1 Rindu Emak
Wisang Gati termasuk
remaja kreatif. Banyak akal untuk membuat suatu karya sepele
sekalipun. Ya cuma untuk sekedar main. Yang penting menyenangkan
hatinya. Bukan hanya dirinya yang girang, anak-anak atau sebaya ,
juga suka menikmati karya permainnya. Misanya ia pernah membuat
bunyi-bunyian dari batang pohon pepaya. Pepaya baru berbuah ditebang
Gati. Batangnya yang berdiameter disandarkan dan diikat pada pohon,
sebuat saja pohon. Setelah batang pohon pepaya dirasa berdiri kokoh,
Gati mengambil pelepah kelapa yg mirip kain saringan berwarna coklat.
Ditaruhnya di di bagian atas batang pepaya yang bolong itu lalu
diikatnya. Dahan-2 kering ia kumpulkan dan dlletakkan digalian di
bawah batang pepaya lalu ia bakar. Setelah jadi api, keluar asap
lewat lubang batang pepaya. Bukan itu saja. “cerobong” paya ini
menghasilkan suara mendengung. Tidak kencang suaranya tapi bunyinya
kayak suara parau klakson kapal dan cukup membuat anak-anak
tercengang.
Di waktu yang lain ia
buat layang-layang besar. Sebut saja layang-layang ikan atau
ular-ularan yang dipasang senar goni supaya menghasilkan bunyi
soangan namanya. Gati memang suka bermain dengan siapa saja
sekaligus saling menghibur. Diri sendiri maupun anak-anak. Maklum
Gati bertahun-tahun hidup berdua dengan ayahnya, niyaga (penabuh
gamelan) pengendang. Ia selalu rindu kehadiran orang lain selain
ayahnya. Andai bisa merumuskan keinginannya atau mau curhat tentu ia
akan bilang “aku mendambakan adik. Laki atau perempuan.”
Tetapi apakah itu saja
dambaannya ? Tidak , ia merindukan seorang emak, ibu. Bisa jadi ia
belum sampai rindu belaian dan kasih sayang seorang ibu karena memang
belum pernah merasakannya. Atau mungkin lupa. Sebab menurut bude
Pademo, emaknya pergi ke Malaysia saat ia berusia dua tahun. Bude
Pademo adalah tetangganya yang kerap diminta tolong abapaknya untuk
merawat Gati. Setiap kali ia pergi keluar atau pun da;am kota untuk
ikut rombongannya, grup gamelan, sang pengendang selalu menitipkan
Gati kepada tetangganya, bude Pademo.
Daya ingat Gati
termasuk lumayan. Umur lima tahun bapaknya membawa ibu baru ke
rumahnya. Kok yakin umur segitu ia punya ibu baru yang muda sekali ?
karena waktu ibu baru mengantarkan ke sekolah TK karena orang-2
meledeknya dengan bertanya, mbakyumu kok ayu banget. Semua tahu, aku
anak tunggal. Gak punya mbak, batin Gati. Bapaknya jarang di rumah,
otomatis kedekatannya dengan sang bapak bisa dihitung dengan jari
satu tangan tiap bulan. Tapi kedekatanya dengan ibu tirinya lebih
parah. Cuma berhubungan jika memberinya makan seperti menyodorkan
sepiring nasi berlauk kepada pembeli di warung. Masih mending di
warung, pembeli ditanya makan apa. Baginya diiberi makan dengan nasi
tanpa tercemar “karak” (nasi kering) sudah baik. Padahal ibunya
itu masaknya banyak di rice cooker. Tapi kenapa nasi yang kering
diikut sertakan ?
Cuma beberapa tahun
ibu muda merawat Gati. Ibu mudanya memang sering bepergian dengan
bapaknya. Pakai mobil. Ia sering sendir pengasuh yang lebih parah
dari ibu tirinya. iKlas 3 SD Gati sudah tak melihat ibu tirinya lagi.
Ia pergi dan tak kembali. Klas 5 ia [indah ke lain kampung, masih
satu kota, kota gaplek karena terkenal penghasil singkong dan gaplek.
Kini Gati telah SMP.
Gara-gara snetron remaja Gati pengin tahu figur emaknya kayak apa.
Kayak ibu tirinya dulu yang baru sekarang sadar m setelah nemu
fotonya di gudang -- bahwa ia memang cantik molek. Atau kayak
bude Pademo yang gembrot dan kulitnya jauh dari halus – cir ikhas
biasa orang hidup pasa-2an yg milih makan daripada ngadi saliro.
Atau seperti artis seleb yang kerap digosipkan cepat ganti pacar ?
Emakmu itu wanita
terhormat, perempuan baik-baik, kata bude Pademo. Walau berasal dari
keluarga miskin kayak bude ini. Asal emakmu dari daerah selatan sana,
Laut Kidul. Mbahmu nelayan atau apa bude juga ga ngerti. Tapi bakat
emakmu luar biasa sehingga di usia muda sudah moncer namanya ke
mana-mana sebagai sinden. Sama dengan ibu tirimu dulu. Emakmu tidak
pergi ke Malaysia. Bude dulu bohong karena kowe masih terlalu kecil,
nanti nanya ga karuan yang ga bisa bude jawab.
Tapi mungkin beda ya
bude. Bu tiri kan ninggalin bapak lantaran digoda ki dalang. Emak kan
tidak seperti itu ya ?
Lha pertanyaan gini
ini yang bude tidak suka dan sulit menjawabnya. Bude Pademo menarik
nafas panjang. Begini Le, mbesuk kowe akan paham kalo hidup di dunia
ini sangat tidak mudah, terutama bagi wanita seperti emakmu, bude dan
lainnya. Untuk menopang hidup, wanita butuh laki-laki. supaya hidup
lebih mudah. Yang laki cari duit. Yang perempuan ngurus rumah dan
anak-anak. Pakde semakin tua dan tak kuat lagi macul di sawah, maka
bude yang cari nafkah. Jual gorengan pisang pisang, singkong, ubi dan
tahu. Kadang-kadang bikin kacang goreng dan peyek yang sering kamu
edarkan ke warung-2 itu. Kadang cukup buat makan sebulan buat
berenam, termasuk kowe. Kadang di cukup-2kan sehingga kowe tahu
sendiri makan nasinya sedikit lauknya sambel. Kalo bapakmu kasih
duit, memang lauknya lumayan tapi terus terang tetap bude tekan
suppaya hemat, kelebihan uang bapakmu buat biaya sekolah kowe. Nah
karena bapaknya sejak setahun lalu ga kasih duit dan pergi kemana
Bude juga ga tahu, terpaksa bude ga bisa bayar SPP sekolahmu. Bude
ditagih terus tapi akhirnya kowe sendiri memutuskan untuk tidak
sekolah.
Bakat emakmu hebat.
Rejekinya pun bagus. Sebagai sinden Ia ditanggap nyinden kemana-mana,
ikut pagelaran wayang ke kota-kota. Emakmu kaya. Yang beli rumah
sebelah rumah bude ini hasil dari emakmu. Bapakmu yang crita. Kamu
kan tahu sendiri asalmua dari desa Kebon Sari Kulon, beberapa kilo
dari sini. Sejak lahir sampai klas 5 SD lalu pindah ke sini. Emakmu
pergi waktu kamu umur 2 tahun, pas waktunya nyapih kowe (menghentikan
nyedot ASI).
Lalu bapakmu kawin
sama murid asuhnya sendiri, sinden muda. Cuma dua tahun, ibutirimu
pergi. Pindah ke mari gara-2 orang-2 olok-2 kowe , mengatakan ibumu
sekarang sinden jalanan, ngamen di jalan-2 karena ikut suami yang
kepala grup ngamen.
Bagian ini yang
menyakitkan Wisang Gati.
2 Masa Kelabu Bomber
Masih melekat dalam
ingatan Wisang Gati, kelakar teman-2 rombongan grup tayup bapaknya
waktu dirinya masih SD, belum sunat. Le, kalo cari emakmu gampang.
Amati rombongan ngamen di jalan yang bawa gemelan gong, kenong,
saron, kendang. Kali-kali sindennya mbokmu....ha...ha..ha... Gati tak
mengerti maksud kelakar itu.
nDak mungkin to Man,
sinden top merkotop mau sama bos rombongan sak upil.
Lho jangan meremehkan.
Sekarang yang penting bisnis. Jangan lihat omsetnya saja. Tapi
ceperannya dihitung juga. Ha...ha...ha.... Ceperanya lebih besar dan
bisa berapa kali.....ha...ha...ha...
Jelas mereka para
niyaga itu sedang mabuk minuman botol cap Kuntul.
Namun yang menamcap
dalam benak Wisang Gati adalah rombongan ngamen bawa gamelan. Setelah
SMP ia baru tahu bahwa di kota memang sering terlihat rombangan kecil
membawa gamelan seperti gong suwakan, kendang, kenong, saron penerus,
kadang-2 rebab, disertai satu dua sinden. Yang mencolok , sindenya
genit. Belakangan Gati tahu dan membuatnya geram. Sindennya wadam
alias banci ! Gati tidak atau belum tahu bahwa ada rombongan yang
lebih besar kerap ditanggap orang-2 kaya. Grup tayub. Kadang sinden
merangkap penari tayub.
Kekecewaan ini begitu
mendalam sehingga berubah manjadi kebencian. Ia benci jika rombonan
kecil pengamen membawa sinden banci. Tapi sebaliknya jika mereka
ngamen dengan sinden wanita asli, Gati bisa betah berjam-jam menimati
sajian tembang mereka. Sesungguhnya bukan tembang atau penampilan
mereka yang mempesonakan Gati. Ia bisa menemukan sosok figur emaknya.
Sayang sekali, malah
banci yang muncul. Rusak semua sendi-2 imajenasi Gati. Kecewa dan
marah bersatu dalam dada Gati. Bingung menemukan sasaran kemarahan,
Gati ingat petasan. Manusia-2 ini perlu diberi pelajaran.
Bukti kelebihan Gati
bisa dilihat dari hasil karyanya: petasan bersuara terkencang dari
semua petasan di pasaran ! Embuh belajar darimana, Gati bisa membuat
kertas pembungkus mesiu jadi sangat keras, tidak lembek seperti
petasan yang dijual bebas. Di pencet sekuatnya pun, ga bakal
gelondongan kertas itu cekung atau melesak ke dalam. Kerasnya petasan
buatan Gati bisa dibandingkan dengan kertas gelondongan untuk
mencetak ketikan kalkulasi.
Gati tahu dimana
mendapatkan mesiu untuk petasan. Dengan uang seharga nasi bungkus
sudah dapat mesiu cukup bagi Gati untuk membuat beberapa petasan
super“ guna menghajar” sinden palsu. Kertas sumbu dari pedagang
mesiu tetap ia pakai tetapi disambung dengan kertas rokok. Jika
disulut bara api akan merambat pelan. Baru sampai ke sumbu aslinya
bara cepat menjalar. Hitungan detik petasan meletus. Kecepatan
manjalar bara sumbu kertas rokok sudah dites Gati beberapa kali.
Tujuan Gati cuma mlampiaskan kegeraman, bukan untuk melukai. Maka
selalu ia letakkan petasan di tempat yang jauh dari kerikil atau
benda-2 keras yang bisa terlempar akibat letusan. Dampak letusan
adalah kaget tetapi tak sampai terluka. Gati sama sekali tak
memperhitungan jantung ! maklum masih remaja SMP.
Wisang Gati
melakukannya sendirian. Setelah buka ia pergi ke dekat tengah kota
atau pemukiman di kota. Dengan jalan kaki. Selama jalan ia berharap
jumpa dengan targetnya. Dari jauh bisa dipastikan target atau bukan.
Rombongan kecil pengamen yang jadi terget biasanya menenteng
petromax. Setelah dekat baru bisa dipastikan dengan bawaan mereka,
apakah membawa gamelan atau tidak. Sinden asli biasanya ogah jalan
didepan tapi kalau sinden imitasi biasanya jalan de depan. Dengan
langkah gagah bak serdadu.
Memang kalau jalan
searah Gati agak repot karena harus bisa menyalip mereka. Tapi
biasanya ketolong oleh keaadaan, rombongan ditanggap atau sengaja
berhenti di tempat dimana banyak orang berkerumunan seperti warung.
Orang-2 terhibur dengan penampilan banci. Justru kegelian itulah yang
mereka beli.
Wisang mencari selalu
cepat mendapatkan tempat tersembunyi untuk menaruh petasan.
Tersembunyi dan strategis. Agar api yang merambati sumbu tak terlihat
oleh target .
Malam itu Wisang Gati
menaruh petasan sebesar jari telunjuk di cekukan pohon asam besar di
tepi jalan. Suasana kota kecil penghasil gaplek malam itu masih
sepi, di samping memang kota sepi karena tidak stategis di dalam
peta. Perekonomiannya kurang maju. Orang-orang masih pada tarawih.
Iring-2an pejalan kaki bergerak mendekati pohon asam dimana petasan
mengancam. Laki-2 berpakaian tradisional membawa gong suwakan, saron
penerus, kendang, kenong. Yang ditengah bawa petromax. Sinden banci
terdepan dengan langkah tegap, meski bila lewat keramaian langkah
berubah jadi lenggak-lenggok seperti langkah “macan luwe”.
Beberapa meter
menjelang pohon asam mereka berjalan biasa saja, sama sekali tak tahu
dan tak menyangka petasan di belakang pohon asam sudah tersulut, siap
menyambut mereka. Begitu langkah sang sinden hendak melewati pohon
asam besar....blaaar ! meletuslah petasan dengan kencang. Sinden
terjengkang mundur karena kaget. Ia berdiri gontai sambil memegangi
dadanya. Teman dibelakangnya segera mendekap sinden yang sempoyongan
agar tak jatuh. Temannya yang dekat segera menaruh saron lalu memapah
sinden agar duduk dan rebahan di jalan raya beraspal. Rekannya
lainnya segera memberi minum air putih. Yang lainnya berkeliling
mencari siapa yang menaruh mercon itu. Sampai radius sepuluh meter
mereka telisik, tak menemukan indikasi apapun.
Dari jarak 20 meter
Gati menyakasikan kejadian itu tanpa ekspresi apapun. Ia meninggalkan
tempat itu seperti tidak ada kejadian apapun.
Sampai ramadhan
menginjak malam-malam turunnya Lailatul Qadar, sudah sepuluh lebih
rombongan pengamen gamelan yang jadi korban petasan. Dengan lokasi
berbeda. Meski korban tak sampai luka berat, polisi mendapat
pengdaduan masyarakat mengenai hal ini. Baik perorangan maupun dari
rombongan pengamen. Maklumlah selamai ini kota gaplek adem tentram,
jauh dari berisik apapun. Apalagi kekacauan. Kota kecil, sepi tetapi
aman sejahtera. Letusan petasan memang terdengar selama bulan puasa
tetapi terbatas pada bunyi petasan cabe rawit. Petasan besar memang
dilarang dan kerap di- razia polisi. Praktis ga bakal ditemukan
petasan berbunyi nyaring. Aneh jika sampai terdengar bunyi petasan
sangat nyaring seperti buatan Gati.
Pelarangan petasan
berlaku semua jenis, termasuk petasan bumbung dari karbit. Tidak ada
ukuran yang mengatur sampai batas berapa desibel yang diperbolehkan,
memang jarang sekali petasan karbit lantang bunyinya. Ada satu dua
memang, dan itu sudah dideteksi polisi dan sudah mendapat peringatan
dari polisi sehingga tak terdengar lagi suaranya.
Stasiun TV segera
mengulasnya. Tentu saja ini mangsa empuk untuk diolah jadi umpan
balik kepada pemirsa. Dengan enteng media audiovisual ini menjuluki
penyulut dan atau pembuat petasan bersuara paling nyaring ini dengan
sebutan “bomber”.
“Namun yang menjadi
perhatianpolisi adalah modus si bomber. Dari 12 korban si bomber,
semuanya rombongan pengamen yang sindennya banci. Tetapi tidak pernah
masuk laporan dari rombongan pengamen yang sindennya perempuan asli.
Padahal dalam kurun waktu tersebut banyak juga pengamen gamelan
membawa sinden perempuan asli keliling kota sampai jam 2 dini hari
dan aman. Karena itulah pengamen dengan sinden banci mengadukan hal
itu kepada polisi.”
Demikian kata penyiar
TV swasta, yang kemudian mewawancarai salah satu kepala rombongan
pengamen gamelan yang jadi korban sampai 3 kali.
Salah kami dimana ?
kalo sinden kami wadam, ya memang itu yang kami punya. Dulu kami
punya sinden wanita. Asli. Sekarang dia jadi sinden di kota besar,
dia sukses berkat didikan kami. Banyak didikan kami yang akhirnya
berlabuh di kota lebih besar. Tinggallah begini stok kami dan kami
pun semakin tua. Mereka yang mikul gamelan ini murid kami. Yang jadi
penerus kami. Mereka belajar tanpa bayar, laha darimana kami dapat
uang kalo tidak ngamen ? memang biasanya kami ditanggap tetapi di
bulan romadlon ini, tangggapan sepi. Terpaksa kami keliling kota.
Ngamen. Buat makan. Kami ini menghibur. Kalo tidak suka hiburan kami,
ya sudah jangan nanggap . jangan nonton atau dengerkan. Tapi jangan
menggaggu kami. Sekarang kami tak bisa ngamen lagi karena sinden-2
kami takut semua. Lha kami makan apa ?”
Masyarakat mulai
gemas. Kegemasan sampai ke telinga walikota. Wakil walikota menegur
kapolres. Polisi menyisir kota bahkan sampai pinggir-2 dan pelosok
desa luar wilayah kota. Hasilnya nihil.
Polisi menugaskan
reserse untuk menyamar sebagai niyaga. Bersama rombongam pengamen
gamelan dan sinden banci para reserse keliling kota. Jelamg sahur
tampaknya bomber ga bakal nongol. Dua reserser mengawal sampai batas
kota. Iring-iringan berhenti untuk saling salaman “perpisahan”.
Sinden bilang minta ijin pingin kecing. Udah ga tahan, katanya.
Mereka semua mendengarnya lalu berkelakar supaya lihat-2 kalo
kencing. Jangan sampai menginjak ranjau yo Jo, Pahijo, seru temannya
sambil tertawa. Sinden menghilang ke balik semak-semak untuk kencing.
Dua menit kemudian teman meneriaki. Udah belum Jo, kok lama ? Uwis,
yo lama, kan aku ga pakai celana laki-2 yang gampang bukanya, seru
sinden. Semua tertawa.
Sinden muncul dari
semak-2 dan jaraknya ke tempat rombongannya kumpul sekitar sepuluh
meter. Sinden muncul dan bercanda. Hai, katanya sambil melambaikan
tangan. Sebagian orang-2 menengok ke arah sinden. Termasuk salah
satu reserse dan ia curiga pada semak kecil atau onggokan dedauan dua
meter di depan sinden. Ia perhatikan dengan seksama. Dari dalam
onggokan itu jelas hitam karena ggelap tetapi masih tertangkap mata
reserse ada percikan api kecil. Otaknya seketika reaksi. Ia berteriak
memperingatkan sinden yang sudah melangkah.
Jo, awas di depanmu !
Sinden langsung
bereaksi, mau loncat menjauhi onggokan. Tapi terlambat. Petasan
meletus kencang. Blaaaarrr !
Dua reserse segera
meloncat untuk mencari pelaku. Mereka menyebar sementar yang lain
menolong sinden. Bomber raib ditelan bumi.
Dua reserse dan
orang-2 di situ tidak tahu bahwa bomber segera kabur begitu selesai
menaruh petasan yang sudah tersulut dan menutupinya dengan dedauan
yang baru dipetiknya. Waktu sekian detik cukup untuk menghilang bagi
siapapun yang sudah kenal medan.
Kebiasaan Wiasang Gati
selepas ashar adalah duduk di rerumputan di bawah pohon mangga yang
rindang. Dekat musholla. Kadang mendengar suara anak-2 mengaji
menentramkan batinnya. Setidaknya ingat waktu ecil dia juga begitu.
Bapaknya menyerahkan dirinya kepada ustad kampung bernama Zen untuk
belajar ngaji. Waktu itu klas 4 SD. Gati menurut saja, apalagi di
sekolah ada pelajaran agama dan bu gurunya sering nanya soal bacaan
surat-2 Al Quran. Bu guru nawari les dan Gati ikut. Tahap-2 belajar
membaca Al Quran ia jalani dengan lancar dan baik. Mulai dari Iqra 1
hingga Iqra 6, klas 4. Terus lanjut baca ayat tapi tersendat lantaran
Gati tak semangat, mungkin batinnya bergejolak setelah bapaknya
membawa ibu baru. Gati jadi malas, ogah lakukan apa saja. Sekolah
sering telat, sering mbolos. Saat itulah Bapaknya menyerahkan Gati
kepada ustad untuk dididik supaya tak malas lagi.
Rupanya ustad paham
apa yang menganggu pikiran bocah asuhannya itu. Ia buat program
istimewa setelah mempelajari latar belakang dan karakter Gati.
Miirip pesantran tapi boleh pulang. Maksudnya jika tidak ada kegiatan
belajar baca ayat-2 terserah Gati mau pulang ke rumahnya sendiri atau
ke rumah ustad. Ustad masih muda, sudah beristri tapi belum
dikaruniai anak. Kamar disediakan oleh ustad. Kalau toh berada di
rumah ustad tidak harus belajar baca Quran. Belajar baca ada
waktunya. Tetapi memang selalu dianjurkan supaya memanfaatkan waktu
senggang untuk buka Al Quran. Ternyata Gati lebih sering pulang ke
rumah ustad, menginap juga di sana. Bisa 4 hari dalam sepekan.
Mengapa ustad mau
ketempatan ? Jelas bukan karena Gati adalah anak orang kaya. Bapaknya
memang cukup kaya waktu itu. ia punya suzuki cary baru. Tapi sering
pergi sama ibu barunya Gati. Ustad bukan tipe orang materialis meski
bapak Gati memberi biaya pendidikan lebih dari cukup kalo ustad
minta. Tidak. Ustad minta sesuai tarip. Sama dengan anak didik
lainnya. Kalau toh menginap di rumahnya, karena permintaan istrinya.
Kilah ustad. Ustad melihat Gati anak baik dan penuh bakat. Tetapi
yang memperihatinkan ustas adalah ejolak batinnya. Ia kesepian, papar
ustad kepada bapak Gati. Terutama setelah Gati mendengar kelakar
teman-2 bapaknya yang mengatakan ibunya jadi sinden keliling. Kalau
lihat atau dengar rombonan bawa gamelan untuk ngamen, coba amati.
Jangan-2 emakmu sindennnya, seloroh rekan kerja bapaknya, sesama
niyaga.
Sayang tak lama Gati
nyantrik kepada ustad. Cuma setahun tapi sempat khatam. Klas 5 Gati
pindah kampung. Mobilnya dijual untu beli rumah di sebelah rumah bude
Pademo.
3 Tantangan Genting
Seperti biasa bagda
ashar, Gati nyantai di bawah pohon dekat mushola.
Enak ya, Gat, ngadem
di bawah pohon. Sapa Budi Setiajid, yang kemudian terkenal dengan
panggilan Buset.
Iyalah, AC alam in,
Bud. Balas Gati.
Meski tidak pernah
gaul sama pemuda lebih tua tiga tahun ini tapi tahu siapa Buset. Ia
anak kampung timur dan agak jauh dari kampungnya ini. Ia jebolan STM
Listrik, tapi drop out klas 2 semester akhir. bukan hanya level
sekolah namanya moncer tapi hampir semua kampung di sekitar situ
mengenalnya sebagai pemuda bandel yang suka bikin ulah, termasuk
berantem. Dan kareanya ia disegani hampir semua pemuda sekota. Meski
kelakuannya suka nyrempet-2 bahaya tapi kesantunan tetap ia jaga. Ia
tak pernah meremehkan siapapun karena prinsipnya berkawan
menghasilkan daripada bermusuhan. Bagi Buset, jadi jagoan tak ada
gunanya jika tak menghasilkan. Analoginya mungkin sejajar dengan
bodyguard, satpam atau pembunuh bayaran. Tapi ia tak pernah
memproklamasikan ciita-2 ingin bergerak dalam bisnis kekerasan meski
kelakuannya cenderung mengiiring dirinya terjun dalam bisnis yang
lebih mengandal otot dari pada akal,
Buset duduk bersila di
atas rumput dan bersandar pada pohon.
Kowe sekarang moncer,
jal. Terkenal. Masuk TV, bomber...waa....penge bom ! ujar Buset.
Kok sampean tahu, itu
aku ?
Ayolah, sopo lek ora
kowe. Ga ada orang yg bisa bikin mercon ahsyat kecuali kamu. Enggak,
enggak, enggak akan kulaporkan polisi.
Sampean pasti punya
maksud,datang ke sini.... todong Gati tanpa tedeng aling2.
Ajak bisnis kowe.
Bisnis ? aku rung
paham begituan,
Golek duit mau enggak
?
Tergantung caranya.
Ujar Gati datar. Ia tahu Buset bisa melakukan apa saja yang penting
dirinya untung. Lebih ngawur dari dirinya sendiri.
Gini, bocah seberang
kali kulon kae, sumbar petasan bumbung mereka paling hebat, aku
tantang taruhan. Memang aku bukan ahlinya, kan ada kamu. Piye,
sepakat ?
Aku ga mau taruhan.
Lho kenapa? Ini bukan
judi. Permainan biasa, kayak lari, adu cepat. Siapa cepat dia dapat,
Aku ga punya uang.
Ayolah, kowe itu anake
wong sugih, ga seperti aku, kere.
Hm, dulu mungkin ya.
Nyatanya aku sudah lama ga pegang duit,
Yo wis aku yang
taruhan.
Tapi petasan bumbung.
Tergantung wadahnya, kalo kuat, bisa bunyi gelegar.
Ala, pakai cara kamu
ajalah, mercon pakai obat bubuk.
Bunyi beda. Petasan
bumbung suaranya berat, mercon nyaring tapi cempleng.
Bikin saja, obatnya
dibanyakin, ga bakal ketahuan. Mereka ga bakal tahu kamu. Mereka
tahunya aku dan bunyi. Mereka merka tak mensyaratkan musti
berhadapan. Yang penting bunyi petasan kita terdengar mereka.
Ayolah, ini tentangan buat kamu. Masak begini saja ga bisa.
Gati berpikir keras.
Aku pikir dulu cara buatnya, besok sampean ke sini, baru aku tahu mau
penuhi tantangan atau tidak. Tapi aku ga punya duit lho.
Berarti nanti kalau
menang kamu ga dapat duit taruhan.
Ga papa, aku ga suka
taruhan kok.
Guyon-guyon, aku
bercanda, kamu tetap dapat bagian kalau kita menang.
Gati memang tidak
omong kosong. Ia sudah punya bayangan bagaimana membuat petasan
bumbung dengan daya letusan dahsyat. Tapi musti dicek dulu apakah
masih ada ga alatnya. Esok harinya setelah menyelesaikan pekerjaan
rumah ia pergi ke lokasi untuk konfirmasi alat petasan bumbung.
Ternyata barang ada. Pipa besi cukup tebal walau berkarat. Gati heran
pipa berdiamater 15 cm lebih dan panjang 6 meter itu dulunya bekas
buat apa, karena salah satu ujungnya ditutup besi. Tinggal ia periksa
tingkat kesulitannya untuk melubangi batangnya. Beruntunga Gati,
sekilan dari ujung pipa yang buntet alias tertutup ada bagian yang
rapuh. Mau bolong karena berkarat. Tinggal dipukul pakai betel (pahat
umtuk logam) .Tak perlu pakai las.
Sore Budi Setiajit
datang dan bawa karbit juga. Kaget juga Gati. Kok sampean yakin aku
bisa mendapatkan alat itu, sampai sampean siapkan karbit segala.
Buset tertawa. Aku
tahu kowe ga bakal omong sembarangan,...kamu orannya bisa dipercaya,
ga asbun, asal bunyi.
Berarti sampean udah
bilang menerima tantangan ke kubu anak-anak sebeang kali ? Buset
mengangguk. Sudah kuserahkan uang taruhan kepada preman yang kami
tunjuk sebagai juri. Mereka juga menyerahkan uang,
Berapa ?
500 ribu ,
Gila sampean, lah kalo
alatnya macet atau kita kalah bagaimana ?
Dunia ini penuh
spekulasi. Bukan penuh sandiwara. Sandiwara, basa-basi memang biasa
tapi bisa kalah dari spekulasi, ujar Budi berspekulasi
Gati mengajak Buset
jalan kaki ke persawahan dengan arah tenggara. Sengaja tak lewat
jalan biasa, sengaja lewat belakang. Mereka melintasi dua tiga sawah
dan tegalan. Rupanya Gati memang fasih dengan liku-liku jalan setapak
menuju lokasi sehingga lekas sampai tanpa keliru arah sekali pun.
Mereka sampai di
belakang bangunan tua bermenara yang berfungsi sebagai cerobong.
Tanpa bantuan linggis, mereka bisa masuk pabrik tanpa melobaangi
tembok. Mereka memanjat pohon ceremai untuk sampai di atap sebuah
rumah tetangga dekat lokasi. Gati wanti-2 kepada Buset supaya jangan
menginjak genteng tetapi menginjak tembok tepi atap sampai di
bangunan tua bekas pabrik mie. Sebagian besar atap seng bekas pabrik
mie ini sudah rusak dan terkuak karena usia dan hujan angin selama
bertahun-2. Untuk turun ke dalam bangunan, mereka tidak perlu tangga,
cukup terjun saja karena di bawahnya banyak gabah melimpah hampir
memenuhi ruangan. Buset heran, buat apa dan bagaimana sekam bisa
sebanyak ini.
Nanti pulangnya
bagaimana ? ga ada tangga untuk naik kembali, kata Buset agak cemas.
Beda lagi jalanya,
sahut Gatii. Kita keluar melalui menara. Kita naik naik menara
cerobong, menyisiri tepi atap sampai tembok pinggir sawah tadi, tak
ada pohon satu pun untuk turun. Kita terjun ke sawah.
Kan belepotan ?
Iyalah, jadi bagaimana
? lanjut ga ?
Lha iya, wong wis
sampai sini, dibatalkan pun teteap saja baliknya lewat cerobong lalu
terjun juga.
Pinter...., kata Gati.
Sampailah mereka di
ruangan besar yang posisinya di bawah menara cerobong. Gati mengajak
Buset masuk ruangan di mana pipa besi tergeletak. Buset terpana
melihat sarana petasan bumbung mereka. Gat, ni sih meriam jaman
belanda, komen Buset. Gati minta Buset bantu memindahkan ”meriam”
ke posisi dengan moncong menghadap luar ruangan. Supaya suara
letupan tidak bergema dan balik ke arah kita, Gati menjelaskan.
Selama melakukan
penyiapan meriam mereka ngobrol.
Ini bekas pabrik apa
Gat ?
Pabrik mei telor. Di
situ masih banyak kertas label untuk ditempel di kemasan. papar Gati.
Milik babah no – sebetulnya pendirinya Nio Kian Bie. Meningggal dua
tahun silam, istrinya masih ada.
Bangkrut ?
Ga tahu. Tapi yang
kutahu, ruangan banyak sekam tadi, itu kan menonjol, areanya kan
melangggar wilayah tanah orang, mbah Harjo. Ga tahu apa ada yg
ngomporin atau enggak, mbah Harjo mengklaim area kamar sekam tadi
sebagai wilayah miliknya. mBah menggugat ke pengaddilan. Itu terjadi
sebelum aku pindah sini. Keduanya sudah wafat dan tanah ini jadi
sengketa. Om Nio, anaknya, memilih nutup pabrik dan membiarkan tanah
itu jadi sengketa.
Kok kamu tahu.
Dari cerita orang-2.
Di kampungmu.
Ya, termasuk dari Om
Nio sendiri.
Kamu kenal?
Putrinya temanku SD.
Kamu main sama putri
Giok ?
Ya kenapa ?
Kok mau ? Gati menatap
tajam. Iya, kok mau anak perempuan kaya gaul sama anak macam kamu,
meski kamu kaya tapi potonganmu kan anak kampung. Sama seperti aku.
Meski ga pernah ketemu, pasti putri Giok itu perempuan modis.
Sampean memandang
orang berteman karena pakaian atau karena ada maunya, kayak sampean
terhadapku. Begitu kan ?
Klakep mulut Buset.
Temenmu tinggal di
pabrik ini ?
Di rumah sebelah
pabrik ini. Ada jalan ke sana. Dulu aku ke sini lewat lorong, dari
rumahnya, yang terletak di jalan raya itu.
Berarti mereka ada
dong di sekitar sini ?
Tidak. Mereka ke
Surabaya tadi pagi sampai lebaran. Sekalian periksa kesehatan nenek
Nio. Jam berapa kita sulut ?
Mungkin sebentar lagi.
Kita dengar letusan mereka dulu, baru kita bom mereka.
Ha...ha..ha.... mereka nembak sekitar lima menit sebelum buka.
Gati mengambil tangkai
bambu kecil yag di sambung agar panjang dimana ujung terikat kaleng
pendek. Ia menaruh karbit sebesar eteempol kaki , lalu menyiapkan
botol aqua bekas yang berisi air. Tangkai kecil lain dari ranting
pohon sepanjang semeter dengan ujung kain yang diikat untuk menyulut
meriam telah siap dekat meriam. Gati mengambl botol aqua lain yng
berisi minyak tanah.ia buka tutupnya lalu ia tuang minyak tanah ke
ujung tangkai berombal itu.
Aku ulang sekali lagi
ya, jalur keluar dari sini, kata Gati datar tapi serius kepada Buset.
Dari sini kita lari ke
menara, naik lalu loncat ke atap pabrik. Kita menyusuri tepi atap
sampai tembok itu. lalu kita terjun ke sawah. Dari situ kita
berpisah. Terus bergerak sampai ketemu jalan raya aku ga mau sampean
ngikuti aku terus. Kita harus berpisah. Dan jangan lupa, membasuh
kaki yang belepotan lumpur di kali kecil di situ, yang aku tunjukin
kemarin.
Mengapa kita tidak
bersembunyi di sini saja,...di dalam cerobong misalnya. Aku bawa
bekal buat buka. Teh manis dan singkong kukus.
Jangan ambil resiko
sedikitpun. Lebih-2 bersembunyi di dalam cerobong. Di situ ada gas
beracun.
Sok tahu, celetuk
Buset,
Aku pernah
mengalaminya. Waktu itu SD klas 5 dan belum lama kenal sama Theresia
Mei atau aslinya Nio Mei Ling, pertama kali aku ke pabrik tua ini
diajak main sama Mei dan tergoda untuk memasuki cerobong. Mei ga mau
maka aku sendiri naik meski sudah diperingatkan Ning. Sampai di atas
cerobong aku lihat pemandangan sawah-sawah yang terhampar menguning
karena mau panen. Lalu aku turun melalu tangga sampai dasar. Belum
lama aku berdiri di dasar cerobong tiba-2 cerobong goyang dan
bergetar lalu bergerak, ya cerobong itu berubah jadi roket. Dan
meluncur naik. Ya cerobong itu jadi roket dan terus naik. Lalu aku
ndeprok mungkin karena sempoyongan. Meski pening aku berusaha berdiri
dan melihat ke atas karena aku mendengar suara Mei memanggilku,
sempat kulihat Mei menyusulku sampai atas cerobong tapi cuma melongok
ndak berani turun. Ia memanggil namaku berkali-kali sampai aku tidak
sadar. Tahu-2 aku dipanggul engkong Nio keluar dari cerobong. Aku
masih ingat engkong memanggulku sampai atas cerobong lalu papanya Mei
menyambutnya dan ganti memanggulku menuruni cerobong lalu aku tak
sadar lagi. Tahu-2 sudah di kamar Ning di kerumuni semua keluarga
Nio. Ada nenek Nio, mamanya Mei, yang memberiku minum. Ga sampai
setahun kemudian, engkong wafat karena sakit apa, ga tahu. Yang jelas
di usia sepuh, engkong masih sehat dan kuat memanggaulku.
Mei Ling itu cantik ya
?
Gati memelototi Buset.
Lalu terdengar suara dentum. Blar. Berarti anak-2 seberang kali sudah
menembakkan meriam mereka. Ah ga seberapa, guman Gati.
Gati memberi bulatan
kapas dua buah kepada Buset. Jaga-2 gendang telingamu agar tak sampai
robek. Kata Gati sambil memberi contoh dengan menyumpal telinganya
dengan kapas.
Gati menuang air ke
dalam kaleng berisi karbit yang terikat di ujung tangkai panjang.
Karbit dan air bereaksi dan segera terlihat isi kaleng keruh dan
mendidih. Baunya busuk. Mereka berdua pelan-2 memasukkan tangkai
berujung kaleng isi karbit itu ke dalam pipa meriam lalu menutup
lubang meriam dengan berbagai gombal sampai rapat,
Siap ? tanya Gati
semenit kemudian.
Buset mengangguk
sambil menyalakan korek api. Ranting dengan gombal berminyak tanah
yang dipegang Gatii terbakar seperti obor kecil.
Buset menarik kain
yang menyumpal lubang kecil di ekor meriam dan segera menjauh.
Sekali lagi Gati
menatap Budi Setiajid dan dibalas Buset dengan anggukan. Obor kecil
diarahkan ke lubang kecil tadi lalu ....BLAARR !
Bunyinya luar biasa
dahsyat samppai merontokkan atap dan menggetarkan tembok bangunan
tua.
Gati seketika mengajak
Buset kabur tanpa lupa memggaet kembali semua bawaan yang sudah
disatukan Gati ke dalam satu tas plastik. Mereka berlari kencang,
Gati ga mau ambil resiko. Ia minta Buset di depan agar bisa mengawasi
kalau Buset benar-benar tak sampai tertinggal. Mereka berlari dan
meloncat melintasi cerobong, menyisir tepi atap lalu terjun dari
tembok pabrik ke sawah. Gati memastikan Buset membasuh kakinya di
kali pengairan sawah. Lalu berpisah setelah saling berpesan.
Lari terus. Kalo
ketemu rumah atau jalan, jangan lari, pesan Gati.
Buset mengacungkan
jempol sambil berpesan , subuh besok ia ke tempat dekat mushola
sepeti biasa.
Adzan subuh
berkumandang, Gati sudah nongkrong di bawah pohon mangga seperti.
Setelah jamaah sudah pulang semua dan mushollan sepi, Budi Setiajid
muncul, langsung saja menyodorkan uang 50 ribu kepada Gati. Tapi Gati
menolaknya. Buat sampean saja.
Ayolah, kita memang
sudah selayaknya berbagi.
Gati tersenyum.
Yo wis. Sekali lagi
aku tawarin kowe untuk pergi bersamaku ke Batam. Aku punya saudara.
Kita bisa numpang nginap di sana. Aku yang biayai semuanya
Gati cuma tersenyum.
Daripada di sini,
laopo ? sekolah enggak, luntang-luntung, mending golek gawe ke Batam.
4 Bomber Dibawa Polisi
Polisi makin gencar
memburu bomber. Pengaduan masyarakat cukup tinggi. Tentu saja
walikota berang mendengar berita TV yang jelas-2 ngunggulkan bomber
yang berarti menafikan aparat keamanan.
Hantu bomber makin
gentayangan, makin tak tersentuh aparat keamanan. Ulah membom pabrik
mie membawa korban seorang nenek harus dilarikan ke rumah sakit di
Surabaya untuk mendapat , perawatan lebih intensif. Bukan itu saja,
dampak ledakan sampai mengakibatkan kaca-2 cendela dan pintu pecah
berantakan. Tembok-2 retak. Belum lagi atapnya.
Demikian siaran TV
yang membuat Gati galau. Lalu ditayangkan keadaan pabrik yang memang
porak poranda sejak dulu. Gati geram sama stasiun TV yg demen
mendramaisir. Benarkah nenek Nio sampai dilarikan ke Surabaya gara-2
ulahnya menyulut petasan karbit racikannya ? Ia datangi rumah
Keluarga Nio, tapi Theresia Ningrum memang pergi ke Surabaya. Makin
galau hati Gati.
Ia pulang ke rumah
bude Pademo. Mau ngaso, tiduran sebentar di lincak ruang tengah. Tapi
tak jenak sama sekali. Ganti posisi, Gati duduk. Mikir mau ngapain
enaknya. Ia setel TV. Cuma sebentar lalu dimatiin. Kenapa Le ? tanya
bude Pademo yang tiba-2 muncul di belakang Gati. Enggan ia menjawab
bude.
Gati mau keluar rumah.
Mungkin ngadem di bawah pohon mangga dekat musholla bisa menyejukkan
pikiran yang sumpek. Tapi bude mencegahnya. Ia menyuruh Gati duduk di
dipan tempat bude Pademo bersantai meluruskan kakinya. Walau malas
, Gati menurut. Ia selalu sungkan untuk membantah bude.
Kowe kepikiran opo
tho, Le, tanya bude Pademo. Semula Gati diam saja, menunduk dan tetap
murung. Dengan sabar bude Pademo menunggu. Gati mau buka suara ga
jadi. Ngomong saja, keluarkan uneg-2mu sama bude. Jangan takut salah.
Kalo toh umpama apa yang kamu omong itu keliru atau aneh. Kamu enggak
perlu malu. Kamu ikut bude berapa tahun, Le ? Apa bude pernah marahi
kamu, menyalahkan kamu ? Apa yang jadi beban pikiranmu ? Kalo kamu
utarakan kan lega, siapa tahu bude biasa bantu.
Setelah diam sejenak
baru Gati buka suara. Nenek Nio, bude.
Nenek Nio kenapa ?
Dia memang sudah sepuh, wajar kalo dibawa ke Surabaya. Di sana
perlatan dokter lebih komplit. Terus kenapa ?
Gati cuma menunduk tak
berani menatap bude Pademo.
Nenek Nio sakit gara-2
petasan karbit kata TV, bude.
Tersentak bude Pademo
mendengar penuturan Gati. Ia juga mendengar berita itu tapi tak
disebutkan jenis petasan karbit atau apa. Mengapa anak ini dengan
mantap menyebut petasan dari karbit. Jangan-2 dialah pembuatnya, dan
berarti juga Gati-lah si bomber yang bikin geger sekota.ia menatap
Gati dengan penuh selidik. Bude Pademo memang menyimak berita heboh
itu yang menyebut korbannya sinden grup pengamen yang khusus banci.
Karena bude diam, Gati mendongak untuk menatap bude Pademo.
O, jadi kowe prihatin
mengapa nenek Nio sampai jadi korban ? ujar bude Pademo sembari balas
menatap Gati. Gati tidak menjawab tapi tidak menyanggah juga.
Begini Le, bude tidak
tahu maunya orang-2 nyumet mercon itu apa. Siapapun yang bakar mercon
karbit tentu tak bermaksud buruk, sengaja mencelakan nenek misalnya.
Mungkin si pelaku mengira pabrik itu kosong dan jauh dari rumah yang
dihuni orang sehingga sampai makan korban. Ini pelajaran buat kita
semua ya Le, masih bagus yang jadi koran itu orang lain, bukan
siapa-2 bagi kita. Kowe khususnya. Coba bayangkan Le, umpama kowe
jadi pelaku – sebut saja kowe si bomber, kowe yang nyumet mercon
karbit, dan yang jadi korban nenekkmu sendiri, nenek yang kamu
sayangi, apa nggak tambah sedih kowe.
Gati ibaratnya kena
smes bude Pademo.
Lalu soal sinden itu
Le, masih untung yang jadi korban itu orang lain, yang kowe tak kenal
siapa sinden itu. Coba bayangkan dia itu emakmu sendiri ! kamu sedih
atau marah, Le ? atau dua-2nya, sedih dan marah ?
Kali ini bukan Cuma
smeh yang dilancarkan bude Pademo melainkan jab kiri kanan yang
beruntun menghajar mukanya.
Makin muram si bomber
alias Gati.
Setelah beberpa saat,
Gati memberanikan diri bertanya. Bude, boleh aku bertanya tapi
mungkin pertanyaanku ini menggelikan atau bahkan tidak pantas.
Silakan, Le. Ndak
apa-2. Pantas tidaknya kan menurut kacamata masing-2 orang. Menurut
kowe tidak pantas, menurut bude biasa-2 saja.
Emak sayang enggak
bude, sama Gati ?
Bude tidak kaget
karena suatu saat pasti akan dipertanyakan Gati.
Kowe mempertanyakan
karena emakmu ninggalkan kowe begitu ? Gati mengangguk. Gati, kita
tidak tahu alasan emakmu mengapa ningalkan kamu. Bapakmu juga
ninggalkan kamu, bukan berarti tidak sayang sama kamu. Bapakmu cari
uang dan terbukti memberi kamu uang. Untuk biaya hidup. Makan dan
sekolah, lewat aku. Sekarang memang bapakmu tidak kirim uang,
mungkin rejekinya lagi seret. Ora duwe duit. Coba lihat bude sendiri.
Kadang punya uang banyak, bisa beri kamu dan dulur-2mu lauk enak.
Kadang lauk tahu tempe karena ga ada uang. Sama dengan bapakmu, Le.
Tapi emak ? apa
buktinya emak sayang sama aku?
Bude yakin, emakmu
sejak dulu sayang kowe, anaknya. Buktinya ? ibumu menyusui kamu
sampai habis ASInya, 2 tahun ! kalo kamu belum paham seluk beluk ASI,
cari tahu. Jangan kamu kira semua ibu mau menyusi anaknya sampai
habis susunya. Apalagi artis. Ibumu itu artis laris yang harus
menjaga keindahan tubuhnya. Kalo dia menuruti tuntutan kebutuhan
wanita untuk menjaga keindahan tubuhnya, ia akan milih menelantarkan
kamu, ga perlu nyusui kamu.
Kok aku tahu? Tentu
kamu betanya-anya begitu. Bapakmu yang crita. Bapakmu ga pernah
bohong. Bude kenal bapakmu sejak SD. Kalau bapakmu itu oragnya
mencla-mencle, demen bohong, bude mungkin emoh memperhatikan
bapakmu.
Merasa cukup mendapat
wejangan bude Pademoa, Gati pamit ke luar untuk cari udara segar.
Bude Pademo berdoa
dalam hati, semoga masukan darinya bisa membuka cakrawala pikiran
Gati sehingga ia tidak picik dalam bertindak. Namun masih tersisa
kekhawatiran dalam hati bude Pademo, Suatu saat pasti Gati akan
dengar celoteh orang-2 yang mengatakan sinden itu ibarat bunga
kertas yang indah dan bisa dipakai bergantian oleh orang yang beda.
Suatu saat ia akan dengar kisah tentang penari tayub. Suatu saat ia
akan menginjak usia yang cukup untuk mencari tayuban. Entah
pertanyaan rumit apalagi yang akan menggelayuti pikirannya kelak.
Gati duduk selonjor di
rerumputan di bawah pohon manggs yang rindang. Angin semilir yang
menyejukkan mengundang kantuk. Namun pikiran Gati masih gamang.
Terlalu banyak bayangan hitam yang menyerang pikirannya, menyisakan
kotoran yang membuat Gati resah. Kalau perempuan pisah dari
suaminya, mau apa lagi kalau bukan cari suami lagi untuk hidup, cari
makan. Apakah emak akan seperti itu.
Emakmu itu wanita
terhotmat Le, camkan itu, kata bude Pademo. Itulah yang terus
terngiang-ngiang di telinganya. Tadi pun diulang lagi. Makanya kamu
harus selalu berdoa untuk emak – bapakmu. Supaya dimudahkan
segalanya, dimudahkan rejekinya. Siapa tahu rejeki emakmu bagus terus
ingat kamu, lantas mencarimu ke sini. Berdoalah mohon kepada Gusti
Allah agar senantiasa menjaga bapak – ibumu tetap di jalan yang
benar dalam segala hal, terutama mencari rejeki. Berdoalah Le,
berdoalah....kamu sekarang ga pernah sholat. Kenapa Le ? kalau kaowe
ga sholat bagaimana kamu mendoakan emak-bapakmu, Le?
Sampai beberapa kali
muncul wajah bude dengan segala petuahnya sampai ia tertidur di bawah
pohon rindang itu.
Gati terbangun
geragapan, entah gara-2 mimpi lagi atau apa. Ia merasa seseorang
menepuk pahanya agar bangun. Ia tengok kemana-mana namun tak nampak
siapa-2. Terdengar adzan berkumandang. Gati duduk termenung. Lama-2
lafal adzan menggugah memorynya. Jam segini biasanya ia bersama-sama
teman-2 sebaya lainnya berlari ke langgar untuk sholat berjamaah
disambung belajar ngaji. Tapi itu empat tahun silam waktu rumahnya
masih di Kebonsari Kulon sana.
Sekarang mengapa tidak
sholat tapi puasa? Gati tak bisa menjawab pertanyaan dari dirinya
sendiri itu. Hati kecilnya menyalahkan dirinya sendiri. Gara-gara
jengkel lantaran banyak hal sejak pindah ke kampung ini, eh bukan
sejak bapak membawa ibu baru, eh sejak ibu baru menghilang lagi lalu
bapak juga pergi, ah lupa aku sejak kapan aku malas sholat. Betul,
memang aku jengkel pada nasibku yang tak kunjung berubah. Buat apa
sholat jika tak membawa perubahan apapun. Malah lebih apes. Demikian
gejolak batin Gati.
Gati berdiri dan
berniat pulang untuk bersih-2 rumah bude seperti biasa sebelum mandi,
kemudian jalan-2 ke pertokoan untuk cuci mata seperti biasa. Lalu
cari mangsa , barangkali masih tersisa sinden banci yang keliaran.
Tiba-2 teringat omongan bude pademo. Coba bayangkan emakmu yang jadi
sinden, kowe sedih atau marah ?
Langkah Gati terhenti
oleh anak kecil yang menghalangi jalannya. Mas, temeni aku ke
musholla, ajak bocah laki-laki bernama Soni Abdullah (8 th). Gati
hanya tersenyum dan tetap mau melangkah. Mas ga bisa sholat ? tanya
Soni. Gati diam saja. Aku juga belum lancar doanya tapi emakku
memaksaku untuk ke musholla belajar ngaji. Iqra juga plegak-pleguk,
mas sekarang mau kemana ?
Pulang.
Aku ikut mas Gati aja,
daripada ke mushollah jadi enthung, Yuk mas, ke rumah mas, ajak Soni
sambil menggandeng tangannya.
Gati tak segera
menuruti ajakan anak kecil itu sebab kepalanya serasa mau pecah. Ia
jengkel kepada Tuhan. Jangkrik, umpatnya. Ya Tuhan mengapa Engkau
kirim iblis cilik untuk menggoda diriku agar lebih tersesat lagi
jalan hidupku. Aku sudahh merasa bersalah atas diri nenek Nio
lantaran ulahku, kinipun aku Kau kirim setan ini untuk mengajakku
menyesatkan diri. Engkau tahu aku sulit menolak permintaan siapapun.
Aku menuruti kemauan Budi Setiajid yang akhirnya membawa korban nenek
Nio. Aku mau saja disuruh bapak agar sudi memakan makanan apapun dari
ibu tiriku yang jelas sering tidak enak. Kini anak ini ajak aku untuk
bersama-sama menjauhi ibadah. Begitukah caraMu bekerja Tuhan ? kau
beri hambaMu ini godaan agar pelanggaranku makin paarah dan makin
“enak” bagiMu untuk menghajarku dengan jutaan dera. Itukah mauMu
ya Tuhan ?
Mas, ayo jalan, kata
bocah itu sambil menyentak tangan Gati agar melangkah.
Tidak, aku mau ke
mushola, tandas Gati.
Lho, katanya....,
protes si bocah yang dibalas Gati dengan gelengan kepala dan
merentangkan tangan tangan kanan menunjuk musholla.
Mas, bisa sholat bisa
ngaji ?
Gati mengangguk lalu
ganti menarik tangan bocah untuk mengikutinya ke musholla.
Sampai di mushollah,
anak-2 yang biasa bermain dengan Gati segera menyambut dengan hangat.
Iqamat dikumandangkan. Salah satu anak memberi sarung inventaris
meushollah kepada Gati. Usai sholat berjamaah, Gati pindah duduk ke
belakang untuk baca doa.
Kebiasaan di kampung
situ usai sholat Ashar, lanjut belajar ngaji. Ustad muda Emir Wahono,
mengajak murid-2nya duduk di shaf agak belakang dan mulailah belajar
iqra. Gati mau pulang. Ia beringsut mundur tapi Soni memberi isyarat
dengan tangan agar jangan pulang. Tapi Fati berkeras mau pulang,
tetap mundur. Soni berdiri mau ikut. Terpaksa Gati batal pulang dan
duduk dekat mereka yang belajar baca Al Quran.
Giliran Soni diminta
melafalkan Surat Insyiriah, Ustad banyak menegur untuk memperbaiki
cara bacanya. Tiba-2 ia berdiri, menghampiiri Gati untuk menajaknya
pulang.
Ayo mas pulang, aku ga
bisa ngaji, salah melulu.
Soni, ga boleh begitu,
kata Gati. Emakmu pasti marah kalau tahu kamu ngambek kaya gitu.
Begini, begini, mas ajarin, tutur Gati setelah kasih isyarat ustad
untuk minta ijin. Ustad mengangguk. Gati menggiring Soni kembali ke
tempatnya semula.
Dengan pelahan dan
sabar Gati menjelaskan cara bacanya. Alam nasyrah laka sod-dek-rok,
lihat tanda di tas ini. Kalau nafasku kuat, terusin. Tapi harus fasih
dulu kelanjutnya apa. Jangan di hafal ya, ayo ulangi pelahan, ....
Soni mengulang membacanya. Dan seterusnya sampai selesai satu ayat.
Ternyata bukan Soni
yang minta dipandu Gati, semuanya minta. Gati merasa ga enak ati. Ia
memandang ustad Emir dan ternyata malah mengacungkan jempol. Jadilah
Gati menuntun semua bocah untuk belajar membaca surat Quran. Usai
ngaji Ustad Emir minta Gati membantu dirinya saban sore untuk
mengajar ngaji anak-2.
Gati mengaku dirinya
baru khatam sekali belum pantas untuk mengajar iqra. Tetapi menurut
Ustad. Tak perlu risau. Kekurangan Gati adalah kekurangan kita semua.
Karena belum lama jam terbang. Tapi aku selalu di sana, tetap
mendampingi. Kelebihan kamu adalah kamu dicintai anak-2, kamu disukai
mereka. Kehadiranmu di ini menyegarkan semangat belajar mereka.
Maka selama dua hari
saban sore Gati ikut ngaji bersama anak-2 di musholla. Gati juga
senang disukai anak-2. Dan ini tak dinyana-nyana. Sampai pada sore
berikutnya, dua hari menjelasng sholat iedul fitri, polisi
menjempitnya di depan musholla selesai ngaji. Anak-2 ribut. Tidak
terima Gati dibawa polisi, dengan alasan apapun. Terpaksa beberapa
polisi turun mengamankan jalannya penangkapan. Komandan regu minta
bantuan ustad untuk menenangkan anak didiknya. Saya sama sekali tidak
menghendaki cara jemput paksa, kata komandan. Tidak baik kalao
dilihat anak-2. Sebisa ustad sajalah bagaimana merayu muridmu, toh
tetap anak ini kami bawa ke kantor polisi.
Ustad Emir kelabakan.
Ia ke rumah bude Pademo, yang kemudian juga bingung. Siapa yang akan
mengurus bocah ini. Suaminya sakit tua. Anak sulungnya di Surabaya,
tugas akhir sekolah pelayaran. Dia sendiri tak mungkin mondar-mandir
rumah-kantor polisi karena masalah usia dan ekonomi. Bapaknya Gati
masih hidup tapi tidak ada yag tahu bagaimana dan dimana
menghubunginya. Kamitua kampung itu juga tidak bisa mutusin kecuali
minta tolong ustad Emir mengurus masalah ini. Karena masih muda.
Ustad Emir bersedia
mengurusnya tapi minta ijin mau istirahat dulu karena sudah larut
malam. Ustad dan siapapun warga kampung itu bisa tidur di rumahnya
masing-2 sementara Gati hanya bisa ketap-ketib matanya di sel tahanan
polisi kota gaplek. Tak ada yang tahu atau membayangkan nasibnya
besok bagaimana. Jangka pendek atau jangka panjang.
Bagda ashar berlangsug
rapat di rumah orang tua Soni Abdullah untuk membahas tindak lanjut
perkara Gati. Selain tuan rumah yang ikut aktif karena didesak Soni,
anaknya, agar bantu menolong Gati, hadir ustad Emir, Ustad Zen dari
desa Kebonsari Kulan, kampung asal Gati. Hadir juga sesepuh kampung
serta Om Nio, ahli waris satu-2nya bekas pabrik mie. Ia hadir akrena
alasan yang sama. Putrinya. Theresia Mei Ling, merengek minta dia
mengurus perkara Gati.
Begitu mendenganr
selentingan kabar bahwa Gati ditangkap polisi, Theresia Mi Ling
segera menemui bude Pademo untuk mencari kebenaran berita itu. Bude
Pademo membenarkan berita itu sambil mengeluh siapa yangg akan
mengurus perkara ati. Mei langsung pulang secepatnya, Sepeda ontel
merk terkenal ia kayuh sekuatnya supaya lekas sampai di rumah, dan
begitu sampai ia meneruskan critanya dengan menangis tersedu di depan
papa, mama, dan neneknya.
Tuduhan pertama,
menciptakan kebisingan yang mengakibatkan orang lain jadi korban
meski termasuk paling ringan. Meningat korban lika tidak parah,
kerugian material tak seberapa. Tetapi tuduhan kedua yang berat,
pencurian. Ia dituduh terlibat pencurian sejumlah besi bekas di
pabrik mie yang mengakibatkan kerugian materii mencapai jutaan
rupiah, demikian Ustad Emir memaparkan hasil kunjungannya ke kantor
polres tadi pagi.
Peserta rapat sama
sekali tak mengira perkara Gati sampai menjalar ke kriminal.
Akibatnya uang jaminan
untuk mengeluarkan Gati cukup besar, khususnya bagi keluarga Gati,
kata ustad Emir.
Maaf Pak Ustad, apakah
itu semua sudah atau bisa terbukti? Tanya om Nio.
Saya juga sempat
menanyakan hal itu. Terbukti jika tersangka lain, yang sudah kami
tahu identitasnya dapat kami tangkap secepatnyam kata polisi.
Tersangka kabur, diperkirakan ke Batam.
Ustad Emir melihat
gejala kenakalan Gati, lebih2 mengarah ke kriminal , pada diri Gati,
akan terus melekat atau..., tanya bapaknya Soni yang memimpin rapat.
Memang saya baru
mengenal Gati dalam beberapa hari ini, tutur Emir. Tapi saya yakin ia
anak baik. Ia lumayan fasih baca Quran untuk seusia dia, dengan latar
belakang seperti itu. Maaf saya bukan menjelekkan, maksud saya latar
belakang nya tergolong rumit, itu saya ketahui setelah ngobrol banyak
dengan bude Pademo yang selama ini mengasuh Gati.
Biasa saja anaknya,
kata bude Pademo. Sama seperti anak lain, cuma dia lebih rajin, suka
bantu saya. Bersih-2 rumah dan jualan kue. Ga pernah saya tegur,
apalagi memarahi. Ya karena tidak perlu. Hanya saja belakangan ini ia
hatinya gundah setelah mendengar berita TV yang mengatakan nenek Nio
sakit dan dibawa ke Surabaya gara-2 bunyi petasannya. Sejak itu kata
bude, ia selalu muram.
Om Nio mendongak
mendengar penuturan Emir. Karena ibunya tidak apa-2 setelah letusan
petasan. Ia kaget memang sebab kenyataannya kebetulan ibunya sedang
berada di kamar mandi waktu meletus petasan karbit itu. Kamar mandi
di rumah memang tertutup rapat, nyaris kedap. Suara apa itu, gempa
tah? Tanya ibunya sekeluar dari kamar mandi. Fakta ini diutarakan Om
Nio.
Om Nio, boleh saya
tanya sedikit, kata bapaknya Soni. Memang benar nilai besi bekasang
dicuri sebesar itu?
Om Nio tersenyum. Itu
kan taksiran. Orang boleh memasksir barapa saja.
Tapi kan ada
patokannya, Om, sahut salah satu sesepuh,
Sekarang begini ya,
kata Om Nio. Saya punya besi tua sekian ton. Harga jual pasaran tiga
ribu per kilo. Harga besi tua tidak stabil. Harga hari ini bisa
berbeda jauh dar harga besok. Mau saya, besi laku sesuai harga
pasaran. Tapi kenyataannya pasti mereka tawar, belum ongkos angkut
dan calo. Beratnya pun belum tentu benar. Saya periksa besi tua
pabrik yang hilangm ternyata tak seberapa. Sekuat berapa kilo membawa
besi tua dari pabrik kecuali lewat depan lho.pakai truk.
Tapi berapapun yang
hilang, bila terbukti, bisa kena sanksi, ujar sesepuh Wignyo Narasoma
yang rupanya paham hukum. Sanksi kan tak pandang nilai barang. Orang
nyuri sendal jepit saja bisa dihukum penjara.
Sesepuh minta
konfirmasi moral Gati waktu kecil kepada ustad Zen yang saat ini
sudah berusia 40 lebih dan telah dikaruniai putra. Ahmad Herucokro,
5 th. Namanya. Waktu Gati nyantrik di rumahnya dulu, Zen hanya berdua
sama istrinya di rumah.
Selama ikut kami,
tidur di rumah – meski kadang pulang ke rumahnya, Gati tak
menunjukkan gelagat anak nakal. Ia penurut, pendiam tetapi bukan
pemalu. Tutur katanya halus dan ga pernah mencuri. Di rumah kami,
saya dan istri sering ceroboh. Menaruh uang sembarangan, misalnya.
Tidak banhyak sih. Paling ribuan, lima ribuan. Anak seumur itu
biasanya suka jajan dan ia akan minta sangu (bekal uang secukupnya
sebelum berangkat seolah) kepada orang tuanya. Bapaknya kaya waktu
itu tapi jarang kasih uang. Bukan pelit tetapi mungkin tak sempat
bangun pagi atau gimana. Sering ke sekolah Gati tak bawa uang
sepeserpun. Kalau bawa kebetulan bapaknya bangun pag ataui karena mau
pergi. Kami berdua kerap menanyakan apakah dibekali uang. Gati sering
menggelneg kepala. Jika kami beri sangu ia tak mau. Kami sayang
sekali sama Gati. Mencuri jelas mustahil, menurut saya. Sampai
sekarangGati tetap kayak dulu. . Saya berani jamin itu.
Kalau kenakalan nyulut
petasan, saya kira karena jiwanya sedang labil saja. Tambah ustad
Zen.
Akhirnya rapat
memutuskan untuk mengutus tim pembebasan, dengan ketua Wignyo
Narasoma. Winyo dan ustad Emir jadi duta nego. Lainnya e nunggu di
luar kantor polisi dan siap beri dukungan resmi sebagai penjamin
moral Gati. Dana disiapkan, jika minta terlalu tinggi, lebih baik
saya panggil teman-2 pengacara untuk menangani langkah ini, ujar
Wignyo. Saya yakin bukti materilnya lemah, tandas sesepuh berusia
enam puluhan itu. Om Nio menawarkan diri sebagai penyandang dana.
Bapaknya Soni bilang akan bantu pendanaan. Tim berangkat sore itu
juga dengan dua mobil, punya Om Nio dan bapaknya Soni.
Aparat minta dua juta.
Wignyo menolak keras setelah menyerahkan kartu namanya. Alasannya,
Gati tak punya wali. Aparat menyebut rumahnya bisa digadaikan atau
dijual. Digadaikan? Bapak yang mau bayar cicilan utangnya, kata
Wignyo, Bisa saja dijual, bapak yang bel ? Atau bapak sudah
menemukan calon pembelinya ? cecer Wignyo beruntun.
Sekarang begini
sajalah, kami keberatan kalo segitu, bahkan separo saja keberatan,
saya tak akan mengajukan tawaran apa2. Sekali lagi saja bapak berikan
angka, kami akan setuju atau tidak, kalau tidak saya bisa siapkan tim
pembela. Nih kartu nama lama saya, kata Wignyo sambil menyerahkan
kartu nama firmanya. Wignyo Herucokro, SH dan Rekan, Biro Bantuan
Hukum.
Aparat menyodorkan
angka, Wignyo menggeleng. Akhirnya tercapai kesepakatan. Gati keluar
sore itu. Dana 400 ribu diberikan Om Nio dan tak mau dibantu Bapaknya
Soni. Saya masih ada, simpan saja pak atau buat dana pancingan biaya
sekolah anak ini, siapa tahu yang lain terus ikutan beri santuanan,
kata Om Nio.
Gati keluar dari sel
dan segera memeluk dua ustad sambil menangis. Lalu berucap
alhamdulillah. Tak lupa ia memberi salim kepada semuanya.
Gati, kowe masih ada
rumah di sana, di kampung kelahiranmu. Kamu sekarang punya adik, mak
Siti selalu menanyakanmu Le, main ke sanalah ? kata Ustad Zen. Gati
memeluk ustad dan menagis lagi. Ustad Zen membelai rambutnya lalu
menepuk pundaknya.
Azan magrib
berkumandang. Sejam kemudian takbir terdengar setelah pemerintah
mengumumkan besok hari raya Iedul Fitri. Bude Pademo dan suami serta
dua anaknya dan Wisang Gati berkumpul bersama di depan TV.
Kowe ga ikut takbir
Le, Gati ? tanya Bude Pademo. Ayo berangkat Gat, ajak Gito, putra
bude Pademo yang setahun lebiih tua dari Gati. Gati menyambut
ajakanya dengan senyum dan menggelengkan kepala.
Pak, njenengan sholat
Ied ora ? Yen ora, sajadah-e ben dinggo Gati.
Ora, katanya datar,
Aku bimbing Pakde, ya.
Pelan-2...atau aku bisa pinjam becak kang Diman, kata Gati
bersemangat.
Pinjam, pinjam enake,
terus dia ga cari duit apa ? celetuk Dyah Utami, putrinya bude Pademo
yang SMA.
Terdengat suara
perempuan permisi dan mengetuk pintu. Theresia Mei Linh bertamu. Ia
membawa tiga set sajadah, 2 baju muslim dan 2 kopiah hitam beludru,
serta 1 mukena buat Dyah.
Baju ini dari nenek
buat Gati, kataTheresia.
Terim kasih, nduk.
Nenek bagaimana setelah periksa di Surabaya, tanya Bude Pademo.
Iya, ga apa-2, nenek
ke Surbaya kan memang waktunya periksa, chek up. Tidak sakit apa-2
kok. Hasilnya baik.
Bisa jalan, tanya
Gati.
Bisa lah, dari dulu
juga bisa jalan, kamu jangan salah sangka. Nenek ga perna sakit,
apalagi sakit parah. Kamu kapan main ke rumah ?
Gati tertegun, bingung
mau jawab apa.
Besok, jawab bude
Pademo. Gati memalingkan wajah untuk menatap bude. Pulang dari sholat
ied, kamu sungkem sama sesepuh dan tetangga, teman-teman, siang kan
bisa ke sana to, Le? Kata bude.
Iya, besok siang, Mei,
kata Gati. Duduk dulu kenapa ?
Terima kasih, ditunggu
mama papa di mobil. Kapan-2 papa mama sowan kemari, bude. Oh ya, ada
bingkisan nih, kata Theresia Mei Ling lalu keluar sebentar untuk
mengambil kantong plastik berisi makanan.
Ini lotong cap gomeh,
bisa buat besok sehabis acara sholat di lapangan. Selamat hari taya
ya semuanya. Mohon maaf lahir batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar