Senin, 05 Agustus 2013

Bomber

1 Rindu Emak


Wisang Gati termasuk remaja kreatif. Banyak akal untuk membuat suatu karya sepele sekalipun. Ya cuma untuk sekedar main. Yang penting menyenangkan hatinya. Bukan hanya dirinya yang girang, anak-anak atau sebaya , juga suka menikmati karya permainnya. Misanya ia pernah membuat bunyi-bunyian dari batang pohon pepaya. Pepaya baru berbuah ditebang Gati. Batangnya yang berdiameter disandarkan dan diikat pada pohon, sebuat saja pohon. Setelah batang pohon pepaya dirasa berdiri kokoh, Gati mengambil pelepah kelapa yg mirip kain saringan berwarna coklat. Ditaruhnya di di bagian atas batang pepaya yang bolong itu lalu diikatnya. Dahan-2 kering ia kumpulkan dan dlletakkan digalian di bawah batang pepaya lalu ia bakar. Setelah jadi api, keluar asap lewat lubang batang pepaya. Bukan itu saja. “cerobong” paya ini menghasilkan suara mendengung. Tidak kencang suaranya tapi bunyinya kayak suara parau klakson kapal dan cukup membuat anak-anak tercengang.
Di waktu yang lain ia buat layang-layang besar. Sebut saja layang-layang ikan atau ular-ularan yang dipasang senar goni supaya menghasilkan bunyi soangan namanya. Gati memang suka bermain dengan siapa saja sekaligus saling menghibur. Diri sendiri maupun anak-anak. Maklum Gati bertahun-tahun hidup berdua dengan ayahnya, niyaga (penabuh gamelan) pengendang. Ia selalu rindu kehadiran orang lain selain ayahnya. Andai bisa merumuskan keinginannya atau mau curhat tentu ia akan bilang “aku mendambakan adik. Laki atau perempuan.”
Tetapi apakah itu saja dambaannya ? Tidak , ia merindukan seorang emak, ibu. Bisa jadi ia belum sampai rindu belaian dan kasih sayang seorang ibu karena memang belum pernah merasakannya. Atau mungkin lupa. Sebab menurut bude Pademo, emaknya pergi ke Malaysia saat ia berusia dua tahun. Bude Pademo adalah tetangganya yang kerap diminta tolong abapaknya untuk merawat Gati. Setiap kali ia pergi keluar atau pun da;am kota untuk ikut rombongannya, grup gamelan, sang pengendang selalu menitipkan Gati kepada tetangganya, bude Pademo.
Daya ingat Gati termasuk lumayan. Umur lima tahun bapaknya membawa ibu baru ke rumahnya. Kok yakin umur segitu ia punya ibu baru yang muda sekali ? karena waktu ibu baru mengantarkan ke sekolah TK karena orang-2 meledeknya dengan bertanya, mbakyumu kok ayu banget. Semua tahu, aku anak tunggal. Gak punya mbak, batin Gati. Bapaknya jarang di rumah, otomatis kedekatannya dengan sang bapak bisa dihitung dengan jari satu tangan tiap bulan. Tapi kedekatanya dengan ibu tirinya lebih parah. Cuma berhubungan jika memberinya makan seperti menyodorkan sepiring nasi berlauk kepada pembeli di warung. Masih mending di warung, pembeli ditanya makan apa. Baginya diiberi makan dengan nasi tanpa tercemar “karak” (nasi kering) sudah baik. Padahal ibunya itu masaknya banyak di rice cooker. Tapi kenapa nasi yang kering diikut sertakan ?
Cuma beberapa tahun ibu muda merawat Gati. Ibu mudanya memang sering bepergian dengan bapaknya. Pakai mobil. Ia sering sendir pengasuh yang lebih parah dari ibu tirinya. iKlas 3 SD Gati sudah tak melihat ibu tirinya lagi. Ia pergi dan tak kembali. Klas 5 ia [indah ke lain kampung, masih satu kota, kota gaplek karena terkenal penghasil singkong dan gaplek.
Kini Gati telah SMP. Gara-gara snetron remaja Gati pengin tahu figur emaknya kayak apa. Kayak ibu tirinya dulu yang baru sekarang sadar m setelah nemu fotonya di gudang -- bahwa ia memang cantik molek. Atau kayak bude Pademo yang gembrot dan kulitnya jauh dari halus – cir ikhas biasa orang hidup pasa-2an yg milih makan daripada ngadi saliro. Atau seperti artis seleb yang kerap digosipkan cepat ganti pacar ?
Emakmu itu wanita terhormat, perempuan baik-baik, kata bude Pademo. Walau berasal dari keluarga miskin kayak bude ini. Asal emakmu dari daerah selatan sana, Laut Kidul. Mbahmu nelayan atau apa bude juga ga ngerti. Tapi bakat emakmu luar biasa sehingga di usia muda sudah moncer namanya ke mana-mana sebagai sinden. Sama dengan ibu tirimu dulu. Emakmu tidak pergi ke Malaysia. Bude dulu bohong karena kowe masih terlalu kecil, nanti nanya ga karuan yang ga bisa bude jawab.
Tapi mungkin beda ya bude. Bu tiri kan ninggalin bapak lantaran digoda ki dalang. Emak kan tidak seperti itu ya ?
Lha pertanyaan gini ini yang bude tidak suka dan sulit menjawabnya. Bude Pademo menarik nafas panjang. Begini Le, mbesuk kowe akan paham kalo hidup di dunia ini sangat tidak mudah, terutama bagi wanita seperti emakmu, bude dan lainnya. Untuk menopang hidup, wanita butuh laki-laki. supaya hidup lebih mudah. Yang laki cari duit. Yang perempuan ngurus rumah dan anak-anak. Pakde semakin tua dan tak kuat lagi macul di sawah, maka bude yang cari nafkah. Jual gorengan pisang pisang, singkong, ubi dan tahu. Kadang-kadang bikin kacang goreng dan peyek yang sering kamu edarkan ke warung-2 itu. Kadang cukup buat makan sebulan buat berenam, termasuk kowe. Kadang di cukup-2kan sehingga kowe tahu sendiri makan nasinya sedikit lauknya sambel. Kalo bapakmu kasih duit, memang lauknya lumayan tapi terus terang tetap bude tekan suppaya hemat, kelebihan uang bapakmu buat biaya sekolah kowe. Nah karena bapaknya sejak setahun lalu ga kasih duit dan pergi kemana Bude juga ga tahu, terpaksa bude ga bisa bayar SPP sekolahmu. Bude ditagih terus tapi akhirnya kowe sendiri memutuskan untuk tidak sekolah.






Bakat emakmu hebat. Rejekinya pun bagus. Sebagai sinden Ia ditanggap nyinden kemana-mana, ikut pagelaran wayang ke kota-kota. Emakmu kaya. Yang beli rumah sebelah rumah bude ini hasil dari emakmu. Bapakmu yang crita. Kamu kan tahu sendiri asalmua dari desa Kebon Sari Kulon, beberapa kilo dari sini. Sejak lahir sampai klas 5 SD lalu pindah ke sini. Emakmu pergi waktu kamu umur 2 tahun, pas waktunya nyapih kowe (menghentikan nyedot ASI).
Lalu bapakmu kawin sama murid asuhnya sendiri, sinden muda. Cuma dua tahun, ibutirimu pergi. Pindah ke mari gara-2 orang-2 olok-2 kowe , mengatakan ibumu sekarang sinden jalanan, ngamen di jalan-2 karena ikut suami yang kepala grup ngamen.
Bagian ini yang menyakitkan Wisang Gati.






2 Masa Kelabu Bomber


Masih melekat dalam ingatan Wisang Gati, kelakar teman-2 rombongan grup tayup bapaknya waktu dirinya masih SD, belum sunat. Le, kalo cari emakmu gampang. Amati rombongan ngamen di jalan yang bawa gemelan gong, kenong, saron, kendang. Kali-kali sindennya mbokmu....ha...ha..ha... Gati tak mengerti maksud kelakar itu.
nDak mungkin to Man, sinden top merkotop mau sama bos rombongan sak upil.
Lho jangan meremehkan. Sekarang yang penting bisnis. Jangan lihat omsetnya saja. Tapi ceperannya dihitung juga. Ha...ha...ha.... Ceperanya lebih besar dan bisa berapa kali.....ha...ha...ha...
Jelas mereka para niyaga itu sedang mabuk minuman botol cap Kuntul.
Namun yang menamcap dalam benak Wisang Gati adalah rombongan ngamen bawa gamelan. Setelah SMP ia baru tahu bahwa di kota memang sering terlihat rombangan kecil membawa gamelan seperti gong suwakan, kendang, kenong, saron penerus, kadang-2 rebab, disertai satu dua sinden. Yang mencolok , sindenya genit. Belakangan Gati tahu dan membuatnya geram. Sindennya wadam alias banci ! Gati tidak atau belum tahu bahwa ada rombongan yang lebih besar kerap ditanggap orang-2 kaya. Grup tayub. Kadang sinden merangkap penari tayub.
Kekecewaan ini begitu mendalam sehingga berubah manjadi kebencian. Ia benci jika rombonan kecil pengamen membawa sinden banci. Tapi sebaliknya jika mereka ngamen dengan sinden wanita asli, Gati bisa betah berjam-jam menimati sajian tembang mereka. Sesungguhnya bukan tembang atau penampilan mereka yang mempesonakan Gati. Ia bisa menemukan sosok figur emaknya.
Sayang sekali, malah banci yang muncul. Rusak semua sendi-2 imajenasi Gati. Kecewa dan marah bersatu dalam dada Gati. Bingung menemukan sasaran kemarahan, Gati ingat petasan. Manusia-2 ini perlu diberi pelajaran.
Bukti kelebihan Gati bisa dilihat dari hasil karyanya: petasan bersuara terkencang dari semua petasan di pasaran ! Embuh belajar darimana, Gati bisa membuat kertas pembungkus mesiu jadi sangat keras, tidak lembek seperti petasan yang dijual bebas. Di pencet sekuatnya pun, ga bakal gelondongan kertas itu cekung atau melesak ke dalam. Kerasnya petasan buatan Gati bisa dibandingkan dengan kertas gelondongan untuk mencetak ketikan kalkulasi.
Gati tahu dimana mendapatkan mesiu untuk petasan. Dengan uang seharga nasi bungkus sudah dapat mesiu cukup bagi Gati untuk membuat beberapa petasan super“ guna menghajar” sinden palsu. Kertas sumbu dari pedagang mesiu tetap ia pakai tetapi disambung dengan kertas rokok. Jika disulut bara api akan merambat pelan. Baru sampai ke sumbu aslinya bara cepat menjalar. Hitungan detik petasan meletus. Kecepatan manjalar bara sumbu kertas rokok sudah dites Gati beberapa kali. Tujuan Gati cuma mlampiaskan kegeraman, bukan untuk melukai. Maka selalu ia letakkan petasan di tempat yang jauh dari kerikil atau benda-2 keras yang bisa terlempar akibat letusan. Dampak letusan adalah kaget tetapi tak sampai terluka. Gati sama sekali tak memperhitungan jantung ! maklum masih remaja SMP.
Wisang Gati melakukannya sendirian. Setelah buka ia pergi ke dekat tengah kota atau pemukiman di kota. Dengan jalan kaki. Selama jalan ia berharap jumpa dengan targetnya. Dari jauh bisa dipastikan target atau bukan. Rombongan kecil pengamen yang jadi terget biasanya menenteng petromax. Setelah dekat baru bisa dipastikan dengan bawaan mereka, apakah membawa gamelan atau tidak. Sinden asli biasanya ogah jalan didepan tapi kalau sinden imitasi biasanya jalan de depan. Dengan langkah gagah bak serdadu.
Memang kalau jalan searah Gati agak repot karena harus bisa menyalip mereka. Tapi biasanya ketolong oleh keaadaan, rombongan ditanggap atau sengaja berhenti di tempat dimana banyak orang berkerumunan seperti warung. Orang-2 terhibur dengan penampilan banci. Justru kegelian itulah yang mereka beli.
Wisang mencari selalu cepat mendapatkan tempat tersembunyi untuk menaruh petasan. Tersembunyi dan strategis. Agar api yang merambati sumbu tak terlihat oleh target .
Malam itu Wisang Gati menaruh petasan sebesar jari telunjuk di cekukan pohon asam besar di tepi jalan. Suasana kota kecil penghasil gaplek malam itu masih sepi, di samping memang kota sepi karena tidak stategis di dalam peta. Perekonomiannya kurang maju. Orang-orang masih pada tarawih. Iring-2an pejalan kaki bergerak mendekati pohon asam dimana petasan mengancam. Laki-2 berpakaian tradisional membawa gong suwakan, saron penerus, kendang, kenong. Yang ditengah bawa petromax. Sinden banci terdepan dengan langkah tegap, meski bila lewat keramaian langkah berubah jadi lenggak-lenggok seperti langkah “macan luwe”.
Beberapa meter menjelang pohon asam mereka berjalan biasa saja, sama sekali tak tahu dan tak menyangka petasan di belakang pohon asam sudah tersulut, siap menyambut mereka. Begitu langkah sang sinden hendak melewati pohon asam besar....blaaar ! meletuslah petasan dengan kencang. Sinden terjengkang mundur karena kaget. Ia berdiri gontai sambil memegangi dadanya. Teman dibelakangnya segera mendekap sinden yang sempoyongan agar tak jatuh. Temannya yang dekat segera menaruh saron lalu memapah sinden agar duduk dan rebahan di jalan raya beraspal. Rekannya lainnya segera memberi minum air putih. Yang lainnya berkeliling mencari siapa yang menaruh mercon itu. Sampai radius sepuluh meter mereka telisik, tak menemukan indikasi apapun.
Dari jarak 20 meter Gati menyakasikan kejadian itu tanpa ekspresi apapun. Ia meninggalkan tempat itu seperti tidak ada kejadian apapun.
Sampai ramadhan menginjak malam-malam turunnya Lailatul Qadar, sudah sepuluh lebih rombongan pengamen gamelan yang jadi korban petasan. Dengan lokasi berbeda. Meski korban tak sampai luka berat, polisi mendapat pengdaduan masyarakat mengenai hal ini. Baik perorangan maupun dari rombongan pengamen. Maklumlah selamai ini kota gaplek adem tentram, jauh dari berisik apapun. Apalagi kekacauan. Kota kecil, sepi tetapi aman sejahtera. Letusan petasan memang terdengar selama bulan puasa tetapi terbatas pada bunyi petasan cabe rawit. Petasan besar memang dilarang dan kerap di- razia polisi. Praktis ga bakal ditemukan petasan berbunyi nyaring. Aneh jika sampai terdengar bunyi petasan sangat nyaring seperti buatan Gati.
Pelarangan petasan berlaku semua jenis, termasuk petasan bumbung dari karbit. Tidak ada ukuran yang mengatur sampai batas berapa desibel yang diperbolehkan, memang jarang sekali petasan karbit lantang bunyinya. Ada satu dua memang, dan itu sudah dideteksi polisi dan sudah mendapat peringatan dari polisi sehingga tak terdengar lagi suaranya.
Stasiun TV segera mengulasnya. Tentu saja ini mangsa empuk untuk diolah jadi umpan balik kepada pemirsa. Dengan enteng media audiovisual ini menjuluki penyulut dan atau pembuat petasan bersuara paling nyaring ini dengan sebutan “bomber”.
“Namun yang menjadi perhatianpolisi adalah modus si bomber. Dari 12 korban si bomber, semuanya rombongan pengamen yang sindennya banci. Tetapi tidak pernah masuk laporan dari rombongan pengamen yang sindennya perempuan asli. Padahal dalam kurun waktu tersebut banyak juga pengamen gamelan membawa sinden perempuan asli keliling kota sampai jam 2 dini hari dan aman. Karena itulah pengamen dengan sinden banci mengadukan hal itu kepada polisi.”
Demikian kata penyiar TV swasta, yang kemudian mewawancarai salah satu kepala rombongan pengamen gamelan yang jadi korban sampai 3 kali.
Salah kami dimana ? kalo sinden kami wadam, ya memang itu yang kami punya. Dulu kami punya sinden wanita. Asli. Sekarang dia jadi sinden di kota besar, dia sukses berkat didikan kami. Banyak didikan kami yang akhirnya berlabuh di kota lebih besar. Tinggallah begini stok kami dan kami pun semakin tua. Mereka yang mikul gamelan ini murid kami. Yang jadi penerus kami. Mereka belajar tanpa bayar, laha darimana kami dapat uang kalo tidak ngamen ? memang biasanya kami ditanggap tetapi di bulan romadlon ini, tangggapan sepi. Terpaksa kami keliling kota. Ngamen. Buat makan. Kami ini menghibur. Kalo tidak suka hiburan kami, ya sudah jangan nanggap . jangan nonton atau dengerkan. Tapi jangan menggaggu kami. Sekarang kami tak bisa ngamen lagi karena sinden-2 kami takut semua. Lha kami makan apa ?”
Masyarakat mulai gemas. Kegemasan sampai ke telinga walikota. Wakil walikota menegur kapolres. Polisi menyisir kota bahkan sampai pinggir-2 dan pelosok desa luar wilayah kota. Hasilnya nihil.
Polisi menugaskan reserse untuk menyamar sebagai niyaga. Bersama rombongam pengamen gamelan dan sinden banci para reserse keliling kota. Jelamg sahur tampaknya bomber ga bakal nongol. Dua reserser mengawal sampai batas kota. Iring-iringan berhenti untuk saling salaman “perpisahan”. Sinden bilang minta ijin pingin kecing. Udah ga tahan, katanya. Mereka semua mendengarnya lalu berkelakar supaya lihat-2 kalo kencing. Jangan sampai menginjak ranjau yo Jo, Pahijo, seru temannya sambil tertawa. Sinden menghilang ke balik semak-semak untuk kencing. Dua menit kemudian teman meneriaki. Udah belum Jo, kok lama ? Uwis, yo lama, kan aku ga pakai celana laki-2 yang gampang bukanya, seru sinden. Semua tertawa.
Sinden muncul dari semak-2 dan jaraknya ke tempat rombongannya kumpul sekitar sepuluh meter. Sinden muncul dan bercanda. Hai, katanya sambil melambaikan tangan. Sebagian orang-2 menengok ke arah sinden. Termasuk salah satu reserse dan ia curiga pada semak kecil atau onggokan dedauan dua meter di depan sinden. Ia perhatikan dengan seksama. Dari dalam onggokan itu jelas hitam karena ggelap tetapi masih tertangkap mata reserse ada percikan api kecil. Otaknya seketika reaksi. Ia berteriak memperingatkan sinden yang sudah melangkah.
Jo, awas di depanmu !
Sinden langsung bereaksi, mau loncat menjauhi onggokan. Tapi terlambat. Petasan meletus kencang. Blaaaarrr !
Dua reserse segera meloncat untuk mencari pelaku. Mereka menyebar sementar yang lain menolong sinden. Bomber raib ditelan bumi.
Dua reserse dan orang-2 di situ tidak tahu bahwa bomber segera kabur begitu selesai menaruh petasan yang sudah tersulut dan menutupinya dengan dedauan yang baru dipetiknya. Waktu sekian detik cukup untuk menghilang bagi siapapun yang sudah kenal medan.
Kebiasaan Wiasang Gati selepas ashar adalah duduk di rerumputan di bawah pohon mangga yang rindang. Dekat musholla. Kadang mendengar suara anak-2 mengaji menentramkan batinnya. Setidaknya ingat waktu ecil dia juga begitu. Bapaknya menyerahkan dirinya kepada ustad kampung bernama Zen untuk belajar ngaji. Waktu itu klas 4 SD. Gati menurut saja, apalagi di sekolah ada pelajaran agama dan bu gurunya sering nanya soal bacaan surat-2 Al Quran. Bu guru nawari les dan Gati ikut. Tahap-2 belajar membaca Al Quran ia jalani dengan lancar dan baik. Mulai dari Iqra 1 hingga Iqra 6, klas 4. Terus lanjut baca ayat tapi tersendat lantaran Gati tak semangat, mungkin batinnya bergejolak setelah bapaknya membawa ibu baru. Gati jadi malas, ogah lakukan apa saja. Sekolah sering telat, sering mbolos. Saat itulah Bapaknya menyerahkan Gati kepada ustad untuk dididik supaya tak malas lagi.
Rupanya ustad paham apa yang menganggu pikiran bocah asuhannya itu. Ia buat program istimewa setelah mempelajari latar belakang dan karakter Gati. Miirip pesantran tapi boleh pulang. Maksudnya jika tidak ada kegiatan belajar baca ayat-2 terserah Gati mau pulang ke rumahnya sendiri atau ke rumah ustad. Ustad masih muda, sudah beristri tapi belum dikaruniai anak. Kamar disediakan oleh ustad. Kalau toh berada di rumah ustad tidak harus belajar baca Quran. Belajar baca ada waktunya. Tetapi memang selalu dianjurkan supaya memanfaatkan waktu senggang untuk buka Al Quran. Ternyata Gati lebih sering pulang ke rumah ustad, menginap juga di sana. Bisa 4 hari dalam sepekan.
Mengapa ustad mau ketempatan ? Jelas bukan karena Gati adalah anak orang kaya. Bapaknya memang cukup kaya waktu itu. ia punya suzuki cary baru. Tapi sering pergi sama ibu barunya Gati. Ustad bukan tipe orang materialis meski bapak Gati memberi biaya pendidikan lebih dari cukup kalo ustad minta. Tidak. Ustad minta sesuai tarip. Sama dengan anak didik lainnya. Kalau toh menginap di rumahnya, karena permintaan istrinya. Kilah ustad. Ustad melihat Gati anak baik dan penuh bakat. Tetapi yang memperihatinkan ustas adalah ejolak batinnya. Ia kesepian, papar ustad kepada bapak Gati. Terutama setelah Gati mendengar kelakar teman-2 bapaknya yang mengatakan ibunya jadi sinden keliling. Kalau lihat atau dengar rombonan bawa gamelan untuk ngamen, coba amati. Jangan-2 emakmu sindennnya, seloroh rekan kerja bapaknya, sesama niyaga.
Sayang tak lama Gati nyantrik kepada ustad. Cuma setahun tapi sempat khatam. Klas 5 Gati pindah kampung. Mobilnya dijual untu beli rumah di sebelah rumah bude Pademo.








3 Tantangan Genting


Seperti biasa bagda ashar, Gati nyantai di bawah pohon dekat mushola.
Enak ya, Gat, ngadem di bawah pohon. Sapa Budi Setiajid, yang kemudian terkenal dengan panggilan Buset.
Iyalah, AC alam in, Bud. Balas Gati.
Meski tidak pernah gaul sama pemuda lebih tua tiga tahun ini tapi tahu siapa Buset. Ia anak kampung timur dan agak jauh dari kampungnya ini. Ia jebolan STM Listrik, tapi drop out klas 2 semester akhir. bukan hanya level sekolah namanya moncer tapi hampir semua kampung di sekitar situ mengenalnya sebagai pemuda bandel yang suka bikin ulah, termasuk berantem. Dan kareanya ia disegani hampir semua pemuda sekota. Meski kelakuannya suka nyrempet-2 bahaya tapi kesantunan tetap ia jaga. Ia tak pernah meremehkan siapapun karena prinsipnya berkawan menghasilkan daripada bermusuhan. Bagi Buset, jadi jagoan tak ada gunanya jika tak menghasilkan. Analoginya mungkin sejajar dengan bodyguard, satpam atau pembunuh bayaran. Tapi ia tak pernah memproklamasikan ciita-2 ingin bergerak dalam bisnis kekerasan meski kelakuannya cenderung mengiiring dirinya terjun dalam bisnis yang lebih mengandal otot dari pada akal,
Buset duduk bersila di atas rumput dan bersandar pada pohon.
Kowe sekarang moncer, jal. Terkenal. Masuk TV, bomber...waa....penge bom ! ujar Buset.
Kok sampean tahu, itu aku ?
Ayolah, sopo lek ora kowe. Ga ada orang yg bisa bikin mercon ahsyat kecuali kamu. Enggak, enggak, enggak akan kulaporkan polisi.
Sampean pasti punya maksud,datang ke sini.... todong Gati tanpa tedeng aling2.
Ajak bisnis kowe.
Bisnis ? aku rung paham begituan,
Golek duit mau enggak ?
Tergantung caranya. Ujar Gati datar. Ia tahu Buset bisa melakukan apa saja yang penting dirinya untung. Lebih ngawur dari dirinya sendiri.
Gini, bocah seberang kali kulon kae, sumbar petasan bumbung mereka paling hebat, aku tantang taruhan. Memang aku bukan ahlinya, kan ada kamu. Piye, sepakat ?
Aku ga mau taruhan.
Lho kenapa? Ini bukan judi. Permainan biasa, kayak lari, adu cepat. Siapa cepat dia dapat,
Aku ga punya uang.
Ayolah, kowe itu anake wong sugih, ga seperti aku, kere.
Hm, dulu mungkin ya. Nyatanya aku sudah lama ga pegang duit,
Yo wis aku yang taruhan.
Tapi petasan bumbung. Tergantung wadahnya, kalo kuat, bisa bunyi gelegar.
Ala, pakai cara kamu ajalah, mercon pakai obat bubuk.
Bunyi beda. Petasan bumbung suaranya berat, mercon nyaring tapi cempleng.
Bikin saja, obatnya dibanyakin, ga bakal ketahuan. Mereka ga bakal tahu kamu. Mereka tahunya aku dan bunyi. Mereka merka tak mensyaratkan musti berhadapan. Yang penting bunyi petasan kita terdengar mereka. Ayolah, ini tentangan buat kamu. Masak begini saja ga bisa.
Gati berpikir keras. Aku pikir dulu cara buatnya, besok sampean ke sini, baru aku tahu mau penuhi tantangan atau tidak. Tapi aku ga punya duit lho.
Berarti nanti kalau menang kamu ga dapat duit taruhan.
Ga papa, aku ga suka taruhan kok.
Guyon-guyon, aku bercanda, kamu tetap dapat bagian kalau kita menang.
Gati memang tidak omong kosong. Ia sudah punya bayangan bagaimana membuat petasan bumbung dengan daya letusan dahsyat. Tapi musti dicek dulu apakah masih ada ga alatnya. Esok harinya setelah menyelesaikan pekerjaan rumah ia pergi ke lokasi untuk konfirmasi alat petasan bumbung. Ternyata barang ada. Pipa besi cukup tebal walau berkarat. Gati heran pipa berdiamater 15 cm lebih dan panjang 6 meter itu dulunya bekas buat apa, karena salah satu ujungnya ditutup besi. Tinggal ia periksa tingkat kesulitannya untuk melubangi batangnya. Beruntunga Gati, sekilan dari ujung pipa yang buntet alias tertutup ada bagian yang rapuh. Mau bolong karena berkarat. Tinggal dipukul pakai betel (pahat umtuk logam) .Tak perlu pakai las.
Sore Budi Setiajit datang dan bawa karbit juga. Kaget juga Gati. Kok sampean yakin aku bisa mendapatkan alat itu, sampai sampean siapkan karbit segala.
Buset tertawa. Aku tahu kowe ga bakal omong sembarangan,...kamu orannya bisa dipercaya, ga asbun, asal bunyi.
Berarti sampean udah bilang menerima tantangan ke kubu anak-anak sebeang kali ? Buset mengangguk. Sudah kuserahkan uang taruhan kepada preman yang kami tunjuk sebagai juri. Mereka juga menyerahkan uang,
Berapa ?
500 ribu ,
Gila sampean, lah kalo alatnya macet atau kita kalah bagaimana ?
Dunia ini penuh spekulasi. Bukan penuh sandiwara. Sandiwara, basa-basi memang biasa tapi bisa kalah dari spekulasi, ujar Budi berspekulasi
Gati mengajak Buset jalan kaki ke persawahan dengan arah tenggara. Sengaja tak lewat jalan biasa, sengaja lewat belakang. Mereka melintasi dua tiga sawah dan tegalan. Rupanya Gati memang fasih dengan liku-liku jalan setapak menuju lokasi sehingga lekas sampai tanpa keliru arah sekali pun.
Mereka sampai di belakang bangunan tua bermenara yang berfungsi sebagai cerobong. Tanpa bantuan linggis, mereka bisa masuk pabrik tanpa melobaangi tembok. Mereka memanjat pohon ceremai untuk sampai di atap sebuah rumah tetangga dekat lokasi. Gati wanti-2 kepada Buset supaya jangan menginjak genteng tetapi menginjak tembok tepi atap sampai di bangunan tua bekas pabrik mie. Sebagian besar atap seng bekas pabrik mie ini sudah rusak dan terkuak karena usia dan hujan angin selama bertahun-2. Untuk turun ke dalam bangunan, mereka tidak perlu tangga, cukup terjun saja karena di bawahnya banyak gabah melimpah hampir memenuhi ruangan. Buset heran, buat apa dan bagaimana sekam bisa sebanyak ini.
Nanti pulangnya bagaimana ? ga ada tangga untuk naik kembali, kata Buset agak cemas.
Beda lagi jalanya, sahut Gatii. Kita keluar melalui menara. Kita naik naik menara cerobong, menyisiri tepi atap sampai tembok pinggir sawah tadi, tak ada pohon satu pun untuk turun. Kita terjun ke sawah.
Kan belepotan ?
Iyalah, jadi bagaimana ? lanjut ga ?
Lha iya, wong wis sampai sini, dibatalkan pun teteap saja baliknya lewat cerobong lalu terjun juga.
Pinter...., kata Gati.
Sampailah mereka di ruangan besar yang posisinya di bawah menara cerobong. Gati mengajak Buset masuk ruangan di mana pipa besi tergeletak. Buset terpana melihat sarana petasan bumbung mereka. Gat, ni sih meriam jaman belanda, komen Buset. Gati minta Buset bantu memindahkan ”meriam” ke posisi dengan moncong menghadap luar ruangan. Supaya suara letupan tidak bergema dan balik ke arah kita, Gati menjelaskan.
Selama melakukan penyiapan meriam mereka ngobrol.
Ini bekas pabrik apa Gat ?
Pabrik mei telor. Di situ masih banyak kertas label untuk ditempel di kemasan. papar Gati. Milik babah no – sebetulnya pendirinya Nio Kian Bie. Meningggal dua tahun silam, istrinya masih ada.
Bangkrut ?
Ga tahu. Tapi yang kutahu, ruangan banyak sekam tadi, itu kan menonjol, areanya kan melangggar wilayah tanah orang, mbah Harjo. Ga tahu apa ada yg ngomporin atau enggak, mbah Harjo mengklaim area kamar sekam tadi sebagai wilayah miliknya. mBah menggugat ke pengaddilan. Itu terjadi sebelum aku pindah sini. Keduanya sudah wafat dan tanah ini jadi sengketa. Om Nio, anaknya, memilih nutup pabrik dan membiarkan tanah itu jadi sengketa.
Kok kamu tahu.
Dari cerita orang-2.
Di kampungmu.
Ya, termasuk dari Om Nio sendiri.
Kamu kenal?
Putrinya temanku SD.
Kamu main sama putri Giok ?
Ya kenapa ?
Kok mau ? Gati menatap tajam. Iya, kok mau anak perempuan kaya gaul sama anak macam kamu, meski kamu kaya tapi potonganmu kan anak kampung. Sama seperti aku. Meski ga pernah ketemu, pasti putri Giok itu perempuan modis.
Sampean memandang orang berteman karena pakaian atau karena ada maunya, kayak sampean terhadapku. Begitu kan ?
Klakep mulut Buset.
Temenmu tinggal di pabrik ini ?
Di rumah sebelah pabrik ini. Ada jalan ke sana. Dulu aku ke sini lewat lorong, dari rumahnya, yang terletak di jalan raya itu.
Berarti mereka ada dong di sekitar sini ?
Tidak. Mereka ke Surabaya tadi pagi sampai lebaran. Sekalian periksa kesehatan nenek Nio. Jam berapa kita sulut ?
Mungkin sebentar lagi. Kita dengar letusan mereka dulu, baru kita bom mereka. Ha...ha..ha.... mereka nembak sekitar lima menit sebelum buka.
Gati mengambil tangkai bambu kecil yag di sambung agar panjang dimana ujung terikat kaleng pendek. Ia menaruh karbit sebesar eteempol kaki , lalu menyiapkan botol aqua bekas yang berisi air. Tangkai kecil lain dari ranting pohon sepanjang semeter dengan ujung kain yang diikat untuk menyulut meriam telah siap dekat meriam. Gati mengambl botol aqua lain yng berisi minyak tanah.ia buka tutupnya lalu ia tuang minyak tanah ke ujung tangkai berombal itu.
Aku ulang sekali lagi ya, jalur keluar dari sini, kata Gati datar tapi serius kepada Buset.
Dari sini kita lari ke menara, naik lalu loncat ke atap pabrik. Kita menyusuri tepi atap sampai tembok itu. lalu kita terjun ke sawah. Dari situ kita berpisah. Terus bergerak sampai ketemu jalan raya aku ga mau sampean ngikuti aku terus. Kita harus berpisah. Dan jangan lupa, membasuh kaki yang belepotan lumpur di kali kecil di situ, yang aku tunjukin kemarin.
Mengapa kita tidak bersembunyi di sini saja,...di dalam cerobong misalnya. Aku bawa bekal buat buka. Teh manis dan singkong kukus.
Jangan ambil resiko sedikitpun. Lebih-2 bersembunyi di dalam cerobong. Di situ ada gas beracun.
Sok tahu, celetuk Buset,
Aku pernah mengalaminya. Waktu itu SD klas 5 dan belum lama kenal sama Theresia Mei atau aslinya Nio Mei Ling, pertama kali aku ke pabrik tua ini diajak main sama Mei dan tergoda untuk memasuki cerobong. Mei ga mau maka aku sendiri naik meski sudah diperingatkan Ning. Sampai di atas cerobong aku lihat pemandangan sawah-sawah yang terhampar menguning karena mau panen. Lalu aku turun melalu tangga sampai dasar. Belum lama aku berdiri di dasar cerobong tiba-2 cerobong goyang dan bergetar lalu bergerak, ya cerobong itu berubah jadi roket. Dan meluncur naik. Ya cerobong itu jadi roket dan terus naik. Lalu aku ndeprok mungkin karena sempoyongan. Meski pening aku berusaha berdiri dan melihat ke atas karena aku mendengar suara Mei memanggilku, sempat kulihat Mei menyusulku sampai atas cerobong tapi cuma melongok ndak berani turun. Ia memanggil namaku berkali-kali sampai aku tidak sadar. Tahu-2 aku dipanggul engkong Nio keluar dari cerobong. Aku masih ingat engkong memanggulku sampai atas cerobong lalu papanya Mei menyambutnya dan ganti memanggulku menuruni cerobong lalu aku tak sadar lagi. Tahu-2 sudah di kamar Ning di kerumuni semua keluarga Nio. Ada nenek Nio, mamanya Mei, yang memberiku minum. Ga sampai setahun kemudian, engkong wafat karena sakit apa, ga tahu. Yang jelas di usia sepuh, engkong masih sehat dan kuat memanggaulku.
Mei Ling itu cantik ya ?
Gati memelototi Buset. Lalu terdengar suara dentum. Blar. Berarti anak-2 seberang kali sudah menembakkan meriam mereka. Ah ga seberapa, guman Gati.
Gati memberi bulatan kapas dua buah kepada Buset. Jaga-2 gendang telingamu agar tak sampai robek. Kata Gati sambil memberi contoh dengan menyumpal telinganya dengan kapas.
Gati menuang air ke dalam kaleng berisi karbit yang terikat di ujung tangkai panjang. Karbit dan air bereaksi dan segera terlihat isi kaleng keruh dan mendidih. Baunya busuk. Mereka berdua pelan-2 memasukkan tangkai berujung kaleng isi karbit itu ke dalam pipa meriam lalu menutup lubang meriam dengan berbagai gombal sampai rapat,
Siap ? tanya Gati semenit kemudian.
Buset mengangguk sambil menyalakan korek api. Ranting dengan gombal berminyak tanah yang dipegang Gatii terbakar seperti obor kecil.
Buset menarik kain yang menyumpal lubang kecil di ekor meriam dan segera menjauh.
Sekali lagi Gati menatap Budi Setiajid dan dibalas Buset dengan anggukan. Obor kecil diarahkan ke lubang kecil tadi lalu ....BLAARR !
Bunyinya luar biasa dahsyat samppai merontokkan atap dan menggetarkan tembok bangunan tua.
Gati seketika mengajak Buset kabur tanpa lupa memggaet kembali semua bawaan yang sudah disatukan Gati ke dalam satu tas plastik. Mereka berlari kencang, Gati ga mau ambil resiko. Ia minta Buset di depan agar bisa mengawasi kalau Buset benar-benar tak sampai tertinggal. Mereka berlari dan meloncat melintasi cerobong, menyisir tepi atap lalu terjun dari tembok pabrik ke sawah. Gati memastikan Buset membasuh kakinya di kali pengairan sawah. Lalu berpisah setelah saling berpesan.
Lari terus. Kalo ketemu rumah atau jalan, jangan lari, pesan Gati.
Buset mengacungkan jempol sambil berpesan , subuh besok ia ke tempat dekat mushola sepeti biasa.
Adzan subuh berkumandang, Gati sudah nongkrong di bawah pohon mangga seperti. Setelah jamaah sudah pulang semua dan mushollan sepi, Budi Setiajid muncul, langsung saja menyodorkan uang 50 ribu kepada Gati. Tapi Gati menolaknya. Buat sampean saja.
Ayolah, kita memang sudah selayaknya berbagi.
Gati tersenyum.
Yo wis. Sekali lagi aku tawarin kowe untuk pergi bersamaku ke Batam. Aku punya saudara. Kita bisa numpang nginap di sana. Aku yang biayai semuanya
Gati cuma tersenyum.
Daripada di sini, laopo ? sekolah enggak, luntang-luntung, mending golek gawe ke Batam.


4 Bomber Dibawa Polisi


Polisi makin gencar memburu bomber. Pengaduan masyarakat cukup tinggi. Tentu saja walikota berang mendengar berita TV yang jelas-2 ngunggulkan bomber yang berarti menafikan aparat keamanan.
Hantu bomber makin gentayangan, makin tak tersentuh aparat keamanan. Ulah membom pabrik mie membawa korban seorang nenek harus dilarikan ke rumah sakit di Surabaya untuk mendapat , perawatan lebih intensif. Bukan itu saja, dampak ledakan sampai mengakibatkan kaca-2 cendela dan pintu pecah berantakan. Tembok-2 retak. Belum lagi atapnya.
Demikian siaran TV yang membuat Gati galau. Lalu ditayangkan keadaan pabrik yang memang porak poranda sejak dulu. Gati geram sama stasiun TV yg demen mendramaisir. Benarkah nenek Nio sampai dilarikan ke Surabaya gara-2 ulahnya menyulut petasan karbit racikannya ? Ia datangi rumah Keluarga Nio, tapi Theresia Ningrum memang pergi ke Surabaya. Makin galau hati Gati.
Ia pulang ke rumah bude Pademo. Mau ngaso, tiduran sebentar di lincak ruang tengah. Tapi tak jenak sama sekali. Ganti posisi, Gati duduk. Mikir mau ngapain enaknya. Ia setel TV. Cuma sebentar lalu dimatiin. Kenapa Le ? tanya bude Pademo yang tiba-2 muncul di belakang Gati. Enggan ia menjawab bude.
Gati mau keluar rumah. Mungkin ngadem di bawah pohon mangga dekat musholla bisa menyejukkan pikiran yang sumpek. Tapi bude mencegahnya. Ia menyuruh Gati duduk di dipan tempat bude Pademo bersantai meluruskan kakinya. Walau malas , Gati menurut. Ia selalu sungkan untuk membantah bude.
Kowe kepikiran opo tho, Le, tanya bude Pademo. Semula Gati diam saja, menunduk dan tetap murung. Dengan sabar bude Pademo menunggu. Gati mau buka suara ga jadi. Ngomong saja, keluarkan uneg-2mu sama bude. Jangan takut salah. Kalo toh umpama apa yang kamu omong itu keliru atau aneh. Kamu enggak perlu malu. Kamu ikut bude berapa tahun, Le ? Apa bude pernah marahi kamu, menyalahkan kamu ? Apa yang jadi beban pikiranmu ? Kalo kamu utarakan kan lega, siapa tahu bude biasa bantu.
Setelah diam sejenak baru Gati buka suara. Nenek Nio, bude.
Nenek Nio kenapa ? Dia memang sudah sepuh, wajar kalo dibawa ke Surabaya. Di sana perlatan dokter lebih komplit. Terus kenapa ?
Gati cuma menunduk tak berani menatap bude Pademo.
Nenek Nio sakit gara-2 petasan karbit kata TV, bude.
Tersentak bude Pademo mendengar penuturan Gati. Ia juga mendengar berita itu tapi tak disebutkan jenis petasan karbit atau apa. Mengapa anak ini dengan mantap menyebut petasan dari karbit. Jangan-2 dialah pembuatnya, dan berarti juga Gati-lah si bomber yang bikin geger sekota.ia menatap Gati dengan penuh selidik. Bude Pademo memang menyimak berita heboh itu yang menyebut korbannya sinden grup pengamen yang khusus banci. Karena bude diam, Gati mendongak untuk menatap bude Pademo.
O, jadi kowe prihatin mengapa nenek Nio sampai jadi korban ? ujar bude Pademo sembari balas menatap Gati. Gati tidak menjawab tapi tidak menyanggah juga.
Begini Le, bude tidak tahu maunya orang-2 nyumet mercon itu apa. Siapapun yang bakar mercon karbit tentu tak bermaksud buruk, sengaja mencelakan nenek misalnya. Mungkin si pelaku mengira pabrik itu kosong dan jauh dari rumah yang dihuni orang sehingga sampai makan korban. Ini pelajaran buat kita semua ya Le, masih bagus yang jadi koran itu orang lain, bukan siapa-2 bagi kita. Kowe khususnya. Coba bayangkan Le, umpama kowe jadi pelaku – sebut saja kowe si bomber, kowe yang nyumet mercon karbit, dan yang jadi korban nenekkmu sendiri, nenek yang kamu sayangi, apa nggak tambah sedih kowe.
Gati ibaratnya kena smes bude Pademo.
Lalu soal sinden itu Le, masih untung yang jadi korban itu orang lain, yang kowe tak kenal siapa sinden itu. Coba bayangkan dia itu emakmu sendiri ! kamu sedih atau marah, Le ? atau dua-2nya, sedih dan marah ?
Kali ini bukan Cuma smeh yang dilancarkan bude Pademo melainkan jab kiri kanan yang beruntun menghajar mukanya.
Makin muram si bomber alias Gati.
Setelah beberpa saat, Gati memberanikan diri bertanya. Bude, boleh aku bertanya tapi mungkin pertanyaanku ini menggelikan atau bahkan tidak pantas.
Silakan, Le. Ndak apa-2. Pantas tidaknya kan menurut kacamata masing-2 orang. Menurut kowe tidak pantas, menurut bude biasa-2 saja.
Emak sayang enggak bude, sama Gati ?
Bude tidak kaget karena suatu saat pasti akan dipertanyakan Gati.
Kowe mempertanyakan karena emakmu ninggalkan kowe begitu ? Gati mengangguk. Gati, kita tidak tahu alasan emakmu mengapa ningalkan kamu. Bapakmu juga ninggalkan kamu, bukan berarti tidak sayang sama kamu. Bapakmu cari uang dan terbukti memberi kamu uang. Untuk biaya hidup. Makan dan sekolah, lewat aku. Sekarang memang bapakmu tidak kirim uang, mungkin rejekinya lagi seret. Ora duwe duit. Coba lihat bude sendiri. Kadang punya uang banyak, bisa beri kamu dan dulur-2mu lauk enak. Kadang lauk tahu tempe karena ga ada uang. Sama dengan bapakmu, Le.
Tapi emak ? apa buktinya emak sayang sama aku?
Bude yakin, emakmu sejak dulu sayang kowe, anaknya. Buktinya ? ibumu menyusui kamu sampai habis ASInya, 2 tahun ! kalo kamu belum paham seluk beluk ASI, cari tahu. Jangan kamu kira semua ibu mau menyusi anaknya sampai habis susunya. Apalagi artis. Ibumu itu artis laris yang harus menjaga keindahan tubuhnya. Kalo dia menuruti tuntutan kebutuhan wanita untuk menjaga keindahan tubuhnya, ia akan milih menelantarkan kamu, ga perlu nyusui kamu.
Kok aku tahu? Tentu kamu betanya-anya begitu. Bapakmu yang crita. Bapakmu ga pernah bohong. Bude kenal bapakmu sejak SD. Kalau bapakmu itu oragnya mencla-mencle, demen bohong, bude mungkin emoh memperhatikan bapakmu.
Merasa cukup mendapat wejangan bude Pademoa, Gati pamit ke luar untuk cari udara segar.
Bude Pademo berdoa dalam hati, semoga masukan darinya bisa membuka cakrawala pikiran Gati sehingga ia tidak picik dalam bertindak. Namun masih tersisa kekhawatiran dalam hati bude Pademo, Suatu saat pasti Gati akan dengar celoteh orang-2 yang mengatakan sinden itu ibarat bunga kertas yang indah dan bisa dipakai bergantian oleh orang yang beda. Suatu saat ia akan dengar kisah tentang penari tayub. Suatu saat ia akan menginjak usia yang cukup untuk mencari tayuban. Entah pertanyaan rumit apalagi yang akan menggelayuti pikirannya kelak.
Gati duduk selonjor di rerumputan di bawah pohon manggs yang rindang. Angin semilir yang menyejukkan mengundang kantuk. Namun pikiran Gati masih gamang. Terlalu banyak bayangan hitam yang menyerang pikirannya, menyisakan kotoran yang membuat Gati resah. Kalau perempuan pisah dari suaminya, mau apa lagi kalau bukan cari suami lagi untuk hidup, cari makan. Apakah emak akan seperti itu.
Emakmu itu wanita terhotmat Le, camkan itu, kata bude Pademo. Itulah yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Tadi pun diulang lagi. Makanya kamu harus selalu berdoa untuk emak – bapakmu. Supaya dimudahkan segalanya, dimudahkan rejekinya. Siapa tahu rejeki emakmu bagus terus ingat kamu, lantas mencarimu ke sini. Berdoalah mohon kepada Gusti Allah agar senantiasa menjaga bapak – ibumu tetap di jalan yang benar dalam segala hal, terutama mencari rejeki. Berdoalah Le, berdoalah....kamu sekarang ga pernah sholat. Kenapa Le ? kalau kaowe ga sholat bagaimana kamu mendoakan emak-bapakmu, Le?
Sampai beberapa kali muncul wajah bude dengan segala petuahnya sampai ia tertidur di bawah pohon rindang itu.
Gati terbangun geragapan, entah gara-2 mimpi lagi atau apa. Ia merasa seseorang menepuk pahanya agar bangun. Ia tengok kemana-mana namun tak nampak siapa-2. Terdengar adzan berkumandang. Gati duduk termenung. Lama-2 lafal adzan menggugah memorynya. Jam segini biasanya ia bersama-sama teman-2 sebaya lainnya berlari ke langgar untuk sholat berjamaah disambung belajar ngaji. Tapi itu empat tahun silam waktu rumahnya masih di Kebonsari Kulon sana.
Sekarang mengapa tidak sholat tapi puasa? Gati tak bisa menjawab pertanyaan dari dirinya sendiri itu. Hati kecilnya menyalahkan dirinya sendiri. Gara-gara jengkel lantaran banyak hal sejak pindah ke kampung ini, eh bukan sejak bapak membawa ibu baru, eh sejak ibu baru menghilang lagi lalu bapak juga pergi, ah lupa aku sejak kapan aku malas sholat. Betul, memang aku jengkel pada nasibku yang tak kunjung berubah. Buat apa sholat jika tak membawa perubahan apapun. Malah lebih apes. Demikian gejolak batin Gati.
Gati berdiri dan berniat pulang untuk bersih-2 rumah bude seperti biasa sebelum mandi, kemudian jalan-2 ke pertokoan untuk cuci mata seperti biasa. Lalu cari mangsa , barangkali masih tersisa sinden banci yang keliaran. Tiba-2 teringat omongan bude pademo. Coba bayangkan emakmu yang jadi sinden, kowe sedih atau marah ?
Langkah Gati terhenti oleh anak kecil yang menghalangi jalannya. Mas, temeni aku ke musholla, ajak bocah laki-laki bernama Soni Abdullah (8 th). Gati hanya tersenyum dan tetap mau melangkah. Mas ga bisa sholat ? tanya Soni. Gati diam saja. Aku juga belum lancar doanya tapi emakku memaksaku untuk ke musholla belajar ngaji. Iqra juga plegak-pleguk, mas sekarang mau kemana ?
Pulang.
Aku ikut mas Gati aja, daripada ke mushollah jadi enthung, Yuk mas, ke rumah mas, ajak Soni sambil menggandeng tangannya.
Gati tak segera menuruti ajakan anak kecil itu sebab kepalanya serasa mau pecah. Ia jengkel kepada Tuhan. Jangkrik, umpatnya. Ya Tuhan mengapa Engkau kirim iblis cilik untuk menggoda diriku agar lebih tersesat lagi jalan hidupku. Aku sudahh merasa bersalah atas diri nenek Nio lantaran ulahku, kinipun aku Kau kirim setan ini untuk mengajakku menyesatkan diri. Engkau tahu aku sulit menolak permintaan siapapun. Aku menuruti kemauan Budi Setiajid yang akhirnya membawa korban nenek Nio. Aku mau saja disuruh bapak agar sudi memakan makanan apapun dari ibu tiriku yang jelas sering tidak enak. Kini anak ini ajak aku untuk bersama-sama menjauhi ibadah. Begitukah caraMu bekerja Tuhan ? kau beri hambaMu ini godaan agar pelanggaranku makin paarah dan makin “enak” bagiMu untuk menghajarku dengan jutaan dera. Itukah mauMu ya Tuhan ?
Mas, ayo jalan, kata bocah itu sambil menyentak tangan Gati agar melangkah.
Tidak, aku mau ke mushola, tandas Gati.
Lho, katanya...., protes si bocah yang dibalas Gati dengan gelengan kepala dan merentangkan tangan tangan kanan menunjuk musholla.
Mas, bisa sholat bisa ngaji ?
Gati mengangguk lalu ganti menarik tangan bocah untuk mengikutinya ke musholla.
Sampai di mushollah, anak-2 yang biasa bermain dengan Gati segera menyambut dengan hangat. Iqamat dikumandangkan. Salah satu anak memberi sarung inventaris meushollah kepada Gati. Usai sholat berjamaah, Gati pindah duduk ke belakang untuk baca doa.
Kebiasaan di kampung situ usai sholat Ashar, lanjut belajar ngaji. Ustad muda Emir Wahono, mengajak murid-2nya duduk di shaf agak belakang dan mulailah belajar iqra. Gati mau pulang. Ia beringsut mundur tapi Soni memberi isyarat dengan tangan agar jangan pulang. Tapi Fati berkeras mau pulang, tetap mundur. Soni berdiri mau ikut. Terpaksa Gati batal pulang dan duduk dekat mereka yang belajar baca Al Quran.
Giliran Soni diminta melafalkan Surat Insyiriah, Ustad banyak menegur untuk memperbaiki cara bacanya. Tiba-2 ia berdiri, menghampiiri Gati untuk menajaknya pulang.
Ayo mas pulang, aku ga bisa ngaji, salah melulu.
Soni, ga boleh begitu, kata Gati. Emakmu pasti marah kalau tahu kamu ngambek kaya gitu. Begini, begini, mas ajarin, tutur Gati setelah kasih isyarat ustad untuk minta ijin. Ustad mengangguk. Gati menggiring Soni kembali ke tempatnya semula.
Dengan pelahan dan sabar Gati menjelaskan cara bacanya. Alam nasyrah laka sod-dek-rok, lihat tanda di tas ini. Kalau nafasku kuat, terusin. Tapi harus fasih dulu kelanjutnya apa. Jangan di hafal ya, ayo ulangi pelahan, .... Soni mengulang membacanya. Dan seterusnya sampai selesai satu ayat.
Ternyata bukan Soni yang minta dipandu Gati, semuanya minta. Gati merasa ga enak ati. Ia memandang ustad Emir dan ternyata malah mengacungkan jempol. Jadilah Gati menuntun semua bocah untuk belajar membaca surat Quran. Usai ngaji Ustad Emir minta Gati membantu dirinya saban sore untuk mengajar ngaji anak-2.
Gati mengaku dirinya baru khatam sekali belum pantas untuk mengajar iqra. Tetapi menurut Ustad. Tak perlu risau. Kekurangan Gati adalah kekurangan kita semua. Karena belum lama jam terbang. Tapi aku selalu di sana, tetap mendampingi. Kelebihan kamu adalah kamu dicintai anak-2, kamu disukai mereka. Kehadiranmu di ini menyegarkan semangat belajar mereka.
Maka selama dua hari saban sore Gati ikut ngaji bersama anak-2 di musholla. Gati juga senang disukai anak-2. Dan ini tak dinyana-nyana. Sampai pada sore berikutnya, dua hari menjelasng sholat iedul fitri, polisi menjempitnya di depan musholla selesai ngaji. Anak-2 ribut. Tidak terima Gati dibawa polisi, dengan alasan apapun. Terpaksa beberapa polisi turun mengamankan jalannya penangkapan. Komandan regu minta bantuan ustad untuk menenangkan anak didiknya. Saya sama sekali tidak menghendaki cara jemput paksa, kata komandan. Tidak baik kalao dilihat anak-2. Sebisa ustad sajalah bagaimana merayu muridmu, toh tetap anak ini kami bawa ke kantor polisi.
Ustad Emir kelabakan. Ia ke rumah bude Pademo, yang kemudian juga bingung. Siapa yang akan mengurus bocah ini. Suaminya sakit tua. Anak sulungnya di Surabaya, tugas akhir sekolah pelayaran. Dia sendiri tak mungkin mondar-mandir rumah-kantor polisi karena masalah usia dan ekonomi. Bapaknya Gati masih hidup tapi tidak ada yag tahu bagaimana dan dimana menghubunginya. Kamitua kampung itu juga tidak bisa mutusin kecuali minta tolong ustad Emir mengurus masalah ini. Karena masih muda.
Ustad Emir bersedia mengurusnya tapi minta ijin mau istirahat dulu karena sudah larut malam. Ustad dan siapapun warga kampung itu bisa tidur di rumahnya masing-2 sementara Gati hanya bisa ketap-ketib matanya di sel tahanan polisi kota gaplek. Tak ada yang tahu atau membayangkan nasibnya besok bagaimana. Jangka pendek atau jangka panjang.
Bagda ashar berlangsug rapat di rumah orang tua Soni Abdullah untuk membahas tindak lanjut perkara Gati. Selain tuan rumah yang ikut aktif karena didesak Soni, anaknya, agar bantu menolong Gati, hadir ustad Emir, Ustad Zen dari desa Kebonsari Kulan, kampung asal Gati. Hadir juga sesepuh kampung serta Om Nio, ahli waris satu-2nya bekas pabrik mie. Ia hadir akrena alasan yang sama. Putrinya. Theresia Mei Ling, merengek minta dia mengurus perkara Gati.
Begitu mendenganr selentingan kabar bahwa Gati ditangkap polisi, Theresia Mi Ling segera menemui bude Pademo untuk mencari kebenaran berita itu. Bude Pademo membenarkan berita itu sambil mengeluh siapa yangg akan mengurus perkara ati. Mei langsung pulang secepatnya, Sepeda ontel merk terkenal ia kayuh sekuatnya supaya lekas sampai di rumah, dan begitu sampai ia meneruskan critanya dengan menangis tersedu di depan papa, mama, dan neneknya.
Tuduhan pertama, menciptakan kebisingan yang mengakibatkan orang lain jadi korban meski termasuk paling ringan. Meningat korban lika tidak parah, kerugian material tak seberapa. Tetapi tuduhan kedua yang berat, pencurian. Ia dituduh terlibat pencurian sejumlah besi bekas di pabrik mie yang mengakibatkan kerugian materii mencapai jutaan rupiah, demikian Ustad Emir memaparkan hasil kunjungannya ke kantor polres tadi pagi.
Peserta rapat sama sekali tak mengira perkara Gati sampai menjalar ke kriminal.
Akibatnya uang jaminan untuk mengeluarkan Gati cukup besar, khususnya bagi keluarga Gati, kata ustad Emir.
Maaf Pak Ustad, apakah itu semua sudah atau bisa terbukti? Tanya om Nio.
Saya juga sempat menanyakan hal itu. Terbukti jika tersangka lain, yang sudah kami tahu identitasnya dapat kami tangkap secepatnyam kata polisi. Tersangka kabur, diperkirakan ke Batam.
Ustad Emir melihat gejala kenakalan Gati, lebih2 mengarah ke kriminal , pada diri Gati, akan terus melekat atau..., tanya bapaknya Soni yang memimpin rapat.
Memang saya baru mengenal Gati dalam beberapa hari ini, tutur Emir. Tapi saya yakin ia anak baik. Ia lumayan fasih baca Quran untuk seusia dia, dengan latar belakang seperti itu. Maaf saya bukan menjelekkan, maksud saya latar belakang nya tergolong rumit, itu saya ketahui setelah ngobrol banyak dengan bude Pademo yang selama ini mengasuh Gati.
Biasa saja anaknya, kata bude Pademo. Sama seperti anak lain, cuma dia lebih rajin, suka bantu saya. Bersih-2 rumah dan jualan kue. Ga pernah saya tegur, apalagi memarahi. Ya karena tidak perlu. Hanya saja belakangan ini ia hatinya gundah setelah mendengar berita TV yang mengatakan nenek Nio sakit dan dibawa ke Surabaya gara-2 bunyi petasannya. Sejak itu kata bude, ia selalu muram.
Om Nio mendongak mendengar penuturan Emir. Karena ibunya tidak apa-2 setelah letusan petasan. Ia kaget memang sebab kenyataannya kebetulan ibunya sedang berada di kamar mandi waktu meletus petasan karbit itu. Kamar mandi di rumah memang tertutup rapat, nyaris kedap. Suara apa itu, gempa tah? Tanya ibunya sekeluar dari kamar mandi. Fakta ini diutarakan Om Nio.
Om Nio, boleh saya tanya sedikit, kata bapaknya Soni. Memang benar nilai besi bekasang dicuri sebesar itu?
Om Nio tersenyum. Itu kan taksiran. Orang boleh memasksir barapa saja.
Tapi kan ada patokannya, Om, sahut salah satu sesepuh,
Sekarang begini ya, kata Om Nio. Saya punya besi tua sekian ton. Harga jual pasaran tiga ribu per kilo. Harga besi tua tidak stabil. Harga hari ini bisa berbeda jauh dar harga besok. Mau saya, besi laku sesuai harga pasaran. Tapi kenyataannya pasti mereka tawar, belum ongkos angkut dan calo. Beratnya pun belum tentu benar. Saya periksa besi tua pabrik yang hilangm ternyata tak seberapa. Sekuat berapa kilo membawa besi tua dari pabrik kecuali lewat depan lho.pakai truk.
Tapi berapapun yang hilang, bila terbukti, bisa kena sanksi, ujar sesepuh Wignyo Narasoma yang rupanya paham hukum. Sanksi kan tak pandang nilai barang. Orang nyuri sendal jepit saja bisa dihukum penjara.
Sesepuh minta konfirmasi moral Gati waktu kecil kepada ustad Zen yang saat ini sudah berusia 40 lebih dan telah dikaruniai putra. Ahmad Herucokro, 5 th. Namanya. Waktu Gati nyantrik di rumahnya dulu, Zen hanya berdua sama istrinya di rumah.
Selama ikut kami, tidur di rumah – meski kadang pulang ke rumahnya, Gati tak menunjukkan gelagat anak nakal. Ia penurut, pendiam tetapi bukan pemalu. Tutur katanya halus dan ga pernah mencuri. Di rumah kami, saya dan istri sering ceroboh. Menaruh uang sembarangan, misalnya. Tidak banhyak sih. Paling ribuan, lima ribuan. Anak seumur itu biasanya suka jajan dan ia akan minta sangu (bekal uang secukupnya sebelum berangkat seolah) kepada orang tuanya. Bapaknya kaya waktu itu tapi jarang kasih uang. Bukan pelit tetapi mungkin tak sempat bangun pagi atau gimana. Sering ke sekolah Gati tak bawa uang sepeserpun. Kalau bawa kebetulan bapaknya bangun pag ataui karena mau pergi. Kami berdua kerap menanyakan apakah dibekali uang. Gati sering menggelneg kepala. Jika kami beri sangu ia tak mau. Kami sayang sekali sama Gati. Mencuri jelas mustahil, menurut saya. Sampai sekarangGati tetap kayak dulu. . Saya berani jamin itu.
Kalau kenakalan nyulut petasan, saya kira karena jiwanya sedang labil saja. Tambah ustad Zen.
Akhirnya rapat memutuskan untuk mengutus tim pembebasan, dengan ketua Wignyo Narasoma. Winyo dan ustad Emir jadi duta nego. Lainnya e nunggu di luar kantor polisi dan siap beri dukungan resmi sebagai penjamin moral Gati. Dana disiapkan, jika minta terlalu tinggi, lebih baik saya panggil teman-2 pengacara untuk menangani langkah ini, ujar Wignyo. Saya yakin bukti materilnya lemah, tandas sesepuh berusia enam puluhan itu. Om Nio menawarkan diri sebagai penyandang dana. Bapaknya Soni bilang akan bantu pendanaan. Tim berangkat sore itu juga dengan dua mobil, punya Om Nio dan bapaknya Soni.
Aparat minta dua juta. Wignyo menolak keras setelah menyerahkan kartu namanya. Alasannya, Gati tak punya wali. Aparat menyebut rumahnya bisa digadaikan atau dijual. Digadaikan? Bapak yang mau bayar cicilan utangnya, kata Wignyo, Bisa saja dijual, bapak yang bel ? Atau bapak sudah menemukan calon pembelinya ? cecer Wignyo beruntun.
Sekarang begini sajalah, kami keberatan kalo segitu, bahkan separo saja keberatan, saya tak akan mengajukan tawaran apa2. Sekali lagi saja bapak berikan angka, kami akan setuju atau tidak, kalau tidak saya bisa siapkan tim pembela. Nih kartu nama lama saya, kata Wignyo sambil menyerahkan kartu nama firmanya. Wignyo Herucokro, SH dan Rekan, Biro Bantuan Hukum.
Aparat menyodorkan angka, Wignyo menggeleng. Akhirnya tercapai kesepakatan. Gati keluar sore itu. Dana 400 ribu diberikan Om Nio dan tak mau dibantu Bapaknya Soni. Saya masih ada, simpan saja pak atau buat dana pancingan biaya sekolah anak ini, siapa tahu yang lain terus ikutan beri santuanan, kata Om Nio.
Gati keluar dari sel dan segera memeluk dua ustad sambil menangis. Lalu berucap alhamdulillah. Tak lupa ia memberi salim kepada semuanya.
Gati, kowe masih ada rumah di sana, di kampung kelahiranmu. Kamu sekarang punya adik, mak Siti selalu menanyakanmu Le, main ke sanalah ? kata Ustad Zen. Gati memeluk ustad dan menagis lagi. Ustad Zen membelai rambutnya lalu menepuk pundaknya.
Azan magrib berkumandang. Sejam kemudian takbir terdengar setelah pemerintah mengumumkan besok hari raya Iedul Fitri. Bude Pademo dan suami serta dua anaknya dan Wisang Gati berkumpul bersama di depan TV.
Kowe ga ikut takbir Le, Gati ? tanya Bude Pademo. Ayo berangkat Gat, ajak Gito, putra bude Pademo yang setahun lebiih tua dari Gati. Gati menyambut ajakanya dengan senyum dan menggelengkan kepala.
Pak, njenengan sholat Ied ora ? Yen ora, sajadah-e ben dinggo Gati.
Ora, katanya datar,
Aku bimbing Pakde, ya. Pelan-2...atau aku bisa pinjam becak kang Diman, kata Gati bersemangat.
Pinjam, pinjam enake, terus dia ga cari duit apa ? celetuk Dyah Utami, putrinya bude Pademo yang SMA.
Terdengat suara perempuan permisi dan mengetuk pintu. Theresia Mei Linh bertamu. Ia membawa tiga set sajadah, 2 baju muslim dan 2 kopiah hitam beludru, serta 1 mukena buat Dyah.
Baju ini dari nenek buat Gati, kataTheresia.
Terim kasih, nduk. Nenek bagaimana setelah periksa di Surabaya, tanya Bude Pademo.
Iya, ga apa-2, nenek ke Surbaya kan memang waktunya periksa, chek up. Tidak sakit apa-2 kok. Hasilnya baik.
Bisa jalan, tanya Gati.
Bisa lah, dari dulu juga bisa jalan, kamu jangan salah sangka. Nenek ga perna sakit, apalagi sakit parah. Kamu kapan main ke rumah ?
Gati tertegun, bingung mau jawab apa.
Besok, jawab bude Pademo. Gati memalingkan wajah untuk menatap bude. Pulang dari sholat ied, kamu sungkem sama sesepuh dan tetangga, teman-teman, siang kan bisa ke sana to, Le? Kata bude.
Iya, besok siang, Mei, kata Gati. Duduk dulu kenapa ?
Terima kasih, ditunggu mama papa di mobil. Kapan-2 papa mama sowan kemari, bude. Oh ya, ada bingkisan nih, kata Theresia Mei Ling lalu keluar sebentar untuk mengambil kantong plastik berisi makanan.
Ini lotong cap gomeh, bisa buat besok sehabis acara sholat di lapangan. Selamat hari taya ya semuanya. Mohon maaf lahir batin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar