedia mengurusnya tapi minta ijin mau istirahat dulu karena sudah larut malam. Ustad dan siapapun warga kampung itu bisa tidur di rumahnya masing-2 sementara Gati hanya bisa ketap-ketib matanya di sel tahanan polisi kota gaplek. Tak ada yang tahu atau membayangkan nasibnya besok bagaimana. Jangka pendek atau jangka panjang.
Bagda ashar berlangsug rapat di rumah orang tua Soni Abdullah untuk membahas tindak lanjut perkara Gati. Selain tuan rumah yang ikut aktif karena didesak Soni, anaknya, agar bantu menolong Gati, hadir ustad Emir, Ustad Zen dari desa Kebonsari Kulan, kampung asal Gati. Hadir juga sesepuh kampung serta Om Nio, ahli waris satu-2nya bekas pabrik mie. Ia hadir akrena alasan yang sama. Putrinya. Theresia Mei Ling, merengek minta dia mengurus perkara Gati.
Begitu mendenganr selentingan kabar bahwa Gati ditangkap polisi, Theresia Mi Ling segera menemui bude Pademo untuk mencari kebenaran berita itu. Bude Pademo membenarkan berita itu sambil mengeluh siapa yangg akan mengurus perkara ati. Mei langsung pulang secepatnya, Sepeda ontel merk terkenal ia kayuh sekuatnya supaya lekas sampai di rumah, dan begitu sampai ia meneruskan critanya dengan menangis tersedu di depan papa, mama, dan neneknya.
Tuduhan pertama, menciptakan kebisingan yang mengakibatkan orang lain jadi korban meski termasuk paling ringan. Meningat korban lika tidak parah, kerugian material tak seberapa. Tetapi tuduhan kedua yang berat, pencurian. Ia dituduh terlibat pencurian sejumlah besi bekas di pabrik mie yang mengakibatkan kerugian materii mencapai jutaan rupiah, demikian Ustad Emir memaparkan hasil kunjungannya ke kantor polres tadi pagi.
Peserta rapat sama sekali tak mengira perkara Gati sampai menjalar ke kriminal.
Akibatnya uang jaminan untuk mengeluarkan Gati cukup besar, khususnya bagi keluarga Gati, kata ustad Emir.
Maaf Pak Ustad, apakah itu semua sudah atau bisa terbukti? Tanya om Nio.
Saya juga sempat menanyakan hal itu. Terbukti jika tersangka lain, yang sudah kami tahu identitasnya dapat kami tangkap secepatnyam kata polisi. Tersangka kabur, diperkirakan ke Batam.
Ustad Emir melihat gejala kenakalan Gati, lebih2 mengarah ke kriminal , pada diri Gati, akan terus melekat atau..., tanya bapaknya Soni yang memimpin rapat.
Memang saya baru mengenal Gati dalam beberapa hari ini, tutur Emir. Tapi saya yakin ia anak baik. Ia lumayan fasih baca Quran untuk seusia dia, dengan latar belakang seperti itu. Maaf saya bukan menjelekkan, maksud saya latar belakang nya tergolong rumit, itu saya ketahui setelah ngobrol banyak dengan bude Pademo yang selama ini mengasuh Gati.
Biasa saja anaknya, kata bude Pademo. Sama seperti anak lain, cuma dia lebih rajin, suka bantu saya. Bersih-2 rumah dan jualan kue. Ga pernah saya tegur, apalagi memarahi. Ya karena tidak perlu. Hanya saja belakangan ini ia hatinya gundah setelah mendengar berita TV yang mengatakan nenek Nio sakit dan dibawa ke Surabaya gara-2 bunyi petasannya. Sejak itu kata bude, ia selalu muram.
Om Nio mendongak mendengar penuturan Emir. Karena ibunya tidak apa-2 setelah letusan petasan. Ia kaget memang sebab kenyataannya kebetulan ibunya sedang berada di kamar mandi waktu meletus petasan karbit itu. Kamar mandi di rumah memang tertutup rapat, nyaris kedap. Suara apa itu, gempa tah? Tanya ibunya sekeluar dari kamar mandi. Fakta ini diutarakan Om Nio.
Om Nio, boleh saya tanya sedikit, kata bapaknya Soni. Memang benar nilai besi bekasang dicuri sebesar itu?
Om Nio tersenyum. Itu kan taksiran. Orang boleh memasksir barapa saja.
Tapi kan ada patokannya, Om, sahut salah satu sesepuh,
Sekarang begini ya, kata Om Nio. Saya punya besi tua sekian ton. Harga jual pasaran tiga ribu per kilo. Harga besi tua tidak stabil. Harga hari ini bisa berbeda jauh dar harga besok. Mau saya, besi laku sesuai harga pasaran. Tapi kenyataannya pasti mereka tawar, belum ongkos angkut dan calo. Beratnya pun belum tentu benar. Saya periksa besi tua pabrik yang hilangm ternyata tak seberapa. Sekuat berapa kilo membawa besi tua dari pabrik kecuali lewat depan lho.pakai truk.
Tapi berapapun yang hilang, bila terbukti, bisa kena sanksi, ujar sesepuh Wignyo Narasoma yang rupanya paham hukum. Sanksi kan tak pandang nilai barang. Orang nyuri sendal jepit saja bisa dihukum penjara.
Sesepuh minta konfirmasi moral Gati waktu kecil kepada ustad Zen yang saat ini sudah berusia 40 lebih dan telah dikaruniai putra. Ahmad Herucokro, 5 th. Namanya. Waktu Gati nyantrik di rumahnya dulu, Zen hanya berdua sama istrinya di rumah.
Selama ikut kami, tidur di rumah – meski kadang pulang ke rumahnya, Gati tak menunjukkan gelagat anak nakal. Ia penurut, pendiam tetapi bukan pemalu. Tutur katanya halus dan ga pernah mencuri. Di rumah kami, saya dan istri sering ceroboh. Menaruh uang sembarangan, misalnya. Tidak banhyak sih. Paling ribuan, lima ribuan. Anak seumur itu biasanya suka jajan dan ia akan minta sangu (bekal uang secukupnya sebelum berangkat seolah) kepada orang tuanya. Bapaknya kaya waktu itu tapi jarang kasih uang. Bukan pelit tetapi mungkin tak sempat bangun pagi atau gimana. Sering ke sekolah Gati tak bawa uang sepeserpun. Kalau bawa kebetulan bapaknya bangun pag ataui karena mau pergi. Kami berdua kerap menanyakan apakah dibekali uang. Gati sering menggelneg kepala. Jika kami beri sangu ia tak mau. Kami sayang sekali sama Gati. Mencuri jelas mustahil, menurut saya. Sampai sekarangGati tetap kayak dulu. . Saya berani jamin itu.
Kalau kenakalan nyulut petasan, saya kira karena jiwanya sedang labil saja. Tambah ustad Zen.
Akhirnya rapat memutuskan untuk mengutus tim pembebasan, dengan ketua Wignyo Narasoma. Winyo dan ustad Emir jadi duta nego. Lainnya e nunggu di luar kantor polisi dan siap beri dukungan resmi sebagai penjamin moral Gati. Dana disiapkan, jika minta terlalu tinggi, lebih baik saya panggil teman-2 pengacara untuk menangani langkah ini, ujar Wignyo. Saya yakin bukti materilnya lemah, tandas sesepuh berusia enam puluhan itu. Om Nio menawarkan diri sebagai penyandang dana. Bapaknya Soni bilang akan bantu pendanaan. Tim berangkat sore itu juga dengan dua mobil, punya Om Nio dan bapaknya Soni.
Aparat minta dua juta. Wignyo menolak keras setelah menyerahkan kartu namanya. Alasannya, Gati tak punya wali. Aparat menyebut rumahnya bisa digadaikan atau dijual. Digadaikan? Bapak yang mau bayar cicilan utangnya, kata Wignyo, Bisa saja dijual, bapak yang bel ? Atau bapak sudah menemukan calon pembelinya ? cecer Wignyo beruntun.
Sekarang begini sajalah, kami keberatan kalo segitu, bahkan separo saja keberatan, saya tak akan mengajukan tawaran apa2. Sekali lagi saja bapak berikan angka, kami akan setuju atau tidak, kalau tidak saya bisa siapkan tim pembela. Nih kartu nama lama saya, kata Wignyo sambil menyerahkan kartu nama firmanya. Wignyo Herucokro, SH dan Rekan, Biro Bantuan Hukum.
Aparat menyodorkan angka, Wignyo menggeleng. Akhirnya tercapai kesepakatan. Gati keluar sore itu. Dana 400 ribu diberikan Om Nio dan tak mau dibantu Bapaknya Soni. Saya masih ada, simpan saja pak atau buat dana pancingan biaya sekolah anak ini, siapa tahu yang lain terus ikutan beri santuanan, kata Om Nio.
Gati keluar dari sel dan segera memeluk dua ustad sambil menangis. Lalu berucap alhamdulillah. Tak lupa ia memberi salim kepada semuanya.
Gati, kowe masih ada rumah di sana, di kampung kelahiranmu. Kamu sekarang punya adik, mak Siti selalu menanyakanmu Le, main ke sanalah ? kata Ustad Zen. Gati memeluk ustad dan menagis lagi. Ustad Zen membelai rambutnya lalu menepuk pundaknya.
Azan magrib berkumandang. Sejam kemudian takbir terdengar setelah pemerintah mengumumkan besok hari raya Iedul Fitri. Bude Pademo dan suami serta dua anaknya dan Wisang Gati berkumpul bersama di depan TV.
Kowe ga ikut takbir Le, Gati ? tanya Bude Pademo. Ayo berangkat Gat, ajak Gito, putra bude Pademo yang setahun lebiih tua dari Gati. Gati menyambut ajakanya dengan senyum dan menggelengkan kepala.
Pak, njenengan sholat Ied ora ? Yen ora, sajadah-e ben dinggo Gati.
Ora, katanya datar,
Aku bimbing Pakde, ya. Pelan-2...atau aku bisa pinjam becak kang Diman, kata Gati bersemangat.
Pinjam, pinjam enake, terus dia ga cari duit apa ? celetuk Dyah Utami, putrinya bude Pademo yang SMA.
Terdengat suara perempuan permisi dan mengetuk pintu. Theresia Mei Linh bertamu. Ia membawa tiga set sajadah, 2 baju muslim dan 2 kopiah hitam beludru, serta 1 mukena buat Dyah.
Baju ini dari nenek buat Gati, kataTheresia.
Terim kasih, nduk. Nenek bagaimana setelah periksa di Surabaya, tanya Bude Pademo.
Iya, ga apa-2, nenek ke Surbaya kan memang waktunya periksa, chek up. Tidak sakit apa-2 kok. Hasilnya baik.
Bisa jalan, tanya Gati.
Bisa lah, dari dulu juga bisa jalan, kamu jangan salah sangka. Nenek ga perna sakit, apalagi sakit parah. Kamu kapan main ke rumah ?
Gati tertegun, bingung mau jawab apa.
Besok, jawab bude Pademo. Gati memalingkan wajah untuk menatap bude. Pulang dari sholat ied, kamu sungkem sama sesepuh dan tetangga, teman-teman, siang kan bisa ke sana to, Le? Kata bude.
Iya, besok siang, Mei, kata Gati. Duduk dulu kenapa ?
Terima kasih, ditunggu mama papa di mobil. Kapan-2 papa mama sowan kemari, bude. Oh ya, ada bingkisan nih, kata Theresia Mei Ling lalu keluar sebentar untuk mengambil kantong plastik berisi makanan.
Ini lotong cap gomeh, bisa buat besok sehabis acara sholat di lapangan. Selamat hari taya ya semuanya. Mohon maaf lahir batin.