Senin, 14 Januari 2013
SURAT PHK DARIKU UNTUK ULUPI TERSAYANG (bagian-2)
Udah….cukup gitu aja,….begitu dia baca langsung dia buru buru ke sini. Percaya deh….”
Aku lupa apa yang kutulis tapi memang akhirnya aku buat surat (cinta?) juga buat Ulupi. Surat aku berikan mbak Mimin lalu aku pulang. Jadi aku tidak lihat sendiri apakah adiknya mbak Mimin datang apa tidak, dititipkan atau malah lupa. Yang jelas aku benar-benar lupa karena aktivitasku makin padat. Aku jarang ke kontrakan mbak. Kabar terakhir mbak Mimin sering pergi ke lapangan untuk praktek dalam rangka persiapan tugas akhir. mBakyuku sendiri juga mulai sibuk persiapan skripsi. Terakhir aku bertemu mereka saat mbakyuku pulang dari wisuda. Ia akn pulkam, ya seterusnya. Mbak Mimin memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrakan karena ia ke kampus hanya untuk konsultasi. Waktu bertemu, mbak Mimin juga tidak menyinggung Ulupi sama sekali. Seingatku dia juga tidakn berusaha mengalihkan pembicaran atau menutupi apapapun, andaikata misalnya Upi ternyata menampikku. Dan aku memang benar-benar lupa sehingga ga ada itu patah hati atau rindu dendam.
Aku pindah ke Jl Karang Asem, masih di Selokan juga. Bedanya, aku tinggal di rumah kontrakan cukup megah dan luas. Kamarku saja 4x4 meter. Bukan aku atau keluargaku makin kaya, tapi karena diminta sahabatku menggantikan temannya untuk meneruskan menempati kamarnya karena ia sudah lulus. Dan sesungguhnya aku ibarat proletar terjepit dua kapitalis gemuk. Kamar sebelahku kakak beradik dari Ambon. Satunya, Anton, sahabatku itu. Ia, peranakan Tionghoa asal Pasaruan. Beruntung mereka semua baik-baik dan tidak jaim menurut istilah sekarang. Tapi bandelnya rek…idih…terutama Anton dan “gang”nya. Urakan, minum-minum, nggelek ato narkoba sih tidak. Cuman demen mainin cewek. Semuanya, kompak. Padahal mereka jebolan asrama ternama. Padahal mereka hamper semua punya pacar. Pernah pula aku diajak “pesta” tapi aku menolaknya secara halus dengan alasan sibuk menyiapakan makalah. Bahkan Viktor . Sampai-sampai salah satu dari mereka bilang (bukan Anton, karena aku tahu dia sungkan sama aku), “Ayolah mas,….sekali ini saja….mas duluan deh…” Up, batinku. Lebih baik aku menyingkir. Tapi aku tetap akrab sama mereka dan mereka memang sering nraktir aku makan . Anton paham diriku, maklum sudah tahunan berteman. Ia tahu aku fleksibel orangnya. Borjuis bisa, tp blusukan sampai Terban Code oke saja. Maksutnya bukan stempel kutu buku yg menempel di dahiku. Tony tahu aku punya gumpulan teman main bermacam-nacam. Tapi batangan semua. Ada grup video, anak jawa semua, termasuk Madura. Kelompok suka nonton bareng video rated X hingga XXX di Gedong Kuning. Anton tahu aku penah jualin video biru ori punya Om Tan. Pemilik rumah kontrakan di Karang Asem. Lalu ada grup Sapen. Campuran anggotanya. Batak, Aceh, dan Jawa timur “halus” (seputar Madiun). Mereka semua pernah satu kos di rumah besar di Sapen-Gendeng. Grup ini sekali-kali minum dan isap ganja kering. Tapi belakangan aku ga bisa nggelek atau nenggak dry gin atau Johny sehingga kutinggalkan. Satu lagi grup main kartu di Pringgondani. Main gaple atau remi kampong. “anggota”nya anak-anak batak dan orag kampung situ. Berdasarkan track record itulah Anton minta tolong aku ketika ia dan CCSnya kesulitan cetak foto “artistic” polos rated XXX dimana mereka jadi modelnya dengan cewek salon jadi primadonanya. Kuajak Anton ke Jalan Solo jelang magrib. Kusuruh dia berdiri di emperan toko foto studio. Jaga-jaga umpama kelihatan banyak pejalan kaki hendak melintas depan foto cetak film, kusuruh kasih isyarat padaku. Aku akan berulah untuk mengalihkan mereka atau menghambat jalan mereka. Sebab pada jaman itu, toko/studio cetak film khusus di jalan Solo memamerkan hasil cetak di etalasenya. Sehingga pejalan kaki tertarik untuk berhentik dan melihat display foto yang berjalan terus. Saat pegawai toko mengambil hasil cetak foto dan mau menghitungnya, langsung aja aku sambar. Sehingga dia ga sempat lihat foto apa. “Aku buru-buru mas, anggap ae dadi kabeh 36 lembar foto. Piro ?”
Sabtu siang itu du ace-es Anton nongkrong di ruang tamu ketika datang tamu dua gadis belia. “Yo, tamu “ teriak mereka. Aku keluar kamar, eh dua gadis ayu sudah di depan pintu kamarku yang memang selalu terbuka. “Mas, piye kabare ?”
Kaget get aku. Ulupi sama temannya. Sungguh aku sendiri lupa, aku seneng atau tidak bertemu dengan Upi setelah hampir dua tahun hilang dari peredaran. Tapi itu mungkin malah poin bagiku. Se-olah2 aku ngambek lantaran suratku tak dibalas. Belum kupersilakan masuk, Upi nylonong masuk dan langsung ndeprok di lantai (di kamar memang ga ada tempat tidur ato perabot lain selain lemari plastic dan dua kasur busa gulung beserta bantal gulingnya.
Upi crita suratku memang dititipkan mbak Ratri, kakaknya. Betul dibawa pulang tapi tidak diberikan kepadanya. Awal bulan ini dia mau ngerjakan tugas kuliah, buka-buka buku pustakanya. “Ketemu surat njenengan Mas. Dia lupa menyelipkannya di tengah buku. Agar tidak kusut, alasannya. Mbak Tri cari mbak Mimin karena tidak tahu mau diapakan surat sampean. “Mbak Mimin nesu-nesu ra karuan. De- e ngomelin mbak Tri entek nyamek. Isin aku ketemu njenengan jare. Nganti aku ra iso ngomong naliko ketemu njenengan, jare mbak Min. Terus mbak Min ntTri dikon mbak Min nyuruhmbak Tri antar aku nyari omah njenengan sampai ketemu. Lha mbak Tri langsung methuk (jemput) aku di Klaten --wo iyo Mas, aku kerjo di Departemen Pertanian di Klaten . Teus bablas kemari ini, Mas.
Ga sampai 10 menit Denok temennya Upi pamit. Naik apa? Tanyaku. Tadi di antar mbak Ratri sama tunangannya, naik Cary. Aku menegur Upi lewat tatapan mataku. “yo mas, sori banget. Deweke isin lan rikuh karo njenengan, Mas. Mbak Tri titip nyuwun sepuro Mas. Parkir mobile wae adoh soko kene. Wedi tenan, Mas. Rapopo yo mas ?” Ya ga papa, batinku. Tapi kamu nanti bagaimana? Ini kan sabtu malam minggu. “Nanti malam Upi njenengan antar ke rumahku ya Mas,” pinta Denok. Aku hanya mengangguk-angguk sembari senyum masam. Ini bagaimana critanya, kok bisa begini. Batinku ngedumel. Kacau nih. Kalau sampai ketahuan Nina bagaimana?
Oh aku belum crita ya kalau aku semakin dekat sama Nina. Bukan aku semakin bonek. Cuma mengikuti suara hati “feeling”ku. Boleh jadi Nina sudah punya pacar tapi tiap kali jumpa (maksutku sisipan di jalan lalu sama-sama berhentiseperti biasa) mengapa dia selalu manja, “mesra” kepadaku? Aku datangi kosnya, tenti selain Sabtu dan Minggu. Ya memang gak mungkinlah belum apa-apa sudah perang kembang ala Arjuno-Cakil --- dialah Cakilnya. Akhirnya secara rutin aku apel atau wakuncar tiap pekan dua hari, selasa dan Kamis. Pernah aku jajal ajak kencan sabtu malam, dia tersenyum sambil berkata, “Lalu dia bagaimana?”
Jam tujuh aku ajak Upi makan di warung artistic Suroboyo di jl Gejayan, sekalian aku “kembalikan” ke rumah temannya. Tentu saja aku tengak-tengok kiri kanan bak dektektip ( atau maling) selama aku naik vespa super “tua” mbonceng Upi sambil berharap jangan sampai papaan sama Nina (dan pacarnya?) Mana tangan Upi melingkar di perutku lagi. Ga ada momen romantic apapun yang layak untuk dikisahkan di sini.
Eh, ternyata sebulan dua kali Upi ke rumah kontrakanku. Sabtu sore hamper jam lima Upi nongol di depan pintu kamarku. “Mas, ra bubuk to ? “ Aku tersenyum menyambutnya. “Mas, aku pinjam handuk ya? “ Wah,…..lalu kujawab, “Ambil di lemari tuh.” Sahutku. Mudah-2an ga pinjam cedeku seklian, batinku kesal.
Tiap sabtu sore datang, nginep di rumah Denok. Minggu pagi di datanglagi naik angkot. Minggu sore jam 3 dia pulang , aku antar ke Janti (waktu itu) untu meneruskan ke Klaten dengan bis. Waktu bersama saat harti minggu lebih lama, daripada Sabtu malam. Namun tiada yang istimewa untuk dikisahkan. Wong aku sendiri sampai bosan kok. Lha won ga ngapa-2in. ngobrol melulu, kadang disambi dengerkan tape. Ga ada TV. Yang punya TV kamar sebelah, Ambon brothers.
Pernah usai mandi Upi ndeprok di depan cermin untuk bersolek . Aaku mengamatinya. Awalnya Upi ricuh, tapa lama-lama dia suka aku pandangi. Kayaknya. Kuamati seksama. Upi ini manis, dengan bibir agak tipis. Hidungnya tidak pesek kayak perempuan local lainnya. Matanya besar, bulu idepnya terbalik. Secara structural maupun morfologi (bentuk) , komposi, wajah Ulupi sudah pas. Indah. Mana kulit wajahnya (ga tahu bagian tubuhnya) putih-halus-mulus. Rambutnya lurus dan…ah aku ga begitu peduli dan tak paham bab rambut. Asal bersih, tidak baud an disisir rapi, bagiku sudah bagus. Postur tubuhnya biasa, normal. Oke lebih jauh lagi. Dada tidak rata, dan kurasa tak sampai mencolok oversize juga. Tapi memang aku belum mengamati. Poinnya adalah Ulupi ini ayu, senyumnya manis, aromanya harum – minimal tidak aromatic alias “ bau”. Tutur katanya halus dan selalu santun. Tapi mengapa tak timbul “greng” di hatiku? Jadi kupikir, Ulupi ya sama saja dengan teman cewek lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar