Senin, 14 Januari 2013
SURAT PHK DARIKU UNTUK ULUPI TERSAYANG (bagian-3)
Entah pada bulan ke berapa, suatu hari Sabtu malam saat di rumah kontrakan Denok, berlangsung cekcok antara Denok dan kekasihnya. Sampai jam 9 lewat, perang mulut masih berlangsung . Upi keluar dari kamar Denok --arena pera ng-- lalu menhampiriku yang hamper sejam “setia” menungguinya di ruang tamu dan mengajakku “Ayo pulang, Mas.” Upi keluar rumah begitu saja tanpa menanti yang punya rumah keluar. Lha aku bingung. Pulang ke mana? Mbaknya kan sudah lama ga di Yogya lagi. Ya sudah, kayak kebo nyusu gudel. Aku ngekor Upi saja.
Selama mbonceng, Upi diam saja. Aku bawa kemana anak ini, pikirku. Aku arahkan vespa sujperku ke Gejayan, arah koontrakan, Upi diam saja. Sampai di rumah hampir jam sepuluh. Tumben sepi. Entah pada kemana atau sudah tidur? Kayaknya ga ad yang tahu aku bawa cewek ke kamarku. Aku masuk sama Upi juga ga perlu mengendap—endap. Aku ke kamar mandi cuci kaki, masuk kamar. Gelar kasur gulung buat Upi di tepi dinding satunya, jadi tidak berdekatan. Aku siapkan teko isi air putih dan gelasnya, lalu aku minum sebelum berbaing, siap tidur. “Pi, seharian aku tadi ke kampus lalu ke rumah Denok…jadi aku bener-bener lelah sekarang. Aku mau tidur dulu ya?”
Upi mengangguk. “Kamu butuh apa, sebelum aku lelap?”
“ada kaos buat tidur ga Mas?”
“Amnbi saja di lemari.”
Upi ambil kaos lalu buka pintu mau ke kamar mandi kali. Tapi ga jadi, setelah melongok keluar. “Mas di pekarangan belakang aku lihat ada orang laklaki.”
“Yang punya rumah, Om Tan. Ga papa, aku kenal baik sama dia kok,”
Aku sungkan mas, anterin ke kamar mandi dong, pinta Upi.
Mau pipis? Tanyaku. Enggak, aku sudah pipis di rumah Denok tadi. Mau ganti baju.
Ganti baju aja di sini, kataku datar. Upi manatapku sejenak. ‘Matikan lampu, ga papa,’ saranku.
Tanpa ekspresi apapun, dengan santai Upi melepas pakaian atasnya. Ia tetap menatapku. Upi buka baju tanpa matikan lampu. Tapi tetap saja gelap, wong aku merem.
Sabtu pagi itu awalnya mendung – tidak berarti kelabu bagiku, meski temen-temen gerombolannya Anton mengira aku lagi sendu. Tumben mereka ngumpul. Sejak jam 10-an mereka berdatangan kecuali Victor, Ambon muda sebelah kamarku. Ga seperti biasanya. Alex yang asal Payakumbuh bawa pacarnya, Wuryaningsih – kecantikan ndesonya kental dan mempesona. Wury asli Wonosari. Ia ditemani Liz – Elizabeth, kekasih Tony. Beda dengan Wury yang lugu dan sederhana, Liz modis. Menunjukkan tipe perempuan kota besar. Ia berasal dari Surabaya kota. Beda dengan Anton yang dialiri darah Tionghoa, Liz jowo putih. Satu lagi dari Padang ga bawa pacar, sedang si Batak satunya memang belum punya. Kecuali Alex dan pacarnya, semuanya temen Tony jebolan asrama yang sama , tak jauh dari situ. Liz masih di asrama Putri di Samirono. Aku pernah diajak Antonblusukan ke sana malam hari. Waktu acara kesenian apa-- ah lupa aku. Aku digiring Anton masuk ke ruang ganti/rias pemain yang notabene cewe-cewe centil asrama, sebelum aku dipanjer di belakang panggung. Tujuan Anton cuma satu : supaya aku dapat cewek. Kok begitu saktinya si Anton sampai ke amanan di situ diam saja ketika ia bilang “ini konsultanku” sambil menunjuk diriku. Dia memang sebagai penasehat acara, sekaligus pelatih grup nyanyi yang akan manggung.Anton mahir main akustik klasik.
Sementara mereka ngobrol dan bercanda di ruang tamu depan, aku duduk sendiri di kursi kayu biasa dengan meja kecil di sudut ruang tengah yang luas ( 8 m x 8 m) --- mungkin ini ruang santai yang biasanya dipenuhi satu set sofa lengkap dengan TV besar dan set stereo, lalu ada kursi dan meja makan panjang. Aku memang suka menyendiri , jarang nimbrung. Kecuali malam di atas jam 10, main gaple bareng-2 sampai pagi !
Liz menghampiri ku, diikuti Wury. Liz memang akrab sama akulantra memang suering ke rumah. Sementara Anton pacarnta masih molor, pagi-pagi Liz datang untuk membersihkan dan merapikan kamar . Setelah selesai biasanya ia keluar bawa cangkir isi the bila aku lagi duduk seperti saat itu. Lalu kami ngobrol suroboyoan. Sama Wury akrab juga cuma karna jarang ketemu, agak rikuh juga.
“Areke tekone sore ya Ga, “ Liz buka suara.
Aku tersenyum sebelum menjelaskan bahwa Upi ga bakal datang. “Sudah aku kirim surat PHK rebo wingi pakai Kilat Khusus.”
Opo iku PHK mas? Pemutusan Hubungan Kerja? tanya Wury.
Pemutusan Hubungan Kemesraan, jawabku kalem.
Lha opo-o se? respon Liz. De-e ketoke-e apik ngono lho. Semanak, supel, putih ayu,…Kowe natih ketemua Upi ga, Wur?
“sepisan…aku kan jarang rene. Tapi ketoka-e bener kowe, bocahe lugu.”
Anak-anak ribut di ruang depan. Aku dapat kiriman paket dari kampong buiatku. Buru-buru aku masukin kamar lalu aku tutup pintunya supaya anak-anak ga masuk untuk melihat isinya. Tapi Anton masuk juga. Kami buka kardus besar itu. “Pelem ya Yok (Tony memanggiku Yoyok), lumayan arek-arek wis ngenteni kapan budale mangan-mangan.”
“Koen kandani Ton?” protesku. “Aku kan ga tau duwe duik lebih ben bulan, endi areka akeh pisan.” Bojoku sing ngandani, kilah Anton.
Paket terbuka. Isinya sajadah tebal dan indah serta sebotol softdrink Champindo. Diselipin kartu “Selamat Ulang Tahu ya Yo. Sukses, cepet dapat jodo….salam, Mas & mBak”
Adow, aku bilang apa sama anak anak di luar nanti. Aku duduk lagi ke tempat semula, Anton gabung lagi sama gangnya. Riuh rendah mereka nanyai Anton dan Anton jadi jubirku kali ini.
Tiba-tiba clometan anak-anak berhenti, lalu terdengar mereka dngan santun mempersilakan tamu masuk. Dan masasuklah dua perempuan dengan langkah gagah bagaikan serdadu wanita. Mereka berdua mendatangiku. Mbak Mimin dan mbak Ratri.
Aku berdiri menyambut dan mengulurkan tangan untuk berjabat tapi mereka menolak. Aku persilakan duduk. Mereka malah menatapkan tajam dan dingin. Si Batak dan satu lagi berteriak mengajak masuk tamu lainnya.
Sama siapa lagi, mbak? Kok ga ikut masuk?
Pacar dia dan adik laki-lakiku. Kamu tahu dia baru lulus Akabri kan? Ujar mbak Mimin. Nadanya seperti mengancam.
Kamu tahu mengapa kami ngluruk ke sini? Tanya mbak Mimin.
Aku menggeleng kepala
Mengapa kamu kirim surat ini kepada adikku, Ulupi? Kata mbak Mimin sambil melempar suratku yang kukirim Rabu kemarin ke kontrakan Upi di Klaten .
Apa maksudmu? Kata mbak Ratri dengan nada tegas tapi tidak teriak.
Maksutku ya seperti tertulis di surat itu…aku kasih saran supaya Upi jangan tidur sini lagi, kan ga enak aku sama orang-orang …..
BOHONG ! Kamu bohong ! teriak mbak Mimin. Suara menggelegar kayak rocker.
Tentu saja anak-anak serentak mendekati jalan masuk ruangan tengah untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka mau mendekati kami tapi dihalau Atan. Dengan isyaat tangan, Anton minta bolo-bolone tidak ikut campur….Tony minta temen-temannya mundur dan diam.
Mbak tahu, aku ga pernah bohong…,
Mbelgedes ! semua tahu kamu pinter. Pinter sekolah, piintar debat. Semua tahu. Kamu juga pandai bikin karangan, nulis artikel untuk Koran, aku ngakui kamu pintar. Tapi adikku Upi masih precil, masih lugu. Mudah bagimu untuk memangsa dia. Nih lawan aku. Ayo debat aku sekarang !
Mbak sudah baca kan suratku? Aku Cuma bilang demikian intinya, aku tidak bilang aku ga mau menemuinya…
Ular kamu ! bentak mbak Min lalu seketika maju hendak menamparku. Tapi mbak Ratri mencegah dengan memeluknya.
Rupanya Liz ga sabar. Dia mendatangi kami.
“Nyuwun sewu ya mbak-mbak….kita di sini kan tamu,….aku tamu. Njenengan yo tamu, ayo bicara baik-baik….bicara secara dewasa,” kata Liz
“Kalian tak perlu ikut campur,….ini urusan keluarga !”
Lho iya monggo, urusan keluarga yo ayo dirembug sing apik…” kata Liz
“Baik, rembugan. Asal tahu saja kalian semmua, bocah ini hendak merusak adiku, hendak mencemarkan keluargaku.”
“Mencemarkan bagaimana mbak? Upi cerita apa sama mbak berdua?”
Eh. Mbak Min emosi lagi . Dia maju dan berusaha menjamahku dengan kasar. Tapi mbak Ratri memeluknya lagi.
Sabar mbak, sabar, kata Liz. Memang Upi kenapa ? Tanya Liz. Lalu tambahnya, aku sudah akrab sama Upi dan sama mas Yo ini juga sudah tahunan aku kenal. Setahu ku, mas ini ga pernah anah-aneh kok…
Akhirnya mbak Ratri cerita bahwa Upi mke rumahnya di Solo, menunjukkan surat dariku. Upi menyampaikannya sambil nangis….kubaca surat itu lalu ketika aku minta adikku menjelaskan, Upi tidak bisa berkata apa-apa kecuali menangis. Sejak itu dia di rumahku, mengurung diri, tak mau kerja. Aku pangill mbak Min…..
Aku ga ngapa-ngapain dia…..bener…., kataku tanpa ragu-ragu.
Ya enggak mungkinlah laki perempuan tidur sekamar malam, ga ngapa-ngapain….ga masuk akal. Memang aku anak kemarin sore yang mudah kamu bohongin? Kata mbak Min. Aku tahu Upi sering ke sini sabtu dan minggu. dia sudah sering bertemu denganmu berdua, di kamar. Ya kan?
Aku diam saja.
Apa kamu kira aku tidak tahu, kamu bergaul dekat dengan adikku sejak di kontrakan Gejayam dulu? tetangga juga crita kalo kalian sering guyon, cekikan berdua saat kami tinggal pergi.
Ya, tapi kami hanya sebatas itu mbak, kataku.
Betul. Tapi itu bisa meningkat lebih jauh manakala kalian berduaan terus menerus bertemu tanpa ada yang mengawasi, uhar Ratri.
Memang Upi bilang aku mencemari dirinya begitu? Tantangku.
Dia perempuan. Masih belia pula, masih bau kencur. Mana berani dia mengaku, ya malu lah. Cobalah memahami perasaan wanita, dik, sahut Ratri.
Akhirnya tidak ada titik temu. Mbak Min kukuhh dengan pendapatnya dan minta pertangungan jawab., sementara aku berkeras hati tidak melakukan apapun.
Akhirnya mereka pulang meninggalkan ancaman buatku. “Awas kalau terjadi apa-apa pada adikku. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana keluargaku?” ancam mbak Min.
Begitu para tamu menguap, anak-anak menyerbu diriku. Hampir bersamaan mereka bertanya seputar malam itu. Aku biasa saja menghadapi mereka. Seolah-olah sudah professional sebagai narasumber melayani serbu pertanyaan wartawan
Anto ambil komando. “Udah, udah….kita makan-makan dulu. Dua cewek naik mobil si Padang itu…” kata Anton tapi dipotong Alex, si Padang lainnya. “aku ga bawa kendaran, Ton. Ketinton, Alex menjawab, Lagi sekolah Ton, he…he…, sahut Alex. (Istilah sekolah untuk digadaikan). Yo udah, kau pakai GL aku. Aku mboncen Yoyok, adikku iki yang lagi Happy hari ini,…ya ga Yok?
Kemana kita? Tanya si Batak .
Bakso yang enak mana? Kata Tony.
Rombangan berangkat, termasuk si Padang Alex. Ton, panggilku kepada Anton sembari kasih isyarat tanggn bahwa aku ga punya cukup duit. “Koen iku ngomong koyok mbik sopo ae, Yok….” Ujar Tony.
SURAT PHK DARIKU UNTUK ULUPI TERSAYANG (bagian-2)
Udah….cukup gitu aja,….begitu dia baca langsung dia buru buru ke sini. Percaya deh….”
Aku lupa apa yang kutulis tapi memang akhirnya aku buat surat (cinta?) juga buat Ulupi. Surat aku berikan mbak Mimin lalu aku pulang. Jadi aku tidak lihat sendiri apakah adiknya mbak Mimin datang apa tidak, dititipkan atau malah lupa. Yang jelas aku benar-benar lupa karena aktivitasku makin padat. Aku jarang ke kontrakan mbak. Kabar terakhir mbak Mimin sering pergi ke lapangan untuk praktek dalam rangka persiapan tugas akhir. mBakyuku sendiri juga mulai sibuk persiapan skripsi. Terakhir aku bertemu mereka saat mbakyuku pulang dari wisuda. Ia akn pulkam, ya seterusnya. Mbak Mimin memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrakan karena ia ke kampus hanya untuk konsultasi. Waktu bertemu, mbak Mimin juga tidak menyinggung Ulupi sama sekali. Seingatku dia juga tidakn berusaha mengalihkan pembicaran atau menutupi apapapun, andaikata misalnya Upi ternyata menampikku. Dan aku memang benar-benar lupa sehingga ga ada itu patah hati atau rindu dendam.
Aku pindah ke Jl Karang Asem, masih di Selokan juga. Bedanya, aku tinggal di rumah kontrakan cukup megah dan luas. Kamarku saja 4x4 meter. Bukan aku atau keluargaku makin kaya, tapi karena diminta sahabatku menggantikan temannya untuk meneruskan menempati kamarnya karena ia sudah lulus. Dan sesungguhnya aku ibarat proletar terjepit dua kapitalis gemuk. Kamar sebelahku kakak beradik dari Ambon. Satunya, Anton, sahabatku itu. Ia, peranakan Tionghoa asal Pasaruan. Beruntung mereka semua baik-baik dan tidak jaim menurut istilah sekarang. Tapi bandelnya rek…idih…terutama Anton dan “gang”nya. Urakan, minum-minum, nggelek ato narkoba sih tidak. Cuman demen mainin cewek. Semuanya, kompak. Padahal mereka jebolan asrama ternama. Padahal mereka hamper semua punya pacar. Pernah pula aku diajak “pesta” tapi aku menolaknya secara halus dengan alasan sibuk menyiapakan makalah. Bahkan Viktor . Sampai-sampai salah satu dari mereka bilang (bukan Anton, karena aku tahu dia sungkan sama aku), “Ayolah mas,….sekali ini saja….mas duluan deh…” Up, batinku. Lebih baik aku menyingkir. Tapi aku tetap akrab sama mereka dan mereka memang sering nraktir aku makan . Anton paham diriku, maklum sudah tahunan berteman. Ia tahu aku fleksibel orangnya. Borjuis bisa, tp blusukan sampai Terban Code oke saja. Maksutnya bukan stempel kutu buku yg menempel di dahiku. Tony tahu aku punya gumpulan teman main bermacam-nacam. Tapi batangan semua. Ada grup video, anak jawa semua, termasuk Madura. Kelompok suka nonton bareng video rated X hingga XXX di Gedong Kuning. Anton tahu aku penah jualin video biru ori punya Om Tan. Pemilik rumah kontrakan di Karang Asem. Lalu ada grup Sapen. Campuran anggotanya. Batak, Aceh, dan Jawa timur “halus” (seputar Madiun). Mereka semua pernah satu kos di rumah besar di Sapen-Gendeng. Grup ini sekali-kali minum dan isap ganja kering. Tapi belakangan aku ga bisa nggelek atau nenggak dry gin atau Johny sehingga kutinggalkan. Satu lagi grup main kartu di Pringgondani. Main gaple atau remi kampong. “anggota”nya anak-anak batak dan orag kampung situ. Berdasarkan track record itulah Anton minta tolong aku ketika ia dan CCSnya kesulitan cetak foto “artistic” polos rated XXX dimana mereka jadi modelnya dengan cewek salon jadi primadonanya. Kuajak Anton ke Jalan Solo jelang magrib. Kusuruh dia berdiri di emperan toko foto studio. Jaga-jaga umpama kelihatan banyak pejalan kaki hendak melintas depan foto cetak film, kusuruh kasih isyarat padaku. Aku akan berulah untuk mengalihkan mereka atau menghambat jalan mereka. Sebab pada jaman itu, toko/studio cetak film khusus di jalan Solo memamerkan hasil cetak di etalasenya. Sehingga pejalan kaki tertarik untuk berhentik dan melihat display foto yang berjalan terus. Saat pegawai toko mengambil hasil cetak foto dan mau menghitungnya, langsung aja aku sambar. Sehingga dia ga sempat lihat foto apa. “Aku buru-buru mas, anggap ae dadi kabeh 36 lembar foto. Piro ?”
Sabtu siang itu du ace-es Anton nongkrong di ruang tamu ketika datang tamu dua gadis belia. “Yo, tamu “ teriak mereka. Aku keluar kamar, eh dua gadis ayu sudah di depan pintu kamarku yang memang selalu terbuka. “Mas, piye kabare ?”
Kaget get aku. Ulupi sama temannya. Sungguh aku sendiri lupa, aku seneng atau tidak bertemu dengan Upi setelah hampir dua tahun hilang dari peredaran. Tapi itu mungkin malah poin bagiku. Se-olah2 aku ngambek lantaran suratku tak dibalas. Belum kupersilakan masuk, Upi nylonong masuk dan langsung ndeprok di lantai (di kamar memang ga ada tempat tidur ato perabot lain selain lemari plastic dan dua kasur busa gulung beserta bantal gulingnya.
Upi crita suratku memang dititipkan mbak Ratri, kakaknya. Betul dibawa pulang tapi tidak diberikan kepadanya. Awal bulan ini dia mau ngerjakan tugas kuliah, buka-buka buku pustakanya. “Ketemu surat njenengan Mas. Dia lupa menyelipkannya di tengah buku. Agar tidak kusut, alasannya. Mbak Tri cari mbak Mimin karena tidak tahu mau diapakan surat sampean. “Mbak Mimin nesu-nesu ra karuan. De- e ngomelin mbak Tri entek nyamek. Isin aku ketemu njenengan jare. Nganti aku ra iso ngomong naliko ketemu njenengan, jare mbak Min. Terus mbak Min ntTri dikon mbak Min nyuruhmbak Tri antar aku nyari omah njenengan sampai ketemu. Lha mbak Tri langsung methuk (jemput) aku di Klaten --wo iyo Mas, aku kerjo di Departemen Pertanian di Klaten . Teus bablas kemari ini, Mas.
Ga sampai 10 menit Denok temennya Upi pamit. Naik apa? Tanyaku. Tadi di antar mbak Ratri sama tunangannya, naik Cary. Aku menegur Upi lewat tatapan mataku. “yo mas, sori banget. Deweke isin lan rikuh karo njenengan, Mas. Mbak Tri titip nyuwun sepuro Mas. Parkir mobile wae adoh soko kene. Wedi tenan, Mas. Rapopo yo mas ?” Ya ga papa, batinku. Tapi kamu nanti bagaimana? Ini kan sabtu malam minggu. “Nanti malam Upi njenengan antar ke rumahku ya Mas,” pinta Denok. Aku hanya mengangguk-angguk sembari senyum masam. Ini bagaimana critanya, kok bisa begini. Batinku ngedumel. Kacau nih. Kalau sampai ketahuan Nina bagaimana?
Oh aku belum crita ya kalau aku semakin dekat sama Nina. Bukan aku semakin bonek. Cuma mengikuti suara hati “feeling”ku. Boleh jadi Nina sudah punya pacar tapi tiap kali jumpa (maksutku sisipan di jalan lalu sama-sama berhentiseperti biasa) mengapa dia selalu manja, “mesra” kepadaku? Aku datangi kosnya, tenti selain Sabtu dan Minggu. Ya memang gak mungkinlah belum apa-apa sudah perang kembang ala Arjuno-Cakil --- dialah Cakilnya. Akhirnya secara rutin aku apel atau wakuncar tiap pekan dua hari, selasa dan Kamis. Pernah aku jajal ajak kencan sabtu malam, dia tersenyum sambil berkata, “Lalu dia bagaimana?”
Jam tujuh aku ajak Upi makan di warung artistic Suroboyo di jl Gejayan, sekalian aku “kembalikan” ke rumah temannya. Tentu saja aku tengak-tengok kiri kanan bak dektektip ( atau maling) selama aku naik vespa super “tua” mbonceng Upi sambil berharap jangan sampai papaan sama Nina (dan pacarnya?) Mana tangan Upi melingkar di perutku lagi. Ga ada momen romantic apapun yang layak untuk dikisahkan di sini.
Eh, ternyata sebulan dua kali Upi ke rumah kontrakanku. Sabtu sore hamper jam lima Upi nongol di depan pintu kamarku. “Mas, ra bubuk to ? “ Aku tersenyum menyambutnya. “Mas, aku pinjam handuk ya? “ Wah,…..lalu kujawab, “Ambil di lemari tuh.” Sahutku. Mudah-2an ga pinjam cedeku seklian, batinku kesal.
Tiap sabtu sore datang, nginep di rumah Denok. Minggu pagi di datanglagi naik angkot. Minggu sore jam 3 dia pulang , aku antar ke Janti (waktu itu) untu meneruskan ke Klaten dengan bis. Waktu bersama saat harti minggu lebih lama, daripada Sabtu malam. Namun tiada yang istimewa untuk dikisahkan. Wong aku sendiri sampai bosan kok. Lha won ga ngapa-2in. ngobrol melulu, kadang disambi dengerkan tape. Ga ada TV. Yang punya TV kamar sebelah, Ambon brothers.
Pernah usai mandi Upi ndeprok di depan cermin untuk bersolek . Aaku mengamatinya. Awalnya Upi ricuh, tapa lama-lama dia suka aku pandangi. Kayaknya. Kuamati seksama. Upi ini manis, dengan bibir agak tipis. Hidungnya tidak pesek kayak perempuan local lainnya. Matanya besar, bulu idepnya terbalik. Secara structural maupun morfologi (bentuk) , komposi, wajah Ulupi sudah pas. Indah. Mana kulit wajahnya (ga tahu bagian tubuhnya) putih-halus-mulus. Rambutnya lurus dan…ah aku ga begitu peduli dan tak paham bab rambut. Asal bersih, tidak baud an disisir rapi, bagiku sudah bagus. Postur tubuhnya biasa, normal. Oke lebih jauh lagi. Dada tidak rata, dan kurasa tak sampai mencolok oversize juga. Tapi memang aku belum mengamati. Poinnya adalah Ulupi ini ayu, senyumnya manis, aromanya harum – minimal tidak aromatic alias “ bau”. Tutur katanya halus dan selalu santun. Tapi mengapa tak timbul “greng” di hatiku? Jadi kupikir, Ulupi ya sama saja dengan teman cewek lainnya.
SURAT PHK DARIKU UNTUK ULUPI TERSAYANG (bagian-1)
Cantiik, harum, dan mempesona. Itulah Upi. Sesuai namanya Ulupi (mempesona) Widati (harum hatinya). Entah mengapa saat pertama kali melihat Upi , di mataku biasa-biasa saja. Sampai mbak Mimin, temen mbakku, nyenggol aku sembari berbisik agak keras, “ Cantik ga, Yo.” Memang aku ga konsen. Maklum lagi nonton TV minggu siang. Supaya suasana enak, mengingat mbak Mimin bukan saja kakak kandung Upi melainnkan juga yang ngontrak rumah ini bersama mbakyuku, aku tersenyum sambil melirik Upi. Dari kejauhan. Ya, mungkin lantaran jauh, pancaran pesona itu ga sampai ke diriku. Namun aku akui sekilas Upi adalah gadis menarik. Apalagi kulitnya putih, dan itu poin . Pesona itu baru terpancar bila menikmatinya dari dekat, dekat sekali. Yaitu saat dia merias diri di depan cermin dan aku berada di dekatnya, dekat beneran. Cuma sekilan ! lho kok bisa ? Begini kisahnya.
Gara2 provokasi mbak Mimin , aku tergoda untuk menggoda cewek Ikip negeri itu. Sebetulnya aku jarang ke kontrakan mbakyuku di Jl Gajayan masuk gang itu. Memang kalo hari minggu kerap tak ada pilihan lain selain ke sana. Kebanyakan temen gaulku punya acara sendiri – minggon istilah orang sana. Ya beginilah nasib bujangan, sering berkelana seorang diri.
Mbak Mimin sering bikin aku gregetan. Mbak Mimin itu macan lho. Maksutnya, disamping galak, ia juga MAnis – CANtik. Keelokan wajahnya khas, mirip aktris kelahiran Kanada, Kristin Kreuk. (terkenal sbg Lana Lang, cewek idaman Clark Kent alias Superboy dalam serial fil TV Smallville, prod WB). Kritin putri dari Peter Kreuk yang keturunan Jerman dan Deana Che, etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia. mBak Mimin kalo nggoda aku nyrempet- nyrempet bahaya. Sering dia ngejek aku. “Ah, kowe iku cah lanang jirih. Takut sama cewek kan? ‘ Yo enggaklah mbak, bantahku. “Ayo taruhan, kowe pasti ga berani sun aku….!” Aku tetegun dibuatnya. Di rumah siang itu cuma aku sama mbak Mimin tok. Mbakku kuliah di Fak Hukum Atmajaya . Aku Cuma bisa misuh “Jangkrik “. Bukan aku ga berani sun mbak Mimin karena pacarnya Iwan Gunawan , anak Tambang UPN yg gayanya di-sangar-sangarkan.
Tapi memang bener aku takut kepergok. Bukan sama orang kampung sekitar melainkan sama …..cewek idamanku. Anak Sadar (IKIP Sanata Dharma) bernama Nina. Mungkin ini alasan mengada-ada. Nina kos dekat Selokan sana, mana mungkin blusukan sampai Gejayan masuk agak jauh, belak-belok pula. Ga tahulah. Pikiranku waktu itu adalah ingin menunjukkan aku sudah setia, walau aku belum mengutarakan cintaku padanya. Sama sekali. Nina itu ditaksir temen mainlku dan aku pernah diajak ke rumah Nina, dan aku dibuat GR . Kok Nina saat bicara kerap ditujukan kepada diriku daripada temenku. Nina tiap hari lewat jalan selokan dan aku kos dekat jl Selokan. Pernah aku berpapasan sama Nina di Selokan. Aku naik vespa super menuju kampus Bulak, dia juga naik Honda Astrea menuju kampusnya. Kami sama-sama berhenti . Dia dulu yg negur – Nina memang grapyak orangnya. “Sampean itu kemana saja to Mas, tiap kali aku lewat sampean ga pernah ada.” (batinku, ya jelas ga mungkinlah aku nongkrong berdiri di pinggir selokan nungguin kamu). Seneng sekali aku digoda seperti itu.
Mbak Mimin pernah nodong aku, mempromosikan adiknya. Kamu naksir ga? Sudahlah, pacafin dia, sahutnya memprovokasi. Kami dari keluarga baik-baik, katanya. Tahu kan kami empat saudara kuliah semua. Adikku perempuan kuliah di Arsitek UNS. Adikku laki-laki, masnya Upi, di AKABRI. Kamu mau cari perempuan kayak apalagi? Kalo kamu malu, takut, biar aku comblangnya.
Bagaimana aku ga gemes sama mbak Mimin. Dia pernah curi ngesun aku. Aku yang kelabakan. Aku salah tingkah . jengah. Selama ini aku selalu menghormati siapa saja yang lebih tua, apalagi wanita. Bukannya aku tidak suka wanita yang lebih tua…. Entahlah aku lupa episode ini setelah kejadian itu . Kayaknya saat itu kesibukanku lumayan di kampus. Banyak tugas kelompok bikin makalah. Temen “gang” kampus bentuk study club sederhana , sekedar melancarkan conversations saja.
Suatu hari yang kelabu aku dengar kabar dari Jacki Su, kalau Nina sudah pacaran. Pacare duwur gagah pitekso koyo kowe, wah yen tarung betapa serunya ya…Hus, aku bentak. Apakah gara-gara aku kalah cepat mengutarakan cintaku ? Kamu kalah mblubut, kata Jacki. Cah kuwi rajin antar jemput si Lili Caratti-mu. Olok Jacki, sahabatku. Menurutku pernyataan cinta bukalah racing, balapan. Ada proses yang mempertemukan aku dan Nina, dan proses itu tidak atau belum terjadi pada diriku.
Entah beberapa lama aku tidak ke rumah kontrakan mbakyuku. Mungkin lantaran sumpek pikiranku, aku ke rumah kontrakan mbakyuku. Seperti biasa, mbak Mimin dengan nel-nelan meyambutku. Tak tanggung-tanggung. Aku dipelukanya lalu cipiki cipika segala. Sebel juga aku sebetulnya. “Aduh, adikku tersayang sudah kembali ke rumah…sini..sini duduk sama embak…” Coba,…ugh !
Setelah ba-bi-bu ngobrol kayak bakul di pasar ikan, akhirnya aku baru sadar. Rumah ini sepi. Kok cuma mbakyu sama mbak Mimin tok, …lha satunya mana. Aku lirak-lirik. “Kamu cari Upi ya….” Tebak mbak Mimin. Enggak,…laopo? Sanggahku, meski sesungguhnya berlawanan dengan hati nuraniku. Aku ke sana mau hiburan, dan memang , jujur saja, yang biasa menghiburku ya si Upi itu. Tiap kali aku main ke sana dan entah di sengaja atau tidak, dua mbakku itu selalu ada saja alasan untuk pergi , meninggalakn kami dua-duan. Biasanya kami berdua ngobrol dulu, lalu Upi nawarin kopi atau te manis, lalu muncullah minuman hangat beser ta kletik-an. Lalu kami ngobrol ke sana kemari sampai kehabisan tema, lalu aku ajak main scrabel. Dan dia selalu kalah , apalagi kadang aku curang. Upi ngambek pura-pura atau beneran, yang jelas aku senang. Eh, dia kalau ngambek tampak manisnya lho. Atau kami main catur. Upi lumayan juga tapi selalu kalah. Lama-lama kupikir anak ini ga pernah menolak ajakanku. Meski mungkin dia kurang menikmati game –nya. Kupikir, Upi ingin selalu menyenangkan diriku. Dari roman mukanya terpantul keceriaan tanda ia suka melihat aku tertawa Ah, andai saja hatiku tak diisi oleh Nina mungkin dari kemarin-kemarin aku pacarin kamu, Upi.
“Upi udah lulus, dia pulang kemarin. Kamu dinanti-nanti ga kunjung datang,…biasanya jedal jedul”, kata mbakyuku. Seperti biasa, mbak Mimin nyamber kayak bensin jumpa api. dengan gaya serius mbak Mimin mendekati aku untuk berbisik seolah-olah hendak memberitahukan hal penting dan rahasia. Mbakku sendiri biasa saja, malah ia menyingkir untuk membuatkan aku t e h manis panas.
“Dengerin Yo, adiikku yang kuliah di Solo entar sore mau mampir sini. Dia mau pulkam. Kowe bikin surat ya buat Upi.” Aku mengrenyit alis, kurang setuju. “Ga usah panjang-panjang, singkat wae…..eng misal ya…kamu nulis…’aku rindu kamu…” Spontan aku mau protes. “Oke..oke…begini.…Upi, sejak kamu pulang , rumah kontrakan terasa sepi banget….kapan kamu ke sini. Aku tunggu ya…..salam.
Rabu, 02 Januari 2013
ROMANTIKA MAKAN “ATI”
Kamis malam itu aku n mantan pacar dinner di warung sate Madura di kantin komplek. Tentu saja sembari ngobrol dsieling canda. Penunjung kantin rame-rame ini jarang sepi meski bukan malming. Selain date, ada gubuk sunda yg sedia ikan n ayam bakar + lalapan, nasgor, mie ayam n bakso, dan es campur. Mantan pacar makan selalu dikit, shg akulah yg selalu belakangan selesai makannya. Sop kambing masih separuh, aku sikat saja. Sendokku menabrak bulatan yg keras. Warnanya coklat gelap, mirip ati. Ting ! muncul ide cemerlang.
Mau ati, kataku pd mantan pacar seraya menangkat sendok agar terlihat “ati”nya. Dia mengangguk-anggiuk girang. Maka aku siap-siap suapin dia. Bibirnya yg indah itu mulai terbuka dan kusuapin sendok isi “ati” itu. Mantan pacar mengulum sambil tersenyuim. Dari sudut mataku, aku tahu bbrp sejoli remaja maupun senior yg juga makan bersama di situ memperhatikan kami. Karena aku melirik kiri kanan, mantan pacar juga ikut-ikutan. Sebagian mengangguk dan melempar senyum kecil kepada kami. Kami pun langsung membalasnya dgn senyum pula .
Giliran mantan pacar hendak mengunyah, tiba-tiba dia melototi aku. Kakinya mendang kakiku di bawah meja. Dia tengok kiri kanan, lalu tersen yum, membalas respon mereka. Mungkin mereka berkata dlm batin , “Mesra amat…”
Padahal mantan pacar itu sesungguhnya cari kesempatan untuk membuang “ati” keras dari mulutnya. Alhasil gagal saat itu. Terpaksa pula ia pura-pura menguyah. Bbrp saat setelah pe ngunjung tak lagi memperhatikan kami, baru dia bisa muntahkan tulang sebesar kelerang itu.
Sampai rumah dan sampai sekarang aku tertawa kalo ingat kejadian itu. Gol….!
Langganan:
Postingan (Atom)